Tahun 2019 merupakan tahun politik di Indonesia, dalam waktu sehari akan diselenggarakan pemilihan umum secara serentak pada 17 April 2019. Risikonya pemilu akan menghasilkan polarisasi dalam masyarakat, karena adanya aktivitas politik soal dukung-mendukung calon legislatif sampai calon Presiden dan calon Wakil Presiden.
Beruntung Indonesia mempunyai organisasi seperti Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (NU), Organisasi yang berdiri sejak 31 Januari 1926, selain banyak mengader tokoh bangsa seperti Wahid Hasyim serta banyak dari kadernya menjadi politikus andal sekali bernegarawan, seperti Mahbub Djunaidi dan Abdurahman Wahid alias Gus Dur. NU pernah menjadi partai politik yang mengikuti pemilu pada tahun 1955, berhasil memperoleh urutan keempat, sebelum kembali ke khitah menjadi organisasi kemasyarakatan.
Gus Dur sebagai cucu pendiri NU, KH. Hasyim Ashari, merupakan representatif warga Nahdliyin, selain aktif berdakwah, ia juga pernah menjadi ketua umum PBNU serta menjadi politikus, ikut mendirikan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang menghantarkan ia menjadi Presiden Republik Indonesia ke-4.
Sebagai politikus, ia mempunyai kelebihan yang tidak banyak dimiliki oleh politikus lain, contohnya dalam memberikan pesan politik kepada kawan dan lawan politiknya yang khas NU, santai dan mengena. Gus Dur selalu memberikan pesan politik dengan spontan dan santai, tapi mengena dengan analoginya yang mudah dipahami masyarakat luas, ia jarang menggunakan simbol kebencian atau ancaman seperti politisi kebanyakan di Indonesia sekarang ini.
Politik yang ditampilkan Gus Dur merupakan cara berpolitik yang memakai guyon atau humor, dalam merefleksikan persoalan seberat dan segenting apa pun selesai di tangan Gus Dur dengan hanya melontarkan humor. Walaupun dalam pandangan sebagian orang, humor menunjukkan ketidak-seriusan. Akan tetapi, humor Gus Dur justru menandai keseriusannya.
Tradisi “politik guyon khas NU” dilanjutkan oleh putrinya, Yeni Abdurahman Wahid, putri pertama mendiang Gus Dur, sebagai tokoh perempuan, dia suka berguyon di depan publik.
Kelebihannya dalam “politik guyon” semakin jelas terlihat, saat ia memberikan sambutan di depan para hadirin peringatan Harlah Muslimat, Minggu (27/01/2019).
Yeni selaku ketua pelaksana kegiatan Harlah Muslimat NU ke-73, tidak mau melewatkan keadaan itu dengan sia-sia, ia memberikan pesan politiknya dengan menyanyikan sepotong lagu dari Raja Dangdut Rhoma Irama, “baju satu kering di badan, jangan lupa cintaku muslimat”.
Nyanyian pagi itu, memberikan pesan bahwa militansi ibu-ibu Muslimat NU yang hadir di Gelora Bung Karno, lanjutnya ia mengatakan “mereka datang tanpa kenal lelah, membawa keinginan sederhana berkhidmat bagi negara nusa dan bangsa”.
Ketua umum Jaringan Gusdurian ini, mampu meyakini kebangkitan trah Gus Dur di depan 120 ribu ibu-ibu Muslimat yang memenuhi stadion GBK dengan mengatakan “Hari ini Jakarta Jadi Ijo Royo-royo,”, menurut saya, Yeni Wahid sedang memberikan pesan politik kepada Gubernur DKI Anies Baswedan yang hadir dalam kegiatan tersebut, yang artinya tolong perhatikan aspirasi warga NU yang ramai-ramai ini.
Berbeda dengan Yeni yang memang sudah terbiasa berguyon dengan ayahnya, Khofifah Indar Parawansa, ketua umum Muslimat juga tidak mau kalah nyentrik pagi itu, sebagai orang utama pada organisasi perempuan NU itu, dalam sambutannya, terlihat tidak biasa seperti seorang Khofifah yang biasanya berpidato dalam forum-forum pemerintahan, biasanya ia terlihat santun dan santai dalam memberikan pesan politiknya.
Tetapi pagi itu, Khofifah terlihat lebih enjoy, ia memperlihatkan kelihaiannya dalam beretorika dan berpolitik khas NU. Terlihat saat ia menyentil Susi Pudjiastuti yang hadir pagi itu dengan kacamata hitam khasnya sebagai Menteri Perikanan dan Kelautan. Khofifah mengucapkan ‘selamat datang’ kepada para tamu hadirin, di ujung ia mengatakan “Ada Ibu Susi yang suka menenggelamkan kapal,” disambut gelak tawa para hadirin.
