Kedekatan Presiden Joko Widodo dengan kalangan milenial dalam berbagai kesempatan perlu mendapat apresiasi tersendiri. Hal tersebut menandai adanya kedekatan emosional dan psikologis antara pemimpin dengan konstitutennya di masa depan. Populasi milenial yang kini sekitar 24,67 persen dari 267,8 juta orang penduduk Indonesia diperkirakan akan menjadi 75 juta pada 2025 mendatang. Milenial inilah yang menjadi embrio politik kelas menengah Indonesia di masa depan sehingga sedini mungkin perlu mendapatkan literasi politik. Pentingnya literasi politik bagi milenial ini sepertinya sangat urgen signifikan mengingat temuan Yorgt (2017) menunjukkan bahwa ketertarikan milenial pada politik hanya sekitar 7 persen.
Sosial media menjadi sumber informasi utama sebesar 67 persen namun aktivitas onlinenya masih sebatas aktivitas mencari kesenangan seperti musik, film, mode baju terbaru, dan lain sebagainya. Mereka adalah bagian 132 juta penduduk kelas menengah netizen di Indonesia yang nantinya membawa demokrasi digital menjadi pionir penting ke depan. Alih alih diarahkan menjadi gerakan konstruktif, berkembangnya berita bohong yang menyebar baik di dunia maya maupun dunia nyata telah menyebabkan gerakan itu memudar.
Berkembangnya konservatisme berbasis identitas dan religiusitas di ruang publik sebenarnya tidak lebih sekedar urusan ekonomi politik pragmatis. Kondisi itu yang tercermin dari serangkaian aksi maupun persekusi secara online maupun offline yang berujung pada kepentingan politik.
Posisi milenial yang labil menjadi sasaran tembak utama karena mereka tidak memiliki pegangan ideologi dan figur. Oleh karena itulah, kebutuhan maskulinitas dan machoisme khas anak muda disambut dengan konservatisme berbasis ukhrawi. Jadilah intoleransi tumbuh subur yang digerakkan anak muda tanggung baik serba verbal maupun visual. Oleh karena itulah keberadaan figur menjadi poin signifikan dalam membina kalangan milenial ini menjadi agen perubahan
Kondisi itulah yang sebenarnya patut menjadi perhatian serius bagi elit politik untuk mencoba mendekati kalangan milenial sebagai investasi politik di masa depan. Kengganan para elit politik untuk mendekati milenial sebenarnya perlu disayangkan karena berarti mereka masih terjebak pada zona nyaman dengan konstituen stagnan. Padahal sekarang ini pola preferensi memilih di Indonesia kini lebih mengarah pada hal kausalitas yang cenderung informal. Masih sedikitnya elit politik yang mendekati milenial mengindikasikan bahwa merek antipati terhadap perubahan perilaku memilih. Singkatnya, milenial dan kelas menengah belum terlalu diperhatikan serius oleh para aktor politik saat ini.
Keberadaan partai politik yang mewadahi semangat anak muda menjadi poin penting tidak hanya pemilu 2019 namun juga pemilu ke depannya. Partai politik perlu secara adaptif untuk merevolusi diri dengan menampilkan pada sosok muda dan bergairah.
Baca Juga: Peran dan Tantangan Pemuda di Era Generasi Milenial
Karakteristik politik milenial sebenarnya adalah rekognisi. Kebutuhan mereka adalah eksistensi, diskusi, dan sosialisasi yang itu akan menuntun pada pertumbuhan nalar politik mereka. Ketiganya terkumpul dalam wujud simbolik yakni kedai kopi dan sosial media. Keduanya merupakan bentuk budaya populer politik anak muda saat ini. Meskipun hal yang dibicarakan tidak selalu berurusan dengan politik, akan tetapi obrolan milenial selalu mewujud pada keprihatinan dan kontribusi apa yang akan mereka lakukan.
Aktivisme anak muda seperti Sinergi Muda Indonesia dan Indonesia Berbicara adalah segilintir dari gerakan politik milenial yang sekarang ini menggejala di ruang publik urban bahwa mereka sadar akan kondisi politik yang carut marut dan penuh sengkarut. Namun mereka masih belum menemui pada titik solutif karena masih sekedar diskursif untuk mencari formulasi yang tepat. Ada semacam ketakutan yang dialami oleh kelompok anak muda ini dalam mendeklarasikan sikap dan ekspresi politiknya secara terbuka karena tekanan persekusi dan intimidasi lainnya. Idealnya milenial Indonesia itu perlu dibantu dan dipandu oleh eli politik untuk mendekati mereka dan mengajak berbicara dengan bahasa mereka. Milenial ini sadar bahwa kebutuhan figur itu penting dalam politik namun narasi idealisme figur yang dimaksudkan belum menemui titik temu. Rangkuman dari pembacaan survey berbagai lembaga mengerucut pada pada kebutuhan figur religus, figur populis, figur tegas, dan figur kasual. Keempat figur itulah yang menjadi idelisme politik milenial saat ini. Namun sayangnya belum banyak elite politik melihat peluang tersebut sebagai proyeksi strategis politik mereka.
Apa yang dilakukan Presiden Jokowi kepada kaum milenial secara sadar dan tidak sadar akan berimplikasi strategis terhadap politik Indonesia ke depan. Hal tersebut dikarenakan perilaku elit yang mengandalkan strategi pencitraan baik itu berbasis identitas maupun religiusitas akan ditinggalkan. Sosok Jokowi yang lebih kasual secara tidak langsung telah menarik secara bertahap kelas menengah milenial untuk masuk ke dalam diskusi politik. Selain itu pula Jokowi juga dikenal melek sosial media baik itu Instagram, Facebook, maupun Twitter yang juga menyampaikan bahasanya dalam konteks kekinian sehingga menarik minat anak muda. Penampilan kasual Presiden Jokowi dalam acara seremonial maupun formal menunjukkan gelagat bahwa politik kini dinamis yang tidak terbatasi normalitas. Maka, idealisme dan aktivisme milenial dalam tahun politik 2018 ini perlu dijaga dan dipandu agar menjadi generasi melek politik tanpa berita bohong ke depan.
*Penulis Adalah Peneliti di Pusat Penelitian Politik – LIPI
Menyukai ini:
Suka Memuat...