Penulis: Serikat News
Minggu, 29 Oktober 2017 - 03:32 WIB
Foto: Dokumen Pribadi
Oleh: Rohmatul Izad
Saat pemahaman tentang “sejarah memiliki pola umum” telah ditinggalkan, peradaban dunia mengalami perubahan mendasar di ranah pemikiran. Postmodernisme mengawali lahirnya zaman baru tanpa subyek, hilangnya orientasi sejarah, krisis akan makna, dan filsafat tenggelam menuju jurang yang paling mendasar. Kontrol atas narasi-narasi besar telah begitu dalam tergoyahkan, apakah memang demikian bahwa sebenarnya peradaban dalam sejarah tidak memiliki konsep kemajuan.
Subyek sebagai pelaku intelektual dan satu-satunya tolak ukur bagi realitas yang bebas, sekarang ini sudah tidak lagi menjadi pegangan. Diri merupakan entitas yang tidak lagi sepenunya sadar, zaman baru telah memutarbalikan ide universal bahwa bukan manusia yang menemukan makna, tapi maknalah yang menemukan manusia.
Di mana letak spiritualitas? Pada mulanya, awal kelahiran postmodernisme juga ditandai dengan kematian iman, orang-orang Barat telah banyak mengalami kehilangan arah atas kepercayaan. Betapapun rumitnya fenomena kegagalan atas kemunduran prestasi iman ini, kita tidak layak menyebut sebagai era kematian Tuhan. Kematian iman tidak muncul atas argumentasi rasional dan ilmiah menolak eksistensi Tuhan, tetapi bagi mereka Tuhan merupakan gagasan yang terlalu berlebihan dan tidak berguna.
Zaman ini sama sekali jauh dari wilayah transendensi, mereka cenderung mengalami situasi-situasi dalam kenyataan yang begitu saja langsung hadir secara nyata. Fakta ini tidak seluruhnya mengambarkan era peradaban Barat, narasi besar telah hilang dan saat munculnya kemunduran spiritual ini dimulai, justru saat kemajuan tampak nyata bagi sains. Orang-orang timur hampir tidak menyadari dampak kemajuan ini.
Bersamaan dengan itu, penolakan terhadap agama-agama formal yang menjadi dasar bagi keimanan mereka melahirkan gerakan spiritualitas baru. Mereka meyakini bahwa hanya ada satu Realitas yang eksis, wujud dari peniadaan agama formal ini mengarah pada terbentuknya agama universal yang bermuara pada kesatuan wujud. Jalan spiritual agama hanya jembatan menuju satu Realitas, ini adalah keyakinan paling substansial bagi gerakan spiritualias baru (New Age). Ciri khas gerakan lintas agama ini terlihat dari penolakannya terhadap eksklusifisme dan dogmatisme secara semena-mena, mereka tidak percaya bahwa dua hal itu merupakan jalan keselamatan, atau barangkali mereka sudah tidak menghargai lagi arti keselamatan.
Ajaran tentang Tuhan adalah segalanya dan segalanya adalah Tuhan telah mengisi kepercayaan mereka dengan melalui penghayatan transpersonal menuju transendensi diri. Kebenaran tidak lagi ditemukan dalam tradisi-tradisi teks suci, mereka mengagungkan kesucian diri, dan proses pencarian Tuhan dilalui dengan cara-cara kontemplasi individual. Mereka membangkitkan ajaran-ajaran kuno tentang reingkarnasi, seperti juga ajaran-ajaran Gnostis, Pantheisme, Paganisme, Karma, Meditasi, dan keseluruhanya. Baginya, gerakan baru ini merupakan jawaban atas kekeringan spiritual yang begitu hampa.
Gerakan spiritualitas baru ini percaya bahwa manusia harus tercerahkan, kenyatanannya manusia adalah makhluk suci secara intrinsik. Jiwa-jiwa yang tenang merupakan manifestasi wujud dari ruh ketuhanan. Kebahagiaan adalah saat dimana diri mengalami kemenyatuan dengan kodrat tertinggi, Tuhan yang transenden tidak lagi menjadi realitas wujud yang sama sekali terpisah dari pribadi-pribadi.
Pemahaman keagamaan kita tidak selalu alamiah, gagasan tentang sesuatu dibalik agama tidak berasal dari spekulasi abstrak, tetapi ia sekaligus keyakinan yang selalu berkomitmen dalam melibatkan diri pada hal-hal yang menjadi keharusan. Akal pikiran kita tidak terlalu memadai dalam mengungkapkan realitas tak terbatas melalui sistem iman.
Gerakan spiritualitas baru sadar sepenuhnya akan kenyataan ini, tetapi pengingkarannya terhadap agama-agama dunia menuntut mereka bergerak lebih jauh melampui batas-batas moralitas menuju kepastian masa depan. Jika keimanan dan keyakinan tidak lagi dimaknai sebagai suatu keterlibatan diri secara menyeluruh dalam ritual dan kedekatannya dengan simbol-simbol sakralis seperti halnya dalam terma-terma agama formal, maka gerakan spiritualitas ini merupakan agama baru bagi zaman postmodernisme yang segera akan kita tinggalkan.
*Penulis Adalah Magister Ilmu Filsafat Universitas Gadjah Mada & Ketua Pusat Studi Keislaman dan Ilmu-Ilmu Sosial di Pesantren Baitu Hikmah Krapyak Yogyakarta.
Oleh: Wafiruddarroin PEMILIHAN kepala daerah (Pilkada) adalah momentum penting yang tidak hanya menentukan pemimpin baru, tetapi juga mencerminkan dinamika sosial
Oleh: Isna Asaroh (Ketua Kopri PMII Jember) Korps Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia Putri (KOPRI) merupakan sayap organisasi Pergerakan Mahasiswa Islam
“Terbinanya insan akademis, pencipta, dan pengabdi yang bernafaskan Islam serta bertanggung jawab atas terwujudnya masyarakat adil makmur yang di ridhoi
DALAM era digital yang berkembang pesat, industri ekspedisi menghadapi tantangan dan peluang yang belum pernah terjadi sebelumnya. Dengan pertumbuhan bisnis
PILKADA merupakan momentum krusial dalam sistem demokrasi Indonesia. Masyarakat memiliki kesempatan untuk memilih pemimpin lokal yang akan mempengaruhi arah dan