Dalam sejarahnya, maritim di Indonesia dalam rentang waktu yang panjang banyak menyumbang bagi perkembangan peradaban. Meskipun maritim dimaknai sebatas penghubung dari wilayah satu ke wilayah lainnya, tapi pada akhirnya pemaknaannya meluas daripada sekadar soal sarana transportasi. Maritim menjadi simbol perjumpaan dari beragam barang dan jasa, pengetahuan, agama, teknologi, adat istiadat, kesenian, dan juga bahasa.
Namun, dengan kedatangan kolonialis Barat, perlahan-lahan pengertian maritim menyempit. Para kolonialis sadar sekali barang siapa menguasai lautan akan menguasai kekuatan-kekuatan lain, baik politik, militer, maupun ekonomi. Dari situ, maritim dimonopoli oleh kolonialis, dan reduplah pijar peradaban maritim yang pernah jaya di masa Majapahit, Sriwijaya, dan di wilayah lainnya. Bahkan sepanjang abad 20 di Indonesia, terlebih ketika Orde Baru berkuasa, laut menjadi halaman belakang bagi peradaban. Maritim disempitkan dengan aktivitas ekonomi, seperti penangkapan ikan, produk garam, wisata laut, dan sarana transportasi antar pulau.
Perdagangan rempah-rempah memikat para kolonialis untuk datang ke Tanah Air. Niat mereka berlayar bukan untuk menjalin hubungan persahabatan, tapi untuk menguasai sumber daya alam yang tak mereka miliki. Laut dan sungai semata-mata ditafsirkan sebagai sebuah zona ekonomi untuk kepentingan materi. Dengan perspektif seperti itu, kapal-kapal Portugis, Spanyol, dan Belanda mulai berkompetisi membawa sebanyak-banyaknya rempah-rempah dari kawasan Nusantara. Mereka berlomba-lomba menguasai kawasan-kawasan di Ternate, Tidore, Ambon sampai Banten. Loji-loji dagang dibuat dan serdadu-serdadu direkrut.
Selain kekayaan sumber daya alamnya yang melimpah, wilayah Indonesia termasuk wilayah yang strategis karena menghubungkan Asia Timur dengan Asia Barat, khususnya yang terkait dengan geopolitik kelautan yang menjadi perhatian tersendiri. Karena wilayahnya yang dikelilingi oleh samudera, Republik Indonesia harus mempersiapkan komando pertahanan yang sigap terhadap musuh-musuh yang ingin memecah belah keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Awal mula terbentuknya ketahanan nasional dapat dilihat dari sistem ketahanan laut yang dibentuk pemerintah kolonial Belanda jauh sebelum Indonesia merdeka. Pada awal abad 19, pemerintah Belanda sebagai aparatur tertinggi merancang langkah-langkah strategis dalam rangka menjaga wilayah kelautan dari berbagai masalah yang ada, baik dari penduduk pribumi maupun asing. Dalam rangka pengawasan tersebut, Pemerintah Belanda membentuk dua institusi yang tugasnya menjaga, mengawasi sekaligus menertibkan segala kegiatan di laut. Dua institusi tersebut ialah Koloniale Marine (Angkatan Laut Kolonial, dibentuk tahun 1816) dan Civiele Marine (Marine Sipil, dibentuk tahun 1821). Orang-orang pribumi yang bekerja di maskapai laut Belanda cenderung menjadi tenaga kerja kasar dalam bidang kelautan yang sudah tentu dipimpin oleh orang Belanda sendiri. Orang pribumi tidak memungkinkan untuk memiliki karier yang baik atau naik secara vertikal untuk mendapatkan posisi yang strategis (Jusuf, 1971: 4).
Perlakuan berbeda diberikan Jepang kepada pemuda untuk bergabung di berbagai organisasi kepemudaan dan digembleng di organisasi-organisasi bentukan Jepang untuk keperluan perang Jepang terhadap sekutu (perang pasifik). Para pemuda kemudian diorganisir dalam Barisan Pelajar (Gakutotai) dan diberi pengarahan tentang latihan perang antar sekolah dengan sasaran merebut sekolah masing-masing. Senapan yang digunakan adalah senapan/ bedil yang terbuat dari kayu (Notosusanto, 1975: 11).
Dengan kehadiran Jepang, mekanisme pertahanan laut turut menjadi perhatian tentara pendudukan selain pertahanan darat. Jepang menyadari bahwa wilayah Indonesia sebagai kawasan maritim memerlukan penjagaan armada laut yang kuat. Untuk mencapai hal itu, maka perekrutan pelaut-pelaut Indonesia menjadi penting. Sekolah-sekolah yang berhaluan teknik kelautan pada era pendudukan Jepang seperti Sekolah Pelayaran Tinggi (SPT) dan Sekolah Latihan Pelayaran menjadi ‘pemasok’ inti perwira pelaut Indonesia yang tergabung dalam Angkatan Laut Republik Indonesia (Jusuf, 1980: 16).
Para pemuda yang tergabung dalam Kaigun Heiho dan pemuda-pemuda yang bekerja pada obyek-obyek vital di pelabuhan, kemudian beralih untuk melaksanakan tugas keamanan di pantai dan ketertiban di daerah pelabuhan, dengan membentuk BKR Laut/ Penjaga Pantai (Djamhari, 1971: 2). Untuk menjaga pesisir laut serta pelabuhan, pemuda pelaut yang tergabung dalam BKR Laut membentuk kelompok awal di Jakarta. Laut sebagai satu kesatuan wilayah Indonesia mempunyai nilai strategis dan harus dijaga dari kemungkinan lalu lalang kapal perang asing yang siap mendekat ke pelabuhan.
Demikian sekelumit kisah dalam sejarah peranan pemuda yang mempertahankan laut pada sebelum dan selama masa kemerdekaan. Pengajaran dan pelatihan militer yang dilakukan Jepang terhadap pemuda sekolahan Indonesia, berdampak langsung kepada sisi psikologis dan sosiologis pemuda. Semangat tinggi dan disiplin ketat membuahkan benih-benih impian untuk merdeka dan membela negaranya.
Pertanyaannya, apa yang telah dilakukan pemuda sekarang (generasi milenial) untuk laut Indonesia? Bisakah generasi milenial seperti para pemuda di masa lalu yang tanpa embel-embel gaji yang besar, mereka sanggup menjaga laut demi mempertahankan kedaulatan maritim negeri tercinta dan meraih kemerdekaan? Pertanyaan bisa kita jawab sendiri, dengan sikap konsisten untuk mengembalikan kejayaan maritim kita, seperti pada masa Sriwijaya, Majapahit hingga Demak yang menjadi penguasa lautan yang disegani oleh berbagai bangsa saat itu.
Jika generasi milenial sudah mau untuk “terjun” ke laut, dan memberdayakan potensi laut dan pesisirnya, maka tanggung jawab menjaga ketahanan kelautan Indonesia tidak lagi menjadi tugas TNI (AL), tapi juga pemuda sebagai aktor baru pelestari dan penjaga ketahanan kelautan Republik Indonesia. Dan sudah sepantasnya generasi milenial ikut berperan dalam menjaga kedaulatan maritim. Apalagi akhir-akhir ini semangat untuk mengembalikan kejayaan dunia maritim tumbuh lagi, sebagaimana komitmen pemerintah selama ini untuk menjadikan Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia.
Pengelola arsipprosamadura.net