Yogyakarta, 18 Desember 2017
Aku hidup
Dalam hidup di mata tampak bergerak
Dengan cacar melebar, berdarah bernanah
Dan kadang satu senyum kukecup-minum dalam dahaga.
Aku, sajak Chairil Anwar 1943
Masihkah puisinya dituliskan dalam secarik kertas untuk seorang, dalam LKS-LKS sekolah, membacakan di pertigaan jalan, gedung bertingkat negara, di halaman sempit dan luas
Siapa yang tidak mengenal Chairil Anwar. Nyaris semua anak yang bersekolah di Indonesia mengenal karya-karyanya. Mengenal puisi yang bukan hanya kata-kata indah sendu, tetapi juga kata yang lugas serta bentuk pada bahasa Indonesia.
Kehidupan seorang penyair telah mampu mencipta ruh terhadap hidup seseorang. Sehingga banyak memberikan contoh mewarnai jalan kepenyairan. Untuk merengkuh semesta keakuan yang bebas, menerobas tebing paling cerdas dan tegas. Chairil mengerahkan segenap tenaga dan stamina, menyelam hingga ceruk-ceruk paling dalam, menikam hingga hulu belati ikut terbenam.
Sepak terjang kepenyairan dan sikap berkeseniannya adalah sebuah legenda. Dalam perjalanan hidupnya yang pendek itu (26 Juli 1922?28 April 1949), ia berhasil menanamkan pohon kreativitas yang hingga kini masih terus berkembang dan berbuah. Bahwa pohon kreativitas yang berupa sejumlah puisi dan esai-esainya itu sampai sekarang masih terus berbunga, sangat mungkin lantaran Chairil Anwar sendiri menanamnya sebagai sikap hidup. Dan itu diperlihatkannya dalam wujud perbuatan. Jadi, hampir semua buah karya Chairil Anwar laksana merepresentasikan sikap hidup, gagasan, dan perbuatannya.
Kalau sampai waktuku//kumau tak seorang kan merayu//tidak juga kau. Sajak yang mengembuskan energi pembebasan, gairah mendidih sekaligus membersitkan ketakutan tak terkira ketika setiap liang keliaran dipasung dan dikekang rapat-rapat oleh kedigdayaan kuasa Jepang.
Maqomnya sudah diatas awan, tidak ada yang berani dan secerdas Chairil, tidak ada yang bernyali tegak berkacak pinggang dihadapan kekuasaan Jepang yang sedemikian menakutkan.
Personalitas yang terbelah. Membangkitkan keteguhan dalam situasi ketika racun merambak dan tenggelam darah dalam nanah. Chairil juga mengandung kepasrahan pada hidup yang rapuh, menunda kekalahan sebagaimana kekalahnya menaklukkan Ida, Sumirat dan Hapsah.
Sulit untuk menuangkan legenda hidupnya kedalam kata-kata. Berbakat dan ambisius, sama sekali tidak cukup untuk menggambarkanya. Ia tetap menjadi penyair berbakat.
Banyak puisinya digunakan untuk menghancurkan musuh-musuhnya dan mendukung teman-temanya. Ia seperti malaikat yang bisa terbang kemanapun.
Kita lihat sajak berjudul “Semangat”, yang kini kita mengenalnya sebagai “Aku”. Sajak yang ditulisnya di papan tulis yang memang tersedia dalam ruangan pertemuan Keimin Bunka Shidosho. Dari seorang lelaki bermata merah.
Aku//kalau samapai waktuku//kumau tak seorang kan merayu//tidak juga kau//tak perlu sedu sedan itu//aku ini binatang jalang//dari kumpulanya terbuang//biar perlu menembus kulitku//aku tetap meradang menerjang//luka dan bisa kubawa berlari//hingga hilang pedih peri//dan aku akan lebih tidak peduli//aku mau hidup seribu tahun lagi.
Begitu hebat dirinya bisa membacakan puisi-puisi dalam kondisi apapun. Terlebih dirinya mampu membuat pendengar terpukau dan terpana pula. Seperti saat Chairil membacakan roman karya Sutan Takdir Alisjahbana, hingga Nini putri seorang Noni Belanda begitu takjub dan suka.
“….Saya juga sebenarnya tiada menyalahkan orang yang sekali-sekali bangun tinggi hari. Tetapi yang sebenarnya menggusarkan saya melihat orang bangun tinggi hari, ialah oleh karena hal itu menunjukkan sesuatu yang tidak baik. Bangsa kita yang bersahaja di desa-desa, yang tidak pernah masuk sekolah boleh dikatakan tidak pernah bangun tinggi hari, apalagi perawan-perawanya. Bangun tinggi hal itu kelihatan kepada saya sebagai suatu penyakit kaum yang sudah sekolah, jadi kaum yang sudah insyaf namanya. Dari pada didikan dan pergaulan dengan Barat itu diambilnya saja yang enaknya. Bangun tinggi hari, sore tidur lagi, senja-senja minum teh dihadapan rumah dan melancong-lancong mengambil udara. Mereka demikian menyebutkan dirinya modern. Tetapi semangat modern yang sebenarnya, semangat yang menyebabkan orang Barat dapat menjadi mulia, tidak diketahui mereka sedikir jua pun. Sifat teliti, kekerasan hati, ketajaman otak, kegembiraan bekerja yang sangat mengagumkan kita pada orang Barat. Sekalinya itu tiada sedikit juga pun diambilnya. Kelebihan orang Barat bagi mereka serupa itu ialah keindahan pakaian, rapi dan mahalnya perabot rumah. Bibir dan kuku yang bercat dan sepanjang hari berkeliaran nai auto….”.
Dengan gaya memerankan lakon dalam drama. Melangkah bolak-balik. Chairil membacakan dengan sangat lantang. Entah semangat yang di citakan oleh Chairil masih relevan dan mampu membuat orang terpikat dan gemetar.
Di era globalisasi ini, semua menjadi serba mungkin. Serba terbuka. Produk instan yang dilahirkan dunai elektronik, tidak hanya menjelmakan sosok manusia mekanistis. Tetapi lewat desakan birahi kebutuhan yang begitu tinggi untuk dipenuhi, telah mendorong manusia pada realitas pragmatisme-opurtunis. Awalnya, implikasi pergeseran budaya dan karakter pola pikir ini, menyeret segala dimensi kehidupan pada percaturan komoditas.
Begitu banyak kegemaranya dalam buku pada berbagai buku bacaan, bakat dalam dunia tulis-menulis adalah sesuatu hal penting untuk terus ia rawat dan ia kembangkan.
Chairil putra dari Toeloes bin H. Manan dan Saleha, Dari kita Medan. Dirinya mewarisi rambut hitam yang bersemu kemerahan bergelombang tebal, dan kulit putih dari ayahnya. Ia punya kakak satu ibu yang banyak dibesarkan oleh neneknya. Kedua orang tua Chairil berdarah Minangkabau. Ayahnya berasal dari Taeh. Limapuluh Koto, Payakumbuh. Sedangkan keluarga ibunya berasal dari Koto Gadang, Bukittinggi.
Tak heran jika sajak-sajaknya mampu membius para pembaca. Sajak yang dibuat begitu indah dengan bahasa yang baru dan lugas. Berbeda halnya untuk pandangan seorang ibu, baginya, ia tetaplah seorang anak yang cengeng. “Tekejut ia terduduk. Siapa memanggil itu?//ah! Lemah lesu ia tersedu : Ibu! Ibu!.
Begitu banyak kejadian yang membuatnya lebih kuat, hingga dirinya mampu membuat media bedara ditangannya. Dengan gerakan literasi lewat rubrik khusus puisi. Hal itu dimulainya ketika dibangku HIS, sekolah berkurikulum Belanda untuk anak-anak bangsawan dan pegawai pribumi. Lapar dan rakus bacaan.
Ia adalah sastrawan yang tak bisa dijinakkan. Perlawanan Chairil bukan hanya di lapangan sastra, tapi juga berjuang menumbangkan Jepang. Seperti yang pernah di sampaikan oleh Chandra, saksi sejarah yang pernah menulis sebuah artikel kenangan tentang Chairil. Chairil dikenal sebagai kaki tangan Sutan Sjahrir(paman Chairil dari pihak ibu), mempertaruhkan nyawa menjadi penghubung antara pusat perjuangan gerilya di Jakarta, dengan pusat perjuangan di Jawa Timur dan Jawa Tengah.
Chairil dengan segala keberuntunganya hidup di zaman yang memungkinkan ia lahir sebagai penyair besar dan kemalangan situasi yang tidak memberinya kenyamanan dalam hidupnya yang singkat, hanya berhubungan denga kita lewat sajak-sajaknya.
Chairil Anwar sesungguhnya sangat layak dimakamkan di Taman Makam Pahlawan atas jasajasanya. Baginya, sesungguhnya kata-kata adalah senjata dan ia sudah mengabdikan hidupnya untuk bangsa lewat senjatanya itu.
Sekali lagi, tak perlu sedu sedan itu, aku ini binatang jalang, dari kumpulanya terbuang. Bahwa Chairil tak ingin menangis dan tak mau ditangisi.
*Penulis adalah Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, aktif di Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) dan LAKPESDAM NU Kota Yogyakarta.
Relawan Cak Imin sampai mati.
Menyukai ini:
Suka Memuat...