SERIKATNEWS.COM – Pada mulanya, cita-cita yang diusung transfomasi digital adalah membuat dunia lebih demokratis dan meningkatkan partisipasi orang-orang yang suaranya dulu tak terdengar. Hal ini disampaikan Abd Aziz Faiz, Dosen Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam dalam Talk Show bertajuk Media Sosial dan Budaya Politik Generasi Milenial Menuju Pemilu 2024, di UIN Sunan Kalijaga, Rabu (01/03/2023).
“Visi awalnya, semua orang bisa berpartisipasi di media sosial,” ungkap dosen yang kerap disapa Cak Faiz tersebut. Namun alih-alih berdampak positif, dehumanisasi digital terjadi. Manusia kehilangan kebebasannya karena algoritma telah mengendalikan apa yang akan ditonton, dibaca, dan dikonsumsi.
Algoritma sendiri merupakan perangkat yang mengolah, mengalkulasi, dan memanipulasi data secara otomatis dengan tujuan pemecahan masalah. Saat ini, menurut Cak Faiz, algoritma menjadi paradoks media sosial. Pasalnya, manusia seolah-olah sebagai subjek yang berselancar di media sosial dengan bebas. Padahal kenyataannya semua yang diakses manusia (pengguna) direkam oleh algoritma.
Algoritma akan memberi rekomendasi apapun sesuai identitas, preferensi politik, dan selera ekonomi pengguna. Akhirnya manusia terkotak-kotak dalam “kerumunan” tertentu atau enklave algoritma.
Menjelang pemilu 2024, Cak Faiz menghimbau anak muda untuk tidak mencari tahu satu tokoh saja. Ketika hanya berfokus pada satu tokoh, algoritma akan menunjukkan sisi kebaikan tokoh tersebut dan menampilkan keburukan tokoh lain. Kemudian, pengguna akan terjebak dalam kerumunan atau enklave algoritma yang mudah dipolarisasi dan menjadi sasaran empuk penyebaran kabar hoaks.
Cak Faiz memberi contoh enklave algoritma: saat pemilu berlangsung, pendukung Prabowo merasa akan menang karena postingan yang muncul di media sosialnya berisi tentang Prabowo, begitu pun terjadi pada pendukung Jokowi. “Mereka merasa besar dalam kerumunan orang-orang yang satu frekuensi tentang tokoh politik,” paparnya.
Enklave algoritma menciptakan ikatan manusia yang irasional dan emosional. Dampaknya membuat seseorang memandang rendah orang yang punya pandangan politik berbeda. “Makanya kalau ada orang mabuk politik, susah dikritik,” ujar Cak Faiz.
Harapannya dengan mencari informasi tokoh lain, seseorang dapat memilih dengan pertimbangan yang sehat secara intelektual dan reflektif. Jadi, bukan karena rekomendasi algoritma.
Kontributor Serikat News Daerah Istimewa Yogyakarta