Kekuatan Nasionalis Dalam Kepungan Kelompok Radikal
Penulis: Karyono Wibowo
Selasa, 20 Februari 2018 - 01:36 WIB
Sebagaimana diprediksi, gejolak politik akan meningkat di tahun 2018 hingga 2019. Terbukti, memasuki awal tahun ini, suhu politik nasional sudah terasa kian memanas, bahkan ada kecenderungan akan semakin mengeras di saat mendekati momentum pemilu 2019 mendatang. Indikator memanasnya suhu politik nasional ini ditandai dengan mengerasnya pertarungan isu untuk menjatuhkan lawan politik. Celakanya, isu yang digunakan untuk menyerang lawan politik sudah kelewat batas, mengabaikan konstitusi, etika dan moral. Hal itu dapat dilihat dalam kaleidoskop politik sepanjang tahun 2016 hingga sekarang, dimana ruang publik telah diwarnai sentimen SARA, berita hoax, black campaign dan bahkan perilaku persekusi.
Sepanjang kurang lebih dua tahun, panggung politik nasional seolah dikepung oleh kelompok radikal. Kelompok ini telah membangkitkan girah agama masuk ke dalam pusaran politik. Ruang publik penuh dengan ujaran kebencian berbau SARA, hoax dan bahkan fitnah. Ruang politik seolah memberi kebebasan kelompok radikal yang dengan leluasa mengobarkan sentimen agama. Kelompok ini kerap mengatasnamakan agama untuk menyerang pihak lain yang dianggap berbeda keyakinan, berbeda pandangan politik dan ideologi. Potret pilkada DKI Jakarta 2017 merupakan contoh nyata dimana isu SARA digunakan untuk kepentingan politik. Sayangnya, potret buruk pilkada DKI bukan menjadi evaluasi untuk mengakhiri penggunaan isu SARA dalam kontestasi politik tetapi malah semakin meningkat. Isu SARA, black campaign dan berbagai berita hoax yang mengandung unsur fitnah justru dipabrikasi dan diperluas eskalasinya dengan berbagai modifikasi. Tentu saja hal ini menimbulkan sejumlah pertanyaan, ada apa dengan fenomena tersebut? Apakah ada korelasinya dengan kepentingan politik pilkada serentak 2018 dan pemilu 2019 yang akan datang? Dan siapa yang menjadi sasaran?
Jika mengamati gejala yang timbul, seperti yang terjadi di pilkada DKI Jakarta yang diwarnai isu SARA untuk menumbangkan Ahok yang merupakan kandidat gubenrur DKI Jakarta non muslim dan beretnis Tionghoa, pengakuan pengacara alumni 212 Kapitra Ampera yang mengatakan Gerakan Alumni 212 adalah gerakan politik dan terungkapnya pengakuan kelompok alumni 212 yang meminta komitmen dengan tiga pimpinan partai (Gerindra, PAN dan PKS) untuk memberi dukungan rekomendasi terhadap bakal calon kepala daerah yang diusulkan oleh kelompok tersebut di sejumlah pilkada maka jelas ada kepentingan politik di balik jubah agama. Pengakuan tersebut muncul dalam kasus La Nyala Mattaliti terkait permintaan uang mahar oleh Partai Gerindra. Dengan demikian, dapat disimpulkan ada korelasi antara gerakan kelompok radikal dengan agenda politik.
Gesekan politik menjelang pemilu memang sudah dianggap lumrah. Pun demikian adanya pertarungan isu telah disadari sebagai sebuah dinamika yang menjadi “bumbu” demokrasi. Karenanya, dalam kontestasi electoral, apalagi dalam sistem pemilihan langsung seperti sekarang ini, tentu sangat sulit menghindari gesekan politik dalam bentuk pertarungan isu. Tetapi, yang menjadi masalah adalah ketika membuat dan menyampaikan konten isu yang melanggar rambu-rambu konstitusi serta mengabaikan etika dan moral. Demikian pula, syahwat politik dan kekuasaan yang mengabaikan dampak sosial seperti timbulnya konflik di “akar rumput” –yang bisa berujung pada disharmoni dan disintegrasi bangsa adalah persoalan serius yang semestinya menjadi tanggung jawab bersama untuk memelihara keadaban dalam berpolitik demi menjaga keutuhan bangsa dan negara. Sikap ini yang kurang disadari dalam kontestasi politik kekinian.
Ilustrasi
Siapa Yang Jadi Sasaran Kelompok Radikal?
