Di seluruh penjuru dunia, umat Islam merayakan kemenangan, yaitu Idulfitri, tepatnya pada 1 Syawal. Setelah sebulan lamanya diuji keimanan serta ketakwaannya, menahan lapar dan dahaga. Di hari raya itu pula, pintu maaf terbuka lebar, ibarat manusia kembali ke fitrah (bak bayi yang baru dilahirkan ke dunia). Dianjurkan pula bagi mereka zakat fitrah sebagai kepedulian antar sesama manusia. Berbeda dengan Idul Fitri, Idul Adha tentu menjadi bagian ritual keagamaan yang dilaksanakan umat Islam setiap tanggal 10 Dzulhijjah. Idul Adha tentu tidak berangkat dari kekosongan sejarah yang akan tetap diresapi serta diyakini oleh umat Islam itu sendiri.
Sebuah arti pengorbanan disertai kesabaran, tunduk dan patuh kepada Sang Khaliq. Lihatnya misalnya sebuah pengorbanan Isma’il, kala Allah memerintahkan Ibrahim menyembelihnya. Isma’il kala itu tidak egois. Ia rela jika itu telah menjadi kehendak Allah. Itulah salah satu bentuk ujian bagi Ibrahim sekaligus meneguhkan kesabaran baginya. Keikhlasan bagi Isma’il sekaligus keikhlasan juga bagi Ibrahim. Namun Allah tetap berlaku bijaksana terhadap makhluk-Nya. Pada saat itulah Allah menggantinya dengan seekor domba, pengganti Isma’il. Hal itu sebagai penebus terhadap penghambaan totalnya kepada Rabb-Nya. Terlampir dalam surat Ash-Shāfāt, ayat: 100-111. Betapa pun, Idul Adha atau Idul Kurban mengajarkan untuk semangat berbagi antar sesama manusia, seperti apa yang dilaksanakan Ibrahim serta Isma’il ketika membagikan hewan korban kepada orang-orang sekitarnya.
Idul Adha berkaitan juga dengan rangkaian ibadah haji. Melalui perantara Ka’bah-lah (kiblat), umat Islam di jagat raya saling berseru kalimat suci atas keagungan-Nya. Bersimpuh, membentuk lautan tangis terhadap apa-apa yang telah diperbuatnya di dunia. Tertuang juga dalam surat al-Imran, ayat: 97. Itulah juga sebagai salah satu bentuk pengorbanan sebagai manusia menuju Rabb-Nya. Menunaikan Haji termasuk dalam Rukun Islam ke-5, memenuhi panggilan dan Meraih mabrur-Nya.
Semangat hari raya Idul Adha mengajarkan kita, bahwa tiada berarti hidup ini hanya untuk mementingkan hidup sendiri, tanpa mempedulikan orang lain. Dari situlah kita harus melepaskan baju egoisme individu menuju individu yang tidak lepas dari lingkaran kebersamaan. Meraih sikap bijak dalam melakukan kebajikan. Termaktub juga dalam surat al-Baqarah [2] : 177.
Tingkatkan Kepekaan Vertikal dan Sosial
Sebagaimana menurut pendapat KH. Ali Yafie (1997: 192), bahwa kerangka acuan semua ibadah yang telah disyariatkan dalam agama Islam, termasuk masalah kurban, adalah takwa. Menurutnya, jelas bahwa adalah orang-orang yang bertakwa adalah mereka yang sungguh-sungguh melakukan kebajikan tidak hanya secara formalitas-simbolik semata, melainkan menjadi titik tolak dari iman yang menyembul ke dalam perbuatan dan perilaku, dapat menolong orang lain terutama mereka yang lemah, tekun melaksanakan salat dan memenuhi kewajiban zakat, dapat dipercaya dan punya daya tahan yang tinggi dalam perjuangan. Secara simbolik, hubungan manusia dengan Tuhan (vertikal) dan manusia dengan manusia (horizontal) setali mata uang yang tidak dipisahkan.
Merujuk pula pendapat Herry Zudianto (2012), bahwa secara vertikal, kejadian simbolik itu merupakan upaya pendekatan diri melalui dialog dengan Tuhan, dalam rangka menangkap nilai dan sifat ketuhanan. Dari situlah umat manusia harus mampu melepaskan dari ambisi dan hawa nafsu serta kepentingan jangka sempit (pragmatis) sehingga dapat menjumpai Tuhan dengan kebersihan hati, ketenangan jiwa, dan kejernihan akal.
Secara hubungan kemanusiaan, kejadian simbolik dari sejarah Idul Kurban dapat kita jadikan pancaran kasih sayang antar sesama makhluk-Nya, yang termanifestasikan dalam bentuk kepedulian antar sesama. Berangkat dari hal tersebut, diharapkan sikap egalitarianisme juga ditumbuh kembangkan di tengah kesenjangan sosial, tanpa memandang stratifikasi sosial, demi mengikis serta melawan sikap antipati demi merajut semangat berkurban dan kepedulian secara berkelanjutan.
Berkurban di hari kurban tidak semata-mata untuk kepentingan sendiri, melainkan membumikan semangat berbagi antar sesama. Memangkas sikap kikir, mewah sendiri tanpa mempedulikan penderitaan orang lain. Masih banyak kaum fakir dan miskin yang lebih membutuhkan uluran tangan kita. Tentu dari situlah diharapkan sikap egalitarianisme juga ditumbuh kembangkan di tengah kesenjangan sosial, tanpa memandang stratifikasi sosial, karena di hadapan Allah Swt., semua manusia sama. Saling mempedulikan serta membantu meringankan beban antar sesama (hablum minan-nas) sesuai ungkapan pepatah mengatakan; memberikan manfaat kepada orang adalah perbuatan yang terpuji dan sangat dianjurkan bagi mereka yang benar-benar sadar akan makna hidup bersosial.
Di lain itu, salah satu bentuk riil dalam menggapai solidaritas “saling beriktikad” bersama-sama untuk menjadi the winner berperang melawan hawa nafsu (jauh dari pertikaian, permusuhan) melainkan menuju cahaya keimanan yang sempurna.
Di samping itu juga, Idul Kurban menjadi titik balik bagi pemimpin agar memberikan kemaslahatan terhadap rakyatnya. Menjamin hak hidup yang layak bagi rakyatnya. Bertindak tegas terhadap kasus mega korupsi oleh para politikus busuk, makelar kasus hukum yang miskin nuraninya. Itulah kiranya salah satu bentuk pengorbanan bagi kepentingan bersama menuju demokrasi manusiawi. Pengorbanan yang tanpa pamrih. Ia harus berlaku adil, menyejahterakan rakyat dari kungkungan atau belitan ekonomi yang mestinya menjadi suatu perbaikan sosial demi menjamin masyarakat yang sejahtera. Tentu hal demikian dapat dijadikan isyarat batin kepada seluruh umat manusia di muka bumi ini, agar menumbuhkembangkan semangat dalam berlomba-lomba menebar kebaikan dan kemanfaatan dalam kehidupan yang berada di tengah pandemi korona ini. Wallahu a‘lam Bish-shawabin.
Alumni Magister Studi Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Menyukai ini:
Suka Memuat...