Penulis: Ruly Harmadi
Kamis, 11 Januari 2018 - 01:30 WIB
Karl Marx (1818-1883), pelopor utama gagasan “sosialisme ilmiah” dilahirkan tahun 1818 di kota Trier, Jerman. Di umur tujuh belas tahun, Karl masuk Universitas Bonn, belajar hukum. Belakangan dia pindah ke Universitas Berlin dan kemudian dapat gelar Doktor dalam ilmu filsafat dari Universitas Jena.
Marx lalu menceburkan diri ke dunia jurnalistik dan sebentar menjadi redaktur Rheinische Zeitung di Cologne. Tapi, pandangan politiknya yang radikal menyeretnya ke dalam rupa-rupa kesulitan dan memaksanya pindah ke Paris. Di situlah dia mula pertama bertemu dengan Friederich Engels. Tali persahabatan dan persamaan pandangan politik mengikat kedua orang ini selaku dwi tunggal hingga akhir hayatnya.
Marx tak bisa lama tinggal di Paris dan segera diusir dari sana dan mesti pindah ke Brussel. Di kota inilah, tahun 1847, dia pertama kali menerbitkan buah pikirannya yang penting The poverty of philosophy (Kemiskinan filsafat). Tahun berikutnya bersama dengan Engels mereka menerbitkan Communist Manifesto,buku yang akhirnya menjadi bacaan dunia. Pada tahun itu juga Marx kembali ke Cologne untuk kemudian diusir lagi dari sana hanya selang beberapa bulan. Marx pindah dan menetap di London hingga akhir hayatnya.
Meskipun hanya ada sedikit uang berkat pekerjaan jurnalistik, Marx menghabiskan sejumlah besar waktunya di London melakukan penyelidikan dan menulis buku-buku tentang politik dan ekonomi. Di tahun itu Marx dan keluarganya mendapat bantuan biaya hidup dari Engels kawan karibnya. Jilid pertama Das Kapital, karya ilmiah Marx terpenting terbit di tahun 1867. Tatkala Marx meninggal di tahun 1883, kedua jilid sambungannya belum sepenuhnya rampung. Kedua jilid sambungannya itu disusun dan diterbitkan oleh Engels berpegang pada catatan-catatan dan naskah yang ditinggalkan Marx.
Pada tahun 1978, Michael Hart menerbitkan buku “Seratus Tokoh” yang paling berpengaruh dalam Sejarah dan menempatkan Karl Marx di urutan nomor sebelas. Ia menulis alasan menempatkan Marx di urutan yang tinggi: “Arti penting seorang filosof terletak bukan pada kebenaran pendapatnya tapi terletak pada masalah apakah buah pikirannya telah menggerakkan orang untuk bertindak atau tidak? Diukur dari sudut ini, tak perlu diragukan lagi Karl Marx punya arti penting yang luar biasa hebatnya.”
Marilah misalnya kita ambil contoh bagaimana filsafat Karl Marx telah menggerakkan Tan Malaka. Pada Januari 1914, Tan Malaka diterima di sekolah guru Haarlem. Para murid adalah anak-anak sederhana, anak-anak kaum guru, pegawai kecil, kaum buruh, anak-anak dengan otak tajam tetapi tidak bisa masuk HBS karena orang tua tidak mampu. Tan Malaka segera diterima dalam lingkungan sekolah dan segera merasa senang karena tidak terdapat diskriminasi bangsa. Murid lain menganggapnya sebagai orang Hindia Timur yang menarik perhatian. Tan Malaka mengenal baik tulisan Max Havelaar yang pada saat itu sangat berpengaruh, dan ia sering mengutip Batavus Droogstoppel dalam leluconnya di kelas.
Pada dasarnya Tan Malaka mempunyai bakat dalam bidang bahasa. Ketertarikan Tan Malaka pada bahasa dan penguasaannya membaca teks berbahasa Belanda membawanya pada literatur filsafat.
Tan Malaka menulis dalam memoarnya: “Kekaguman atas persatuan semangat dan organisasi Jerman, pada waktu permulaan membaca buku yang berisi, menarik saya kepada ahli filsafat Jerman yang sangat mempengaruhi pemuda penggempur Jerman di masa itu: Friedrich Nietsche.