Secara ideologis, kelompok radikal memandang pihak yang memiliki keyakinan lain selain Islam sebagai kaum kafir. Pandangan seperti ini tentu mengandung sifat intoleran terhadap kelompok lain. Karenanya, yang menjadi sasaran kelompok radikal dalam perspektif agama adalah semua pihak yang di luar keyakinan agama mereka. Dalam perspektif ideologi yang menjadi sasaran serangan kelompok radikal adalah pihak yang teridentifikasi sebagai kelompok atau kekuatan nasionalis yang mengedepankan pluralisme dan konsisten terhadap NKRI berdasarkan Pancasila. Kekuatan nasionalis menjadi target utama karena secara ideologis dianggap bertentangan dengan kelompok radikal. Dalam sudut pandang kaum radikal, kelompok nasionalis kerap diposisikan sebagai kaum sekuler. Sementara itu, dalam struktur politik dan kekuasaan, kelompok radikal berpandangan bahwa kekuasaan negara dan pemerintahan masih dikuasai oleh kelompok nasionalis hingga sekarang. Bahkan dalam sejumlah jajak pendapat yang dirilis oleh beberapa lembaga survei, kekuasaan politik dan pemerintahan ke depan berpotensi besar akan dimenangkan oleh kekuatan nasionalis. Itulah yang menjadi alasan mengapa kelompok radikal mengepung kekuatan nasionalis dan menjadikan target utama dengan melakukan berbagai serangan dan bahkan fitnah yang keji.
Belum lama ini Megawati Sukarno Putri diserang dengan berita bohong (hoax) yang diposting oleh media “abal-abal”. Disitu disebutkan “Megawati Minta Pemerintah Tiadakan Adzan Karena Suaranya Berisik”. Tidak hanya itu, PDI Perjuangan juga kerap difitnah sebagai partai sarangnya PKI (Partai Komunis Indonesia). Tidak hanya Megawati dan PDI Perjuangan yang menjadi sasaran fitnah, bahkan Presiden Jokowi dan pihak istana juga terkena serangan fitnah. Jokowi difitnah sebagai keturunan PKI, istana dituduh sebagai sarang PKI. Pemerintah difitnah melakukan kriminalisasi ulama. Belum lama ini, Kapolri Jenderal Tito Karnavian juga diserang dengan isu agama. Pidatonya dipenggal sehingga mengubah makna substansi, sehingga terkesan Tito mendiskreditkan ormas Islam selain NU dan Muhammadiyah. Kepala BIN dan tokoh lainnya juga tak luput dari serangan kelompok radikal. Berbagai serangan tersebut merupakan bagian dari strategi Kelompok radikal untuk melemahkan kekuatan nasional. Pasalnya, kekuatan nasionalis diposisikan sebagai lawan politik dan ideologi karena dinilai menjadi penghalang kelompok radikal. Namun demikian, siapapun dan kelompok manapun yang menggunakan cara-cara kotor untuk menjatuhkan lawan politik seperti itu merupakan perbuatan tidak beradab dan tidak mencerminkan nilai-nilai agama, etika dan moral. Kelompok tersebut telah kehilangan akal sehat.
Anomali Gerakan Kelompok Radikal
Jika dikaji secara lebih mendalam, pola gerakan kelompok radikal ini tidak selalu linear dan bersenyawa dengan kepentingan menegakkan kemurnian agama. Kelompok Islam radikal ini juga tidak selalu seiring dan sepaham dengan organisasi Islam lainnya walau kelompok ini selalu mengklaim memperjuangkan Islam. Tapi dalam konteks tertentu, kelompok radikal ini bisa beraliansi dengan kelompok atau kekuatan politik yang berbeda pandangan baik secara politik maupun ideologi. Namun pada sisi lain, kelompok radikal ini kerap menjelma sebagai kelompok Islam puritan yang hendak menegakkan syariat Islam tanpa kompromi. Terkait sikap kelompok radikal ini, jika diukur dalam konteks konsistensi ideologi, menjadi agak sumir dan anomali antara menegakkan kemurnian ajaran Islam dan kepentingan politik transaksional.
Oleh: Toifur Ali Wafa (Pimred Media Nusainsider sekaligus Mantan Aktivis PMII Sumenep) BELAKANGAN ini, akun TikTok @MulutNetizen ramai dibicarakan. Konten-konten
Oleh: M. Faizi, Petani sekaligus Jurnalis Serikat-News Di ladang-ladang kering Madura, tembakau bukan sekadar tanaman. Ia adalah nadi kehidupan, penggerak
WAWANCARA Presiden Prabowo Subianto dengan tujuh pemimpin redaksi media nasional awal pekan ini menyajikan sesuatu yang jarang: kejelasan visi, keberanian
KRISIS demi krisis dalam ekonomi global mengingatkan kita bahwa dunia tidak pernah benar-benar stabil. Perang dagang, konflik geopolitik, pandemi, inflasi,