Lebih baik hujan batu di negara sendiri. Begitu kita melanjutkan judul di atas. Hujan emas yang dimaksudkan pasti hanya kiasan yang menggambarkan bahwa seenak-seenaknya hidup di luar negeri masih lebih nyaman hidup di dalam negeri meskipun penuh batu kerikil di nasi kita. Bukan karena nasi yang kita makan berasal dari raskin yang penuh kutu namun hati yang pilu. Sikon di tanah air memang mengkhawatirkan karena sesama anak bangsa sudah saling hujat, saling babat dan saling sikat. Mana keramahan dan kesantunan bangsa yang sudah terkenal sampai ke manca negara? Kok bisa begitu saja sirna karena faktor pilpres dan pilkada, bahkan yang lebih subtil, agama?
Saat mengantar dan menemani anak bungsu ke sekolah, saya membaca berita pendek di halaman depan koran nasional berjudul “Pintu Rusak, Emas Tercecer”. Karena pegangan pintu rusak, muatan pesawat Nimbus berhamburan keluar. Peristiwa yang terjadi di Yakutsk, sebelah Timur Siberia, Rusia, tentu membuat heboh karena yang jatuh adalah emas, logam mulia lain dan batu permata. “Sebanyak 172 emas batangan, beberapa batuan dan logam mulai lain jatuh… Nilainya 20 miliar rubel,” ungkap komite seperti dikutip Tass.
Bayangkan emas dan batu permata senilai lebih dari 5 triliun rupiah berhamburan begitu saja. Kecelakaan kerja? Ketidaksengajaan? Penelitian masih berlangsung. Yang jelas disengaja justru terjadi di Indonesia. Belum lama saya mendapat video dari YouTube motivator terkenal Tung Desem Waringin menyebarkan uang 100 juta dari pesawat. Tentu saja rakyat kecil yang kebagian hujan uang itu senang bukan main.
Di halaman internasional, saya baca hubungan Rusia-Inggris bergejolak. Keputusan Perdana Menteri Inggris Theresa May mengusir 23 diplomat Rusia menuai reaksi beragam. AS sebagai sekutunya pun sempat terbelah saat Donald Trump menyatakan bahwa perbuatan itu gegabah. Namun, angin cepat sekali berganti. Negara adidaya itu menyatakan tetap berada di belakang Inggris dan keputusan PM-nya masuk akal. Mengapa? Karena pada 4 Maret lalu, Sergei Skripal dan putrinya Yulia—mantan mata-mata Rusia yang membelot ke Inggris—terkulai tak berdaya di sebuah bangku di Salisbury, Inggris Selatan, karena diracun. Siapa tertuduh utama kalau bukan Rusia? Rusia dikenal ‘berdarah dingin’ karena tega membunuh mata-matanya sendiri jika dianggap mengkhianati negaranya.
Bukan kebetulan—karena semua hal yang terjadi tidak lepas dari mata Tuhan—pada bulan Maret ini kita disuguhi film thriller ‘sadis’ berjudul ‘Red Sparrow’. Jennifer Lawrence dengan begitu apik memerankan Ballerina Dominika Egorova yang direkrut ke ‘Sparrow School’, dinas intelijen Rusia, untuk ganti memata-matai bahkan mengerjai mata-mata CIA dengan menjadikan tubuhnya sendiri sebagai senjata. Namun, jika cinta bersemi, siapa yang bisa membuatnya berhenti? Jika sang target berhasil manggaet hati, siapa yang terkaget-kaget? Tentu saja percintaan antar agen menjadikan kisahnya semakin rumit dan terjadi perkelindanan antara romantisme dan profesionalisme. Hasilnya? Mendebarkan sekaligus menghanyutkan.
Sampai titik ini nasionalisme dan romantisme bergulat di hati seorang agen ganda. Di satu belahan dadanya, tertanam cinta negara. Di belahan dada lainnya, terpendam cinta asmara. Mana yang didahulukan? Mana yang menang dalam pergulatan?
Bagaimana jika itu diterapkan di dalam diri kita sendiri? Apakah hujan emas di negara orang lebih memikat ketimbang hujan batu di negara sendiri? Suatu kontras yang tidak imbang. Negara lain digambarkan lebih menjanjikan dan menawarkan harapan sementara negara sendiri menjijikkan dan menyodorkan kematian. Namun, bukannya sekarang tiap hari kita menghadapi hujan batu berupa berita bohong, kampanye kosong dan ujaran yang membuat hati gosong? Secara logika, mana yang kita pilih? Meskipun demikian, panggilan hati dan nurani begitu kuat melekat sepanjang hayat.
Setiap kali saya kembali dari lawatan keluar negeri selama berbulan-bulan, rasa kangen terhadap kampung halaman begitu membuncah. Itu jugalah yang menjadi alasan istri saya ogah saat ditawari untuk menetap di negeri orang mengikuti tugas saya.
Kami tidak sendirian, ketika berada di Brunei Darussalam, saya bertanya kepada sopir yang mengantar kami jalan-jalan: “Tidak ingin pulang kampung?”
“Pengin sekali, Pak,” ujar Sutresno dengan mata berlinangan. “Namun, apa Indonesia bisa memberikan penghidupan yang layak seperti yang saya rasakan di sini?”
Keluarga Pak Sutresno ada di Indonesia. Dari gajinya sebagai sopir dia bisa mengirimkan uang dengan jumlah yang tidak terbayangkan seandainya dia menjadi sopir di Indonesia. Tukang sampah yang tinggal di depan perumahan dinas yang saya tempati di Australia punya rumah yang tidak berbeda dengan rumah tetangga kiri kanannya. Artinya, taraf hidupnya sejajar dengan profesi para tetangganya. Saya tidak bisa membayangkan tukang sampah di Indonesia bisa membeli rumah seperti itu. Namun, saya punya harapan besar Indonesia mampu mengejar ketertinggalannya itu sehingga bukan hanya sejajar tetapi bisa melampaui negara maju. Bukankah Bung Karno melecut kita untuk memiliki cita-cita setinggi langit? Alam sadar kita mengajar kita bahwa untuk mempunyai cita-cita setinggi langit, kita harus membuat gantungannya lebih dulu.
Gantungan itu berupa infrastrutuk. Saat melihat kemajuan pembangunan di Indonesia yang gila-gilaan tahun-tahun belakangan ini, saya percaya, perwujudan cita-cita itu tinggal beberapa langkah lagi. Meskipun demikian, ada yang jauh lebih penting untuk dibangun, yaitu infrastruktur yang ada di dalam diri kita sendiri sehingga kita tidak saling bertikai dengan sesama anak bangsa hanya karena beda partai dan beda idola. Keberagaman harus kita tempatkan di atas keseragaman. Kita sepakat memakai seragam yang sama yaitu NKRI.
Jangan sampai hujan emas di negara orang lebih menggiurkan ketimbang hujan pangan di negeri sendiri. Bukankah emas batangan pun bisa melukai bahkan membunuh kita jika dijatuhkan dari tempat yang tinggi? Mari melakukan introspeksi.
Penulis Pelukis Kehidupan di Kanvas Jiwa
Menyukai ini:
Suka Memuat...