Sudah lazim di sebuah kota, sebuah nama jalan memakai nama seorang tokoh yang sudah almarhum untuk menghormati jasanya. Sebuah kota yang berperadaban biasanya juga memakai nama jalan untuk mengingatkan penduduknya akan sejarah mereka. Misalnya saja di Negeri Belanda terdapat nama Jalan Hatta, Jalan Sjahrir, dua tokoh pejuang kemerdekaan Indonesia yang pernah belajar di negara tersebut dan yang paling belakangan adalah Jalan Munir, seorang tokoh HAM yang meninggal karena diracun di atas penerbangan menuju Belanda untuk meneruskan study-nya.
Bagaimana dengan Sumatera Barat? Sebagai sebuah kota pendidikan, Bukittinggi yang dahulu bernama Fort de Kock telah berdiri sebuah Sekolah Guru Negeri untuk Guru-Guru Pribumi, sebuah sekolah elit berasrama yang dijuluki oleh penduduk setempat dengan nama “Sekolah Raja”. Untuk masuk ke sekolah ini memiliki seleksi yang ketat karena kapasitas yang terbatas. Murid-muridnya berasal dari berbagai daerah dari seluruh Sumatera, kepulauan Riau, Bangka, Belitung, dan Kalimantan Barat. Sekolah ini merupakan sekolah percontohan dengan Direktur dan beberapa guru Belanda dengan diperbantukan dengan Guru-guru lokal berbahasa Melayu. Di sekolah ini murid-murid diajarkan baca tulis Bahasa Belanda. Salah seorang gurunya adalah G.H. Horensma. Dia bertugas menjadi direktur sekolah ini dari tahun 1915 sampai tahun 1920. Waktu bertugas disana dia mempunyai seorang murid kesayangan yang cerdas dan sudah dianggap seperti anak angkatnya sendiri, bernama Ibrahim yang kemudian hari lebih dikenal dengan nama Tan Malaka. Kebetulan juga Guru Horensma tidak memiliki anak kandung selama perkawinannya dengan istrinya yang bernama Mathilde Elzas.
Sebagai murid yang cerdas Ibrahim telah menumbuhkan keinginan pada Guru Horensma untuk membawanya ke Negeri Belanda mendapat pelajaran lebih tinggi dari yang diterimanya di Fort De Kock. Maka di tahun terakhirnya di Sekolah, Guru Horensma membawa Ibrahim ketika masa libur cutinya tiba. Di Negeri Belanda Guru Horensma menulis Surat Permohonan pada Van der Lay, Direktur Sekolah Guru Haarlem untuk mengabulkan menerima Ibrahim di sekolah tersebut. Setelah memenuhi syarat administratif yang diperlukan akhirnya Ibrahim bisa diterima di sekolah tersebut. Guru Horensma bersama kawan baiknya W. Dominicus yang bekerja sebagai kontrolir di Suliki, mengusulkan untuk membentuk UngkuFond di kampung halaman Ibrahim untuk menggalang dana memberikan bantuan selama Ibrahim belajar di Negeri Belanda dengan jaminan kelak Ibrahim akan melunasi hutangnya setelah dia bekerja. Kurang lebih selama enam tahun akhirnya Ibrahim tinggal di Negeri Belanda dengan Guru Horensma sebagai penanggung jawabnya. Di Negeri Belanda setelah lulus Ibrahim mendapat pekerjaan bagus dengan gaji disetarakan Orang Eropa untuk menjadi Guru di sebuah sekolah percontohan milik Perkebunan Belanda di Deli. Kurang lebih selama dua tahun Tan Malaka bekerja disana, dia berhasil melunasi hutang pada Ungkufond namun belum untuk hutang dengan Guru Horensma. Tan Malaka kemudian pindah ke Semarang untuk bekerja membangun sekolah sekaligus menjadi guru dan mendidik calon guru untuk Sarekat Islam. Seperti kita tahu kemudian Tan Malaka terlibat dalam gerakan politik yang mengancam kekuasaan kolonialisme. Akhirnya Gubernur Jenderal memutuskan memberi hukuman pembuangan untuk menghentikan aktifitas politik Tan Malaka. Tan Malaka kemudian memutuskan memilih keluar dari wilayah pemerintah Hindia Belanda dengan biaya sendiri.
Hukuman ini tentu saja ikut menghancurkan hati Guru Horensma melihat nasib malang muridnya karena menjalani hukuman dari pemerintahan bangsanya sendiri. Hal ini bisa kita baca dari surat menyurat antara Tan Malaka dengan Guru Horensma yang dikumpulkan oleh Harry Poeze, sejarawan Belanda penulis biografi Tan Malaka. Kurang lebih selama dua puluh tahun Tan Malaka menjalani hukuman pembuangan tersebut sampai akhirnya kembali lagi ke tanah air ketika terjadi Perang Dunia ke II yang mengakibatkan runtuhnya pemerintahan Hindia Belanda digantikan Pendudukan Militer Jepang. Tan Malaka kemudian bersama para pemuda berjuang untuk Kemerdekaan Indonesia dengan Proklamasi 17 Agustus 1945.
Bagaimana dengan hubungan antara Tan Malaka dengan Guru Horensma? Setelah pembuangannya dari Hindia Belanda, hubungan surat menyurat antara mereka pun akhirnya terputus. Tidak ditemukan arsip yang menandakan komunikasi antara murid dan guru tersebut. Guru Horensma pun sudah merelakan hutang Tan Malaka yang belum sempat dilunasinya tersebut, yang entah berapa jumlahnya. Hutang yang juga belum dibayar oleh Tan Malaka adalah hutang Budi. Hutang Budi dibawa mati. Sebagai sebuah negeri yang beradab sudah sepatutnyalah Hutang Budi yang belum terbayar ini diabadikan pada nama sebuah Jalan di Kota Bukittinggi, kota dimana semuanya berasal ketika hubungan antara Guru Horensma untuk mencerdaskan muridnya yang bernama Ibrahim berlangsung di “Sekolah Raja. Apalagi Bukittinggi sebagai sebuah kota tujuan wisata, antara lain turis-turis dari Negeri Belanda datang mengenang sejarah masa lalu opa dan oma mereka, sudah selayaknya mengabadikan Guru Horensma menjadi nama sebuah jalan. Masakkan pemerintah daerah tidak mampu untuk mewujudkannya dan kalah dengan Negara Belanda yang dengan bangga memakai nama Jalan Hatta, Jalan Sjahrir dan Jalan Munir?
Pemberian nama jalan ini kelak diharapkan kelak akan meningkatkan hubungan yang lebih luas antara pemerintah daerah Bukittinggi dengan salah satu kota di Negara Belanda sebagai “sister city” apakah itu kota Haarlem, Bussum atau kota lainnya? Seabad silam fort de kock telah mampu mengirimkan salah satu putera terbaiknya ke Negeri Belanda, apakah pemerintah daerah hari ini ketika Indonesia telah 72 tahun Merdeka tidak bisa meneruskan jejak langkah yang telah dirintis oleh Tan Malaka dan Guru Horensma mengirimkan lulusan SMA terbaiknya ke Negeri Belanda?
Penulis adalah anggota Tan Malaka Institute (TMI)
Menyukai ini:
Suka Memuat...