SERIKATNEWS.COM- Senator Ahmad Nawardi sesalkan pola kebijakan pemerintah yang memutuskan impor garam industri 3,7 ton awal tahun ini. Keputusan pemerintah dengan membuka keran impor, bagi Nawardi, adalah bukti ketidak seriusan pemerintah dalam swasembada dan kedaulatan garam nasional.
“Nilai impor garam kita, terutama garam industri, sangat besar dan sering. Di tengah kenyataan teritori sebagai negara maritim dengan luas panjang pesisir terbesar, volume impor tidak pernah turun,” sebut anggota DPD RI daerah pemilihan Jatim itu melalui sambungan telepon, Rabu, (24/01/18) pagi.
Menurutnya, kuota impor garam yang tiap tahun terus merangkak naik menjadi bukti buruknya tata kelola garam nasional. Dalam sepuluh tahun terkahir, pasokan garam luar negeri menurut Nawardi dilakukan berlebihan. Akibatnya, produksi garam nasional lumpuh dan petani-petambak garam ikut dirugikan.
“Bila kita baca, peta garam nasional itu selalu menunjukkan grafik buruk. Mulai dari nilai impor yang terus meningkat, tata kelola garam yang tidak berkemajuan dan efisien, hingga buruknya perusahaan pemerintah dalam produksi dan distribusi,” tegas ketua HKTI Jatim itu.
Nawardi menilai, pelonggaran pintu impor garam hanya akan menjadi bukti lemahnya tata kelola garam nasional oleh pemerintah. Tidak sedikit devisa mengalir ke negara-negara eksportir beberapa tahun terkahir ini, seperti Australia, Selandia Baru, Tiongkok, dan India.
“Masalah garam di Indonesia itu sebenarnya terletak pada tingkat produksi yang kurang, kualitasnya yang buruk, dan harga yang tidak kompetitif. Pemerintah justru memilih impor dengan angka fantastis tanpa mempertimbangkan strategi kelola garam dalam negeri,” sesalnya.
Data Badan Pusat Statistik mencatat bahwa sepanjang 2016, impor garam tumbuh 15 persen menjadi 2,14 juta ton dari tahun 2015 yang hanya 1,86 ton. Sementara nilainya tumbuh 7,8 persen menjadi US$ 86 juta dari tahun sebelumnya US$ 79,83 juta. Impor garam pernah mencapai puncak tertinggi pada 2014 seberat 2,69 juta ton dengan nilai US$ 104,35 juta, dan awal 2018 sebanyak 3,7 ton.
“Kebutuhan konsumsi dan industri garam masyarakat berbanding terbaik dengan angka produksi. Tahun kemarin angka kebutuhan garam dalam negeri mencapai hampir 4 juta ton, tetapi produksi garam rakyat anjlok hingga 96 persen pada tahun sebelumnya,” sebut mantan wartawan Tempo ini.
“Pemerintah lalu membuka keran impor selebar-lebarnya. Mereka kurang jeli melihat, pola dan strategi apa yang musti dilakukan untuk mencari solusi jitu atas beberapa masalah garam itu. Impor itu bukti bahwa swasembada dan kedaulatan garam yang dicanangkan pemerintah itu hanya pura-pura,” tegas Nawardi.
PT. Garam Lesu
Ahmad Nawardi juga mengaggap PT. Garam sebagai perusahaan pemerintah yang khusus mengurusi garam gagal dalam menjalankan tugas pokoknya. Bagi Nawardi, PT. Garam yang ditugasi membangun kemandirian di bidang garam tidak mampu mewujudkan cita-cita swasembada dan kesejahteraan petani.
“Penyertaan modal pemerintah untuk garam ini terus meningkat, tetapi kerja perusahaan PT. Garam kok loyo dan lesu. PT. Garam ini hanya surplus anggaran, tetapi defisit strategi dan pengelolaan. Justru yang ditampilkan, kasus izin impor pertengahan 2017 kemarin,” sesalnya.
Nawardi menambahkan, sepanjang tahun 2017 produksi garam PT. Garam tidak mencapai target. Menurut Nawardi, di awal tahun 2017, PT. Garam menargetkan produksi sebanyak 315.500 ton, namun setelah produksi selesai pada November 2017 lalu, PT. Garam hanya mampu menghasilkan 194.300 ton.
“PT. Garam memiliki rapor merah dalam neraca produktifitasnya. Alasan yang terus diulang adalah soal iklim dan cuaca. Menurut saya, alasan itu justru menampakkan ketidakmampuan PT Garam dalam menganalisa peluang,” tegas Nawardi.
Nawardi beranggapan, kebutuhan garam ke depan akan terus meningkat, baik garam konsumsi, pengawetan, farmasi, dan industri. Jumlah populasi penduduk yang makin meningkat, menurut Nawardi, juga akan mempengaruhi jumlah konsumsi garam masyarakat.
“Segera buka sentra-sentra produksi garam baru yang luas di daerah ideal dengan intensitas curah hujan terendah. Karena kualitas juga harus berjalan seiring dengan kauntitas, maka daya saing garam nasional bisa dekembangankan dengan penggunaan tekhnologi maju dan mekanisasi,” imbuh Nawardi.
“PT. Garam kabarnya memang menggunakan tekhnologi maju, tetapi kok kualitas produksinya tetap rendah dan tidak produktif,” tambahnya.
Padahal, menurut Nawardi, suntikan anggaran untuk menyerap garam di sentra-sentra produksi lokal sudah banyak. Tahun ini, sekitar 500 miliar dana dialokasikan untuk menyerap garam lokal. Tetapi menurutnya, skema penyerapan oleh PT. Garam terkesan fiktif karena tidak jelas datanya.
“Ratusan miliar untuk menyerap garam lokal itu bagus, tetapi lengkapi juga dengan data akurat. Seberapa banyak potentially yang bisa diserap, di daerah mana saja, bagaimana pola distribusinya, dan sebagainya. Semua itu kan masih abu-abu,” tegasnya.
Nawardi menilai, PT. Garam mesti membenahi pola dan strategi untuk meningkatkan produksi dan daya saing garam nasional. Dari tahun ke tahun, garam nasional justru tidak kunjung membaik sementara impor terus meningkat.
“Kita hendak dorong pemerintah dan industri untuk menyongsong swasembada garam nasional, seperti Australia. Salah satunya, transparansi distribusi dan harga garam oleh PT. Garam,” sambungnya.
Nawardi mengaku khawatir ada indikasi tidak sehat pada proses impor garam. Ia berharap, tranparansi oleh PT. Garam dan pemerintah penting untuk mengantisipasi ada mafia garam untuk kepentingan kelompok tertentu. “Swasta dan masyarakat harus ikut mengawal kebijakan itu. Jangan sampai ada indikasi memperkaya diri dan kelompok kepentingan. Kita tolak itu mafia garam,” tutupnya. (Muchlas)
SerikatNews.com adalah media kritis anak bangsa. Menyajikan informasi secara akurat. Serta setia menjadi platform ruang bertukar gagasan faktual.
Menyukai ini:
Suka Memuat...