“Layangan putus” sebuah thread cerita yang belakangan viral di media sosial mengisahkan seorang ibu muda dengan 4 orang anak sedang berjuang untuk berdamai dengan poligami yang dilakukan sang suami tanpa sepengetahuannya. Namun pada akhirnya terbongkar ketika suami menghilang selama 12 hari demi berbulan madu dengan istri baru. Pada akhir cerita, wanita itu dikisahkan menyerah dengan menggugat cerai dan memilih keluar dari ikatan perkawinan. Hal yang banyak disoroti dari cerita itu adalah sosok suami yang disebut-sebut pemilik sebuah channel dakwah yang biasanya identik dengan pribadi religius dan taat agama.
Namun, mari kita melepaskan diri dari spekulasi terkait kebenaran cerita serta tokoh-tokoh di dalam thread itu. Yang menjadi fokus adalah balada “layangan putus” dalam kehidupan nyata merupakan sesuatu yang ada di sekitar kita. Isu poligami menjadi pembahasan panjang dengan segala pro-kontra terutama di negara-negara demokrasi dan menjunjung hak asasi manusia seperti Indonesia. Terlebih sejak banyak kajian feminis menggugat praktik poligami dan menganggapnya sebagai bentuk ketidakadilan bahkan salah satu bentuk kekerasan dalam rumah tangga. Hal ini juga tertuang dalam Pasal 45 dan 49 Undang-undang Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) yang menyebutkan praktik kawin kedua dan seterusnya tanpa ada izin istri pertama adalah tindak kekerasan terhadap perempuan dan itu bisa dipidanakan.
Di Indonesia, kasus tentang rumah tangga yang terberai, wanita yang depresi juga kasus anak-anak yang trauma akibat menjadi korban broken home sebagai efek domino dari praktik poligami, bukan sekedar dongeng atau isapan jempol. Ada banyak alasan yang membuat poligami amat ditentang dan mengalami stereotip negatif di kalangan masyarakat. Poligami bahkan turut menjadi salah satu menyumbang angka perceraian lantaran pihak istri pertama biasanya lebih memilih menggugat cerai daripada merelakan diri hidup dimadu.
Akan tetapi, diskursus tentang poligami menjadi berbeda jika didasarkan pada sudut pandang syariat Islam. Dalam Islam poligami adalah perbuatan yang sah atau diperbolehkan. Kebolehan poligami tidak bisa ditolak oleh seorang muslim begitu saja, sebab dalil kebolehannya secara qoth’i tercantum di dalam Alquran. Namun kebolehan dalam hal poligami adalah kebolehan bersyarat atau sesuatu yang dibolehkan jika persyaratan tersebut sanggup terpenuhi dengan ma’ruf atau baik yakni “perilaku adil”. Sebagaimana tertuang dalam penggalan surat Annisa ayat 3 (… maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya). Ayat ini berisi tentang kebolehan laki-laki melakukan poligami namun juga sekaligus membatasinya.
Nomenklatur “boleh” dalam kaidah fikih disebut dengan mubah. Hukum mubah sendiri menurut ba’dul ulama adalah hukum yang paling fleksibel lantaran bisa berubah menjadi sunnah, makruh, haram bahkan wajib bergantung pada kecenderungan atau sesuatu yang berdampak karenanya. Dalam contoh paling sederhana, “makan” adalah perkara mubah (boleh) yang dilakukan atau tidak dilakukan tidak menyebabkan konsekuensi hukum yang serius. Namun hukum mubahnya makan bisa jadi berubah jika kegiatan “makan” menjadi sesuatu yang berdampak, baik itu positif maupun negatif. Semisal jika seseorang merasa lebih fokus beribadah jika dalam kondisi kenyang, maka makan sebelum beribadah bisa menjadi sesuatu yang lebih dianjurkan daripada meninggalkannya. Begitu pula sebaliknya. Bahkan hukum asal mubah terhadap sesuatu atau sebuah perilaku bisa menjadi wajib apabila dengan melakukan sesuatu tersebut kita menjadi terhindar dari perbuatan dosa atau “tarkul haram”.
Para pendukung praktik poligami biasanya berdalih, poligami lebih baik daripada selingkuh atau berzina. Namun dalih tersebut secara tidak langsung mendegradasi dan menganggap bahwa poligami hanya semata persoalan syahwat. Lagi pula apakah permasalahan syahwat bisa begitu saja selesai dengan poligami? Keinginan untuk berzina dan kecenderungan mendua atau selingkuh adalah persoalan perilaku—untuk menghentikanya membutuhkan “komitmen” yang harus dibangun dari dalam diri sendiri. Tidak ada jaminan bahwa poligami akan begitu saja membuat seseorang berhenti dari kecenderungan berzina.
Alasan “menghindari zina” (pun) sama sekali tidak menjadi bagian dari alasan Rasulullah melakukan poligami. Jika sebagian orang menempatkan premis mayor poligami sebagai sesuatu yang dilakukan Rasulullah, sehingga menjadi ibadah sunnah, mengapa dalam hal yang sama mereka tidak mengikuti alasan dan cara yang sama yang dilakukan Rosul dalam berpoligami? Apakah Rosul berpoligami hanya semata sebab alasan syahwat? Tentu tidak. Sebagian riwayat mengisahkan Rosul menikahi janda-janda yang ditinggal mati oleh suaminya saat perang, kebanyakan wanita janda yang Rosul menikahi pun berusia jauh lebih tua dan miskin dengan tujuan untuk menjaga kehormatan dan kesejahteraan mereka.
Fenomena “layangan putus” menunjukkan bahwa tidak sedikit pelaku poligami yang mengabaikan syarat “adil” sebagaimana yang menjadi titik tekan dibolehkannya poligami. Pengabaian itu bahkan sampai pada tingkat yang lebih fatal yakni kezaliman atau aniaya, di mana laki-laki yang sebenarnya tidak mampu adil baik secara materi maupun perilaku namun tetap ngeyel berpoligami dengan berlindung di balik dalil agama. Tak jarang dalih bahwa izin dan persetujuan istri pertama tidak menjadi syarat poligami, sehingga menikah lagi tidak butuh meminta restu atau bahkan memberi tahu istri pertama. Mereka seolah lupa bahwa izin, ridho dan keikhlasan hati wanita untuk dimadu adalah perilaku adil paling dasar yang mestinya terpenuhi terlebih dulu di luar keadilan-keadilan yang lain.
Pernikahan adalah ibadah yang tujuan utamanya adalah terbangunnya situasi “sakinah, mawaddah dan rahmah” di dalam sebuah ruang bernama keluarga. Dalam hal ini, poligami bisa menjadi sebuah kontra paradoks dari tujuan pernikahan itu sendiri apabila poligami ternyata justru menjadi penyebab hilangnya situasi “sakinah, mawaddan dan rohmah” dalam keluarga. Bahwa keluarga tidak hanya terdiri dari suami dan istri, tapi juga anak, orang tua, saudara, bahkan segenap yang berada dalam ruang lingkup rumah tangga. Maka, apakah poligami masih menjadi sesuatu yang boleh atau sunnah sebagaimana banyak diklaim oleh kaum laki-laki. Alih-alih menjalankan sunnah, tidak sedikit poligami yang justru menjadi haram jika karenanya suami berbuat zalim (aniaya) dengan menelantarkan istri dan anak-anaknya.
Dalam ruang lingkup rumah tangga wanita memiliki hak untuk diperlakukan secara ma’ruf (baik) “… Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf…” (Al-Baqarah: 228). Fatimah Azzahra, putri kandung Rasulullah sendiri secara tegas menolak poligami yang hendak dilakukan suaminya Sayyidina Ali ibn Abi Thalib. Apakah itu berarti Sayyidah Fatimah menolak syariat agama? Tentu tidak.
Sebagian orang hanya fokus terhadap kebolehan saja namun mengabaikan perintah “fa-wahid” (dan nikahilah satu saja) dalam ayat ke 3 surat Annisa. Boleh jadi pesan dari dibolehkannya menikahi dua, tiga atau empat wanita adalah; sesungguhnya engkau tidak akan sanggup berlaku adil sebagaimana adilnya Rosullah, maka menikahlah satu saja dan engkau akan lebih bisa berlaku adil dan bahagia. Dengan kata lain, boleh jadi, justru pesan paling mendalam dari ayat dibolehkannya poligami adalah anjuran untuk monogami. Wallahu A’lam Bishowwab.
Menyukai ini:
Suka Memuat...