Laporan Atiqurrahman
Sabtu, 9 September 2017 - 17:29 WIB
Foto: Dok, Pribadi
Seharusnya demokrasi di Indonesia itu menjadi tempat yang nyaman bagi semua orang, dan memberikan ruang kebebasan yang lebih bagi siapa saja untuk melakukan aktivitas apapun. Tanpa adanya suatu ancaman, pemaksaan dan pembungkaman. Sebagai salah satu bentuk hakikat kebebasan dari kemerdekaan diri.
Sebagaimana tutur Cak Nun, bahwa demokrasi itu bagaikan bak “perawan” yang merdeka dan memerdekakan, sebab watak utamanya adalah mempersilahkan. Sehingga, dalam alam demokrasi tidak akan mengenal istilah otoriterianisme dalam bentuk apapun, sebab demokrasi sifatnya akomodatif dan sangat mengayomi semua kalangan, tanpa memandang perbedaan apapun yang melekat pada setiap diri manusia, baik soal agama, etnis, ras maupun pola fikirnya.
Namun, saat ini, demokrasi Indonesia tidak berjalan sebagaimana mestinya. Melihat dinamika perjalanan demokrasi Indonesia telah berubah menjadi sebuah ancaman dan kutukan yang menakutkan bagi orang-orang yang memiliki nalar kritis dan sikap berani melawan. Karena mereka berani untuk mengabarkan atau menginformasikan sebuah risalah kebenaran dan keadilan yang harus disampaikan kepada seluruh masyarakat luas, sebagai tanggung jawab moral dan intelektual.
Konsekuensinya, tentu saja akan membuat rezim penguasa dan sebagian orang merasa terusik dan berang atas hal itu, sebab kemapanan dan kepentingan kekuasannya menjadi terganggu dan terancam, sehingga, reaksi untuk mengkriminalisasikan atau memenjarakan mereka seakan menjadi sebuah keharusan, dengan cara memanfaatkan dan mengeksploitasi pasal-pasal hukum sebagai alat legitimasinya, sebagai salah satu jalan untuk tetap mengamankan dan melestarikan kepentingan kekuasaannya.
Dalam catatan Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet), setidaknya ada 35 orang aktivis Indonesia yang dikriminalisasi dan dijerat dengan pasal karet Undang-Undang Informasi Teknologi Elektronik (UU ITE) sejak tahun 2008. Sebanyak 28 aduan di antaranya terjadi pada tahun 2014 sampai sekarang. Kemudian, ada tiga kelompok aktivis yang paling rentan dipidanakan, yaitu para aktivis anti korupsi, aktivis lingkungan dan Jurnalis. ( HYPERLINK “http://pekanbaru.tribunnews.com/8/9/2017” http://pekanbaru.tribunnews.com/8/9/2017).
Bahkan, kasus terbaru terkait korban kriminalisasi ini menimpa Mas Dandhy Dwi Laksana, karena sebuah tulisan di akun Facebooknya yang berjudul “Suu Kyi dan Megawati”, yang dianggap mencemarkan nama baik Megawati oleh kelompok Relawan Perjuangan Demokrasi (Repdem) yang berafiliasi dengan PDIP. Padahal tulisan Mas Dandhy Dwi Laksono ini, menurut penulis tidaklah mencermarkan nama baik siapaun, terutama soal Megawati, karena tulisannya disertai dengan fakta dan data yang akurat sebagai pendukung argumentasinya.
Dengan demikian, maraknya fenomena kriminalisasi yang melanda republik ini, tentu harus segera dilawan secara massif dan terus-menerus oleh semua pihak, terutama bagi organisasi ataupun komunitas yang pro terhadap demokrasi, melalui berbagai cara dan strategi. Sebab, jika hal ini tetap dibiarkan, implikasinya, akan menjadi penyakit yang mematikan bagi postur perkembangan demokratisasi bangsa ini kedepannya. Karena kriminalisasi ini merupakan bentuk lain dari praktek otoriterianisme. Mengingat refresitas yang tengah berlangsung menggunakan “intrumen hukum” dalam menindas dan membungkam orang lain.
Maka menyelamatkan dan mengembalikan demokrasi sebagaimana idealnya merupakan langkah prioritas yang harus diupayakan secara kolektif. Sebab, selain demokrasi sebagai perekat persatuan dan menjadi pilihan terbaik bagi bangsa ini, juga demokrasi menjadi panggung dialektika pengetahuan. Dimana, semua orang memiliki hak yang sama untuk menyatakan gagasan-gagasannya ke ruang publik, dan ditambah dengan adanya arus perdebatan wacana, yang hal itu memungkinkan mendorong kemajuan peradaban Indonesia. Meskipun, pada saat ini, realitasnya tidak mencerminkan demikian, karena suara kebebasan dan gagasan yang muncul masih direspon dengan cara kekerasan dan pemenjaraan. Sehingga khazanah budaya kritik-otokritik yang menjadi subtansi sekaligus ruh dari demokrasi, kini sudah lenyap dan mati.
Oleh: Mauzun Visioner (Pegiat Literasi) PEMILIHAN Gubernur Jawa Timur sedang mencuri perhatian publik. Pasalnya, Pilgub kali ini menampilkan tiga figur
FIGUR kyai masih menarik untuk dilibatkan atau terlibat pada kontestasi pilkada 2024. Pernyataan tersebut setidaknya sesuai dengan kondisi proses pilkada
PERNYATAAN Sekretaris Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi, Prof. Tjitjik Sri Tjahjandarie tentang “pendidikan tinggi adalah tertiary education, bukan