Ekonomi Global tengah dikuasai oleh kaum kapitalis, hingga menimbulkan slogan “yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin”. Ketimpangan yang melanda dunia saat ini bukan karena tidak tersedianya pangan atau sumber daya alam, tapi karena 80 persen kekayaan di dunia di kuasai oleh 20 persen manusia.
Dalam pandangan Ekonomi Islam, jika seseorang tidak mampu memenuhi kebutuhan pokoknya dan keluarganya, kewajiban itu beralih kepada kerabatnya mulai dari yang terdekat. Jika belum mencukupi, kewajiban tersebut beralih ke negara. Negara bisa memberikannya dalam bentuk harta secara langsung maupun dengan memberi pekerjaan.
Saat ini kesejahteraan kerap diukur melalui pertumbuhan ekonomi, padahal pertumbuhan ekonomi tidak selalu mencerminkan kesejahteraan masyarakatnya. Pertumbuhan ekonomi bisa terdongkrak oleh semakin kayanya orang yang sebelumnya sudah kaya. Adapun orang miskin, justru tidak mengalami pengurangan bahkan sangat mungkin untuk bertambah miskin. Sehingga konsep yang sudah mengakar pada saat ini sudah tidak sesuai dengan nilai-nilai kesejahteraan, kemakmuran, dan keadilan harus di ubah agar tetap pada koridor kesejahteraan, kemakmuran dan keadilan.
Dengan demikian, Asghar Ali Engineer menerangkan konsep ekonomi Islam yang dilempar oleh Bani Sadr sebagai solusi dari permasalahan ekonomi global pada saat ini. Pada konsep itu, Bani Sadr dipengaruhi oleh perpaduan Marxisme dan Ajaran Islam.
Resepsi Marxisme dan Islam
Dalam Islam, hak milik tidak bersifat absolut. Bani Sadr membedakan antara kepemilikan yang diperoleh dengan modal kekuatan (malkiyat-i-zor) dan yang diperoleh dengan bekerja (malkiyat-i-khususi). Dia menjelaskan bahwa Islam tidak memperbolehkan kepemilikan yang didasarkan kekuatan, tapi mengizinkan, dalam kondisi tertentu, kepemilikan yang didasarkan pada hasil kerja.
Bani Sadr berpendapat bahwa kepemilikan masyarakat kapitalis didasarkan pada kekuatan dan oleh karenanya tidak Islami. Dia menambahkan bahwa di dalam masyarakat kapitalis tidak ada istilah malkiyat-i-khususi, tetapi manusia sangat membutuhkan akan kekuatan karena barang yang mereka miliki diperoleh dari kekuatan dirinya sendiri jika orang kehilangan kekuatannya, dia akan kehilangan kekayaannya juga.
Selain itu, masih ada jenis kepemilikan yang sesuai dengan Islam. Bani Sadr menyebutnya malkiyat-i-umumi, yakni apa yang sekarang disebut kekayaan nasional atau people’s property. Dia mengingatkan bahwa kekayaan ini seharusnya diperlakukan sebagai kapitalisme negara, dalam pengertian kekayaan kolektif yang akan dibagi kepada semua warga negara, termasuk yang tidak beragama Islam. Dengan kata lain, kekayaan ini adalah kekayaan yang dinasionalisasi, dan ini bertentangan dengan pendapat para ulama. Dalam Islam, nasionalisasi tidak hanya diperbolehkan, tapi sangat diperlukan.
Tujuan nyata dari masyarakat Islam adalah membebaskan manusia, dan ini hanya dapat dilakukan di dalam suatu masyarakat di mana kekayaan bukan diperoleh dengan zor (kekuatan), melainkan dengan kar (buruh, hasil kerja). Bani Sadr menyatakan bahwa di dalam Islam tidak ada konsep kepemilikan yang absolut baik individual maupun kolektif, sebagaimana yang dimiliki Allah.
Para ulama, dalam sejarah Islam, telah menggariskan bahwa hak milik dalam Islam bersifat suci dan tidak bisa diganggu gugat. Menurut Bani Sadr, pendapat ini tidak manusiawi. Bani Sadr menegaskan, dalam malkiyat-i-umumi, orang non-muslim pun diperlakukan sama dengan orang muslim dan tidak boleh didiskriminasikan.
Islam juga harus dijadikan sebuah penyokong untuk menciptakan tatanan sosial yang adil dan baik di era industri pada saat ini. Bani Sadr tertarik kepada ideologi Marxisme, dengan demikian, ia merasa perlu untuk membaca ulang terhadap Islam dengan cara yang akan menciptakan keadilan sosio-ekonomi. Hal penting untuk dicatat adalah bahwa Islam menentang semua bentuk eksploitasi dan penggunaan kekuatan untuk merampas barang yang diproduksi oleh orang lain.
Meski demikian, Bani Sadr sangat menyadari bahwa eksploitator telah menyimpang dari jalan Islam yang sebenarnya dan mengikuti jalan yang diretas oleh para pengusaha. Bani Sadr tidak seperti tokoh kebangkitan Islam yang lain, dia berusaha memberikan perhatian yang serius terhadap keadilan ekonomi dalam Islam. Sebaliknya, tokoh kebangkitan Islam lainnya meletakkan keadilan ekonomi di sebelah ibadah ritual.
Bani Sadr sangat dekat dengan konsep Marxis tentang kerja dan alienasi orang dapat membuang keterasingan dirinya dan kembali ke sistem kepemilikan kolektif di mana kepemilikan Tuhan akan menguntungkan semua pihak. Bani Sadr tidak jauh beda dengan Marx, keduanya sangat menekankan etika untuk menghargai keikutsertaan manusia dalam proses produksi. Tidak cukup hanya dengan bayar upah, tapi Islam juga melarang manusia dicabut sifat kemanusiaannya dan diasingkan dari dirinya sendiri.
Menafsirkan Kekayaan Mutlak Tuhan
Bani Sadr dapat memproyeksikan Islam dan memunculkan radikalitasnya yang menolak kejahatan masyarakat kapitalis, tapi bukan menolak kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologinya. Bani Sadr paling tidak telah mampu menemukan sisi positif cara kerja kapitalisme dan penyebab terjadinya keterasingan manusia. Menurut Bani Sadr untuk menciptakan sebuah masyarakat yang berkeadilan, diperlukan penghapusan hubungan produksi kapitalis.
Tidak mengejutkan lagi jika Bani Sadr berpendapat bahwa Ayat Alquran menghargai keikutsertaaan buruh dalam menjalankan roda pabrik atau gerak langkah industri. Dia merasa bahwa kaum buruh harus turut serta dalam mengelola pabrik dan mengaktualisasikan potensinya dengan kerja yang kreatif. Pengaruh pemikiran Marxis sangat kentara bagi Bani Sadr, ketika dia mengatakan bahwa peran serta buruh merupakan sebuah pengawasan yang tepat bagi faktor-faktor produksi dan pemanfaatan potensi pekerja yang benar.
Asghar Ali Engineer mengatakan bahwa penafsiran Bani Sadr atas Islam benar-benar menarik dan lebih sesuai dengan era industrial modern. Dalam pandangan Asghar, ini merupakan usaha yang layak dipuji. Penafsirannya membuka jendela baru untuk memahami Islam dari perspektif yang berbeda.
Ekonomi Islam yang berorientasi pada keseimbangan antara kehidupan dunia dan surgawi merupakan alternatif dari sistem ekonomi perekonomian kapitalisme. Sistem ekonomi Islam diharapkan dapat menjaga stabilitas ekonomi suatu negara dan pembangunan. Jika di bedakan konsep ekonomi Islam dengan konsep ekonomi konvensional sangat jauh beda karena konsep ekonomi konvensional terdapat kelangkaan. Sedangkan dalam konsep ekonomi Islam tidak mengenal kelangkaan karena ada Allah membuat segala sesuatunya yang ada di dunia dengan tepat ukuran dan yang membedakan lagi ekonomi konvensional tidak mengenal nilai dan norma sehingga timbul konflik dan kecurangan. Ekonomi Islam menonjolkan sifat adil, jujur dan bertanggung jawab.
Islam tidak akan bermakna, jika tidak berusaha keras mewujudkan masyarakat yang berkeadilan. Bani Sadr menjelaskan lebih jauh lagi tentang makna dari kepemilikan Tuhan yang mutlak terhadap sumber kekayaan adalah bahwa kekayaan tersebut harus didistribusikan secara adil kepada semua orang. Sehingga dapat dimanfaatkan untuk kebutuhan ekonominya.
Mahasiswa Program Studi Ahwalus Syahsiyah di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan aktif sebagai anggota Komunitas Maos Boemi (KMB).