Politik humornya tidak hanya di situ, Gubernur Jawa Timur 2019-2024 ini melantunkan sebuah sholawatan yang liriknya sudah dirombak sesuai keadaan pada pagi itu, Kofifah ber-sholawatan yang biasa dinyanyikan warga NU “Warga muslimat berbahagia, Pak Jokowi dan Bu Iriana, hadir di harlah muslimat ke tujuh puluh tiga, semoga bertambah barokah” sontak diteruskan oleh hadirin “Sholatullah Salamullah ‘Alaa Thoha Rosulillah Sholatullah Salamullah”. Dengan begitu santai Khoffifah menyambut orang nomor satu Republik Indoensia.
Sholawat pagi itu memberikan pesan ucapan terima kasih kepada Jokowi telah mengambil Calon Wakil Presiden dari kalangan NU dan kesiapan Khofifah memenangkan Jokowi terpilih kembali di tahun politik 2019, sebagai Gubernur dan Ketua Muslimat.
Tidak hanya kerabatnya Susi Pudjiastuti dan Presiden Jokowi yang dibuat tersenyum oleh Mantan Menteri Sosial 2014-2018, tetapi juga para anggotanya juga tak lewat kena sindiran, dengan pertanyaan yang enteng atau spontan khas NU, ia bertanya pada anggotanya yang hadir. “Sebagai ketua umum saya mau tanya, baju seragamnya sudah lunas belum bu?” disambut dengan tawa di seluruh setadiun GBK menggema kata “Sudah” dan dijawab kembali oleh Khofifah dengan lagu kuch-kuch hotah hai yang sudah diganti liriknya, “Aduh muslimatne, Ayu ayune, Krono seragamne, Lunas cicilane” sontak membuat GBK ramai kembali.
Anggota NU tidak hanya berkualitas dalam keilmuan dan mempunyai darah atau genetika politik guyon, andal dalam beretorika dalam situasi formal maupun nonformal, membuat organisasi selama 93 tahun selalu dinamis dalam kondisi Dunia. Politik Guyon yang dipraktikkan NU kepada siapa pun, dengan ringan bahkan dengan sholawatan sekalipun, selalu memberikan pesan politik yang tidak bias untuk ditangkap publik, serta tidak membuat para hadirin pendengarnya bosan.
Prof. Dr. KH. Said Aqil Siraj, ketua umum PBNU juga menunjukkan kehebatannya dalam politik guyon khas NU nomor wahid, pria kelahiran Cirebon ini mengucapkan sikap politiknya melalui guyonan yang santai.
Ketika sambutan ‘selamat datang’ kepada Presiden Joko Widodo dan Istri yang hadir pagi itu. Kang Said dengan tenang mengucapkan “Selamat datang kepada yang saya muliakan Bapak Presiden Joko Widodo dan Ibu Iriana Joko Widodo, Presiden Republik 2019-2024”. Lalu disambut tepuk tangan riang para hadirin, yang memang mengetahui bahwa Jokowi sedang melakukan kampanye ke sana-ke sini, karena mencalonkan kembali dalam Pemilu 2019-2014.
Bukan hanya Jokowi yang dibilang akan menjadi presiden kembali, Ketua umum PBNU itu juga bilang bahwa, Ibu Khofifah Indar Parawansa akan menjadi calon Presiden di tahun 2024 dan Sekretaris Jendral PBNU ia bilang calon menteri di kabinet ke depanya. Sontak membuat para hadirin memberikan tepuk tangan bahagia.
Menurut pengamatan hemat saya, hal tersebut merupakan kelebihan para anggota yang lahir dari Organisasi NU, walaupun cuaca ibu kota Jakarta dari Sabtu malam sampai Minggu pagi turun hujan, tetapi kehebatan para punggawa organisasi Islam terbesar di Indonesia, tidak kehabisan “kayu bakar guyonan“ untuk menghangatkan keadaan sosial politik nasional dan internasional.
Jika dahulu Gus Dur pernah mengatakan “yang lebih penting dari politik adalah kemanusiaan, saat menghadapi otoriternya orde baru, mungkin jika ia hidup kembali di zaman ini yang sudah terpolarisasi oleh pilihan politik sampai ada istilah cebong dan kampret, kira-kira akan kembali bilang begini “ada yang lebih penting dari politik ialah kebahagiaan”.
Sumber:
indopos.co.id/muslimatnu
merdeka.com/muslimatnu
Youtube/harlahmuslimatnu
Bertugas sebagai Reporter Serikat News
Menyukai ini:
Suka Memuat...