Di sudut Jacobijnen-straat ada sebuah toko buku waktu berangkat dan pulang sekolah saya melalui toko buku tadi. Perhatian ke toko buku ini memuncak bersama-sama dengan memuncaknya gelora perang di medan pertempuran Eropa, dan masa Strum und Drang yang mengikat usia saya. Tak ada buku yang berarti luput dari mata dan pembacaan kilat. Cuma kesanggupan membeli amat terbatas, dan bisa dilakukan hanya dengan menutup mata terhadap barang lain yang bukan buku, disertai mengikat pinggang lebih erat. De groote denkers der eeuwen dipasang dipasang di belakang kaca: Friedrich Nietsche zoo sprak Zarathustra. Buku karangan Nietsche yang lain yang tak kurang populernya di antara Pemuda Jerman di masa itu ialah De Wil tot Macht.
Kalau pernah saya ditarik oleh bahasa, maka bahasa Nietchelah yang mengambil bagian amat besar: “Die Umwertung aller Werten”, pembatalan nilainya segala nilai.
Selangkah demi selangkah, didorong keadaan dalam dan luar diri saya, dipengaruhi dan diobori buku-buku bacaan, maka cocok dengan undang-undang kwantity bertukar dengan kwality, tiba-tiba saya sudah berada dalam semangat dan paham yang lazim dinamai revolusioner.
Akhirnya dengan memakai metode dialektika Hegel Thesis, anti thesis dan synthesis, Tan Malaka menemukan proses mencari filsafatnya “berupa Niestche sebagai thesis, Rousseua sebagai anti thesis, dan akhirnya Marx-Engels sebagai synthesis.
Proses pertama sudah berlaku dalam pergolakan hidup selama 6 tahun di Nederland itu. “Keadaan sudah membentuk paham” yang rasanya tak lekang dek panas tak kan lapuk dek hujan.”
Lantas kembali ke pertanyaan apakah Karl Marx masih bisa ditempatkan dalam Seratus Tokoh yang paling berpengaruh dalam sejarah, dengan melihat realita hari ini dengan bubarnya Uni Soviet dan Jerman Timur?
Sebagai nabi sosialisme Marx boleh jadi tamat, namun sebagai nabi dari ‘kesalingtergantungan universal antarbangsa’ sebagaimana ia menyebut globalisasi, ia masih tampak sangat relevan. Paparannya tentang globalisasi tetap tajam sekarang ini sebagaimana 150 tahun lalu.
Ramalan Marx mengenai keruntuhan kaum borjuis dan kemenangan kaum proletar tidak terwujud. Namun akurasi Marx tajam ketika menguak ‘watak’ kapitalisme.
Semakin sukses globalisasi semakin ia mengobarkan reaksi baliknya sendiri – atau dengan kata lain, Marx menyatakan bahwa perkembangan industri besar merenggut dari bawah kaki borjuasi landasan itu sendiri yang di atasnya borjuasi menghasilkan dan memiliki hasil-hasil. Oleh sebab itu, apa yang dihasilkan oleh borjuasi ialah menggali liang kuburnya sendiri.
Apakah destruksi kreatif yang dihadirkan oleh kapitalisme global memiliki titik macet alamiahnya, sebuah momen ketika orang-orang sudah tak tahan lagi?
Penggambaran gamblang Das Kapital mengenai daya-daya yang mengatur hidup masyarakat modern juga mengenai instabilitas, alienasi, dan eksploitasi yang dihasilkannya – takkan pernah kehilangan gaungnya, atau kekuatannya untuk menghadirkan fokus pada dunia ini.
Buku-bukunya akan tetap perlu dibaca selama kapitalisme bersitahan. Alih-alih terkubur di bawah puing-puing Tembok Berlin, Marx kini tampil membawa makna pentingnya yang sesungguhnya. Ia bisa menjadi pemikir paling berpengaruh pada abad ke-21, tulis Francis Wheen pada tahun 2006 dalam buku “Das Kapital, Kisah Sebuah Buku yang mengubah Dunia”.
Lalu bagaimana pemikiran Tan Malaka yang berpijak pada filsafat Marx?
Karena Tan Malaka mendekati Marx sebagai sebuah proses filsafat dan bukan dengan jalan langsung ke politik praktis, dimulai dari Fredrich Nietsche filsuf yang diacu sebagai semangat kebangkitan Jerman Raya pada Perang Dunia I, lalu berpindah kepada Rosseau filsuf yang menginspirasi Revolusi Perancis, dengan Liberte, Egalite, Fraternite. Dan akhirnya ketika berita Revolusi Rusia pada tahun 1917 mengguncang Eropa membuatnya berpindah kembali pada Filsuf Jerman Karl Marx yang bukunya Das Kapital telah dibacanya. “Baru hidup buat saya segala buku lama yang berhubungan dengan Marx-Engels “Het Kapitaal” terjemahan van der Goes.
Tan menulis proses ini:
Tetapi terasa bahwa filsafat Nietsche lebih banyak terpusat pada satu bangsa saja, ialah bangsa Jerman dan pada satu golongan Jerman yang istimewa, ialah golongan “Junkertum”, ningrat yang dibantu oleh hartawan. Kemauan baja, hasrat yang tergambar pada Ubermensch di masa perang dunia kesatu itu menjelma pada persekutuan Hitler-Goring-Krupp. Ke Jermanannya filsafat Nietsche itu lekas saya alami, waktu percobaan saya memasuki tentara Jerman dan mendapatkan latihan Jerman mendapat jawaban, bahwa tentara Jerman tak menerima bangsa asing dan tak mempunyai Laskar Sukarela Asing.
Sendirinya saya terdorong kepada “Umwertung aller Werten” yang lebih dalam: “Liberte, Egalite, Fraternite. Satu buku “De Franche Revolutie” (atau De Groote Frasche Omwenteling) oleh Th. Carlyle, sudah lama terpendam di antara beberapa buku lain dalam peti saya.
Di masa itu politik adalah “terra incognita” (onbekend land) buat saya. Tidak saya benci dan tidak saya sukai, karena saya sama sekali tak insyaf akan adanya politik itu. tetapi di masa Strum und Drang di atas, di masa pikiran melompat, menyelundup, membelok ke kiri ke kanan dan menerobos laksana air tertahan, maka tiba-tiba buku “De Fransche Revolutie” menjelma menjadi satu teman bahagia buat pikiran yang lelah sedang mencari.
Pada masa itu kemajuan pikiran saya belum sampai ke tingkat dialektika berdasarkan materialisme, dan mengupas semboyan Liberte, Egalite, dan Fraternite tadi dalam suasana kapitalisme dan imprialisme. Belum ada dalam pandangan saya klas borjuis dan klas proletar di samping bangsa penjajah dan bangsa terjajah.
Pandangan ini baru timbul sebagai sambungan kemajuan mencari paham yang memuaskan, ketika Revolusi Komunis sebagai bom peledak yang menggemparkan seluruh dunia, pada bulan Oktober 1917 di Rusia. Baru hidup buat saya segala buku lama yang berhubungan dengan Marx-Engels “Het Kapitaal” terjemahan van der Goes, “Marische Ekonomie” oleh Karl Kautscky dan lain-lain sebagainya. Selanjutnya banyak brosure yang berhubungan dengan Revolusi Sosial di bulan Oktober 1917 itu diterbitkan.
Dalam lapangan politik berupa: Wilhelm-Hidenburg-Stinnes sebagai permulaan, Danton-Robespiere-Marat sebagai pembatalan, serta kaum Bolsjewik sebagai Kebatalan Pembatalan. Paham berkehendak membentuk masyarakat. Inilah yang dirasa satu kewajiban hidup yang mesti dilakukan dalam hujan atau panasnya penghidupan.”
Disinilah letak kelebihan Tan Malaka, karena dia mendekati Marx dari pendekatan filsafat bukan dengan politik praktis yang memakai metode Lenin dalam menafsirkan Marx, sehingga walaupun dengan bubarnya Soviet metode filsafatnya juga masih bisa dipakai kembali.
Tan menulis:
“Kalau sekarang kita beralih memandang dengan kecepatan kilat arah sejarah filsafat, ialah bayangan gerakan sejarah Masyarakat, dari Heraklit – Demokrit sampai ke Hegel……dan dari Hegel sampai ke Marx – Engels, maka perjuangan dua kodrat tersebut di atas, dalam lapangan alam raya tadi, dalam gelanggang filsafat ini, bolehlah kita ibaratkan dengan perjuangan thesis dan antithesis yang menghasilkan synthesis……terus menerus tak putus-putusnya.
Tetapi dengan perlompatan dari lapangan ilmu pasti ke lapangan filsafat janganlah kita lupakan perbedaan dasar antara dua golongan ahli filsafat ialah golongan idealis dan golongan materialis. Dialektikanya Hegel adalah berdasarkan Absolute Idee (Rohani Mutlak). Sedangkan buat Heraklit – Demokrit, Marx – Engels, dialektika adalah berdasarkan benda (matter).
Syahdan buat Hegel, Rohani – Mutlak inilah yang menggerakkan thesis dan antithesis serta menghasilkan synthesis terus menerus. Laksana thesis – sayap kanan dengan anti thesis – sayap kiri dari synthesis seekor burung yang terbang melambung tinggi di angkasa terus menerus, dan tak pernah turun ke tanah……Posistion, Ignoration, Ignoration der Ignoration.
Dalam ilmu alam Heraklit dan Demokrit tak pernah meninggalkan daratan. Hasil pikiran kedua ahli ini diantaranya ialah hypothesis (persangkaan) adanya benda molekule dan atom yang di zaman mereka hidup tidak dapat dilihat dengan mata telanjang, tetapi yang sekarang dibenarkan oleh ilmu modern, disaksikan dengan teropong, yakni sesudah kurang lebih 2500 tahun hypothesis itu didapatkan.
Hasil dari dialektika berdasarkan benda ialah pendapatan Marx dalam ilmu ekonomi tentang theori surplus value (nilai lebih), dan pendapat Marx – Engels dalam filsafat yang dikenal sebagai historis – materialisme dan dialektis – materialisme, dialektika berdasarkan benda.”
Akhirnya dengan memakai metode filsafat Marx-Engels, Tan Malaka menyusun sendiri bukunya yang diberi nama “Madilog” yang diperuntukkan bagi masyarakat Indonesia yang masih sangat dipengaruhi tahayul sehingga dia perlu menekankan unsur Logika ke dalam bukunya selain aspek Materialisme dan dialektika.
Brosur Ekonomi Berjuang menggunakan bahasa dialog yang ditulis Tan Malaka setelah kecamuk Pertempuran Surabaya 10 Nopember 1945, menunjukkan penguasaannya di luar kepala atas teori Marx mengenai “Nilai Lebih”
Alfian dalam esainya Tan Malaka seorang Revolusioner yang Kesepian, dengan pesimis bertanya siapakah yang membaca Madilog hari ini? Pesimisme Alfian ini tampaknya tidak terbukti. Karena pendekatan Tan Malaka atas Marx sebagai cara berpikir, bukan sebagai sebuah dogma maka buku Madilog sebagai kritiknya pada masyarakat Indonesia kiranya akan tetap mempunyai relevansi seperti halnya buku Das Kapital Marx sebagai kritik atas kapitalisme. Ambil contoh misalnya Frans Magnis seorang profesor filsafat yang menulis beberapa esai mengenai Tan Malaka, dan masih banyak penulis lain hingga hari ini “tergelitik” merespon berbagai tulisan Tan Malaka.
SERIKATNEWS.COM – Kementerian Kominfo memblokir aplikasi TEMU. Hal itu dilakukan karena tidak terdaftar sebagai Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE) di Indonesia.
SERIKATNEWS.COM– Siswa-siswi Agribisnis Tanaman Pangan dan Hortikultura (ATPH) SMK Siding Puri, Kecamatan Lenteng, Kabupaten Sumenep, terus menunjukkan antusiasme dalam mengikuti
SERIKATNEWS.COM – Apoteker merupakan salah satu profesi yang sangat penting dalam dunia kesehatan. Apoteker bertanggung jawab dalam memastikan obat-obatan yang
SERIKATNEWS.COM – Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Lumbung Informasi Rakyat (LIRA) Kabupaten Probolinggo melaporkan salah alah satu Calon Wakil Bupati (Cawabup)
SERIKATNEWS.COM – Pada 27 Agustus 2024 lalu, Aliansi Mahasiswa dan Alumni Universitas Islam Negeri Sunan Ampel (UINSA) Surabaya mengeluarkan pernyataan
SERIKATNEWS.COM – Jajaran personil Polres Sumenep menggelar upacara Peringatan Hari Kesaktian Pancasila. Acara ini berlangsung di halaman Polres Sumenep dan
SERIKATNEWS.COM – Bertepatan dengan peringatan Hari Kesaktian Pancasila, Dini Rahmania, kakak perempuan dari Mas Zulmi, resmi dilantik sebagai anggota Dewan
SERIKATNEWS.COM – Direktur Utama PT PLN (Persero), Darmawan Prasodjo mengatakan pengembangan biomassa di Tasikmalaya, Jawa Barat, yang melibatkan masyarakat lokal