Kemarin kita dikejutkan oleh pernyataan Gubernur DKI Anies Baswedan yang akan membatalkan sertifikat HGB yang diterbitkan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) untuk beberapa pulau reklamasi.
Menarik untuk dicermati karena langkah Anies tersebut adalah bagian yang utuh, bagian yang satu dengan rencana batalkan reklamasi yang dikumandangkan pasangan Anies-Sandi sejak masa kampanye Pilgub DKI 2017 lalu.
Sudah sejak awal, harus dikatakan bahwa propaganda membatalkan reklamasi yang dikatakan oleh Anies-Sandi adalah sebuah publikasi asimetris, sebuah pernyataan yang sebenarnya tidak mensasar kesana, karena sangat mungkin ada maksud dan tujuan lainnya. Karena, untuk membatalkan reklamasi Anies-Sandi akan berhadapan dengan begitu banyak aturan hukum yang tidak begitu saja dapat dianulir seenaknya, hanya karena posisi jabatan publik yang hari ini mereka genggam pasca kemenangan pilkada DKI lalu. Seorang gubernur, bahkan tidak memiliki kewenangan terlalu luar biasa untuk begitu saja membatalkan keputusan gubernur-gubernur sebelumnya, yang apalagi keputusan terdahulu tersebut diambil berpijak kepada aturan lainyang lebih tinggi diatasnya, yaitu Keputusan atau Peraturan Presiden.
Jadi untuk membatalkan reklamasi sesungguhnya sama saja dengan menggali lubang kubur sendiri. Tetapi kita harus berpikir bahwa isu batalkan reklamasi amat mungkin disebarkan tidak untuk benar-benar dilaksanakan, mengingat akan ada konsekuensi hukum dan sosial ekonomi yang harus ditanggung oleh Anies sebagai gubernur.
Pergulatan batal atau tidak reklamasi telah memasuki babak baru, setelah sebelumnya muncul berbagai pihak (bahkan yang tidak berkepentingan) ikut bicara tebtang reklamasi. Dari mulai tekhnokrat kampus terkemuka di Jawa Barat, aktivis lingkungan, orang yang mengaku aktivis nelayan hingga politisi dan dosen filsafat ikut bicara. Serangannya beragam, dari mulai soal dugaan adanya penyimpangan proses pembangunan secara tekhnis, dampak lingkungan, kepentingan nelayan, hingga persoalan imigran China dan adanya dugaan korupsi berkait perijinan reklamasi.
Belakangan itu semua mendadak terhenti. Entah siapa yang menghentikan. Karena lantas saja setelah isu-isu itu hilang, Anies langsung bermanuver tentang rencananya membatalkan serrtifikat HGB yang timbul untuk pulau-pulau reklamasi. Anies berhasil menggeser pertarungan dari soal-soal diatas yang akhirnya dapat dengan mudah dipatahkan, dengan membawa ‘tagline’ baru, batalkan sertifikat pulau reklamasi. Pertanyaannya menjadi, apa sebenarnya yang dituju oleh Anies? Membatalkan reklamasi, menggugat beberapa hal tentang reklamasi yang dianggap keliru seperti isu tekhnis, lingkungan, ikan, nelayan, ijin dan imigran China, membatalkan sertifikat pulau reklamasi, ataukah ada tujuan lain yang termaksud dari manuvernya selama ini.
Hari ini, Prof. DR. Yusril Ihza Mahendra dengan tegas menyatakan di sebuah media terkemuka bahwa Anies tidak dapat membatalkan sertifikat pulau reklamasi. Yusril memberikan argumentasi hukumnya secara lugas, tangkas dan mendasar. Karena kewenangan pembatalan sertifikat berada dalam domain BPN, dan atau berdasarkan perintah pengadilan berdasarkan keputusan hukum tetap. Seorang gubernur yang serta merta membatalkan sertifikat, bukan saja melakukan tindakan diluar kewenangan, tetapi juga membuat sistem kekuasaan politik di DKI menjadi menggunakan cara-cara Abu Nawas, yang segala bisa. Membatalkan sertifikat secara sepihak, jelas merupakan langkah diluar gugus tugas seorang kepala daerah, tak perduli sekhusus apa daerah yang dipimpinnya.
Lalu apa sebenarnya tujuan Anies membatalkan sertifikat pulau reklamasi yang kemudian ditolak secara tegas oleh pihak BPN tersebut. Mungkin sulit untuk membuktikan skema itu, walaupun amat mungkin manuver itu memang sengaja dilakukan secara sadar hanya untuk menekan pengembang pulau reklamasi, yang saat ini dalam posisi harus menunggu kepastian hukum dan politik dari proyek pembangunan pulau-pulau tersebut. Dalam kacamata bisnis, tentu pengembang akan bersikap wait and see. Mengingat gonjang ganjing belakangan ini membuat reklamasi menjadi tidak kondusif.
Apakah tidak kondusifnya isu reklamasi dari mulai isu adanya kesalahan tekhnis pembangunan, lingkungan hidup, kepentingan nelayan, imigran China, hingga manuver membatalkan sertifikat pulau reklamasi itu memang sengaja dibuat? Untuk apa?
Tidak ada pihak yang paling terganggu oleh upaya-upaya tersebut dengan menciptakan situasi yang tidak kondusif selain daripada pihak pengembang dan masyarakat pesisir Teluk Jakarta yang terkoneksi langsung dengan reklamasi.
Lalu, apakah gonjang ganjing semua itu hingga langkah membatalkan sertifikat pulau reklamasi hanyalah upaya untuk menekan pengembang untuk mau melakukan re-negosiasi terkait perubahan beberapa hal yang dipandang krusial yang ditinggalkan rezim Ahok? Jika melihat langkah Anies yang lemah landasan hukumnya, dapatlah kita berpikir bahwa opsi membatalkan sertifikat pulau reklamasi diujung kegaduhan terdahulu hanyalah upaya Anies menekan pengembang agar mau bernegosiasi dengannya amat mungkin terjadi. Politik tetaplah politik. Seorang gubernur memangku jabatan politik, keputusannya tetaplah keputusan politik. Manuvernya pun manuver politik. Tapi jika Anies membatalkan sertifikat pulau reklamasi hanya untuk menekan pengembang agar mau bernegosiasi maka kita harus mau mengatakan bahwa benarlah ini semua hanyalah lakon Abu Nawas.
*Penulis adalah aktivis, Anggota Dewan Redaksi JURNAL MARITIM, Koordinator Gerakan Nasional Sadar Maritim
Menyukai ini:
Suka Memuat...