Luas lautan yang mencapai 2/3 daratan, ditambah lokasinya yang strategis di antara laut China di utara, Australia di selatan dan samudera Hindia di sisi baratnya, menjadi peluang besar bagi Indonesia untuk menjadi poros maritim dunia. Berdasarkan laporan OECD 2016 memproyeksikan bahwa ekonomi maritim dunia akan berkembang dua kali lipat (USD 3 triliun) pada 2030. Proyeksi ini menggembirakan bagi bangsa Indonesia untuk memosisikannya sebagai penghela perekonomian nasional. Tahun 2010 saja kontribusinya terhadap ekonomi dunia sebesar USD1,5 triliun.
Secara ekonomi politik, Indonesia sejak 2014 telah mendeklarasikan dirinya sebagai poros maritim dunia (PMD). Agendanya: a) Revitalisasi budaya maritim Indonesia; b) Menjaga sumber daya laut dan kedaulatan pangan laut yang memosisikan nelayan sebagai pilar utamanya; c) Pembangunan infrastruktur dan konektivitas maritim lewat tol laut, logistik, industri perkapalan, dan pariwisata maritim; d) Diplomasi maritim terkait penanganan pencurian ikan, pelanggaran kedaulatan, sengketa wilayah, perompakan, dan pencemaran laut; dan e) Pembangunan kekuatan maritim untuk menjaga keselamatan dan keamanan pelayaran.
Data maritim nasional tersebut telah dirilis Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman, bahwa data ini telah dikerjakan sejak tahun 2015 oleh Badan Informasi Geospasial (BIG) dan Pusat Hidrografi dan Oseanografi TNI AL. Hal ini menjadi salah satu bentuk upaya pemerintah mengurai berbagai masalah di sektor kelautan. Selain itu, langkah ini diharapkan semakin memperkuat visi Indonesia menuju poros maritim dunia. Rujukan tersebut terdiri dari data luas laut teritorial, luas daratan dan perairan NKRI, total wilayah perairan, panjang garis pantai, zona Ekonomi Eksklusif Indonesia, landas kontinen, jumlah pulau, serta luas perairan pedalaman dan perairan kepulauan.
Data yang akurat dan dapat dipertanggungjawabkan menjadi kekuatan penting dalam memaksimalkan potensi kelautan nasional. Pasalnya, selama ini terdapat berbagai versi data terkait laut Indonesia. Sebelumnya, ketidaktersediaan data rujukan menjadikan masalah krusial kelautan sulit teratasi.
Ilustrasi: katadata.com
Hampir lima tahun program poros maritim dunia berjalan, meskipun dunia internasional mengapresiasi Indonesia dalam soal kemaritiman khususnya pemberantasan kejahatan perikanan sehingga Indonesia pada 2018 didaulat sebagai tuan rumah konferensi kelautan dunia di Bali. Topik yang dibahas: perlindungan kawasan perlindungan laut, perubahan iklim, perikanan berkelanjutan, pencemaran laut, ekonomi biru berkelanjutan, dan keamanan maritim. Tapi ada satu agenda luput dalam perhelatan tersebut, yaitu soal nelayan. Apalagi jika dikaitkan dengan soal PMD, Indonesia masih belum berhasil memosisikan kemaritiman sebagai kekuatan baru dalam pembangunan ekonomi sekaligus pusat gravitasi ekonomi maritim dunia.
Beberapa pekerjaan rumah di sektor kelautan nasional berhasil dihimpun. Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) menyebutkan sebanyak 60% pulau Indonesia yang belum dinamai rentan dicaplok oleh asing dan terdapat 37 kasus tumpahan minyak di perairan Indonesia, sampah plastik yang dibuang ke laut setiap tahunnya. Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) juga menyebutkan terdapat 34 pulau Indonesia yang dikelola asing. Lebih jauh lagi, kasus illegal fishing pun tidak luput dari diskusi panjang penyelesaian masalah kelautan.
Ada dua tantangan terbesar dalam pembangunan kemaritiman Indonesia sehingga perlu adanya gebrakan-gebrakan untuk yang harus dilakukan agar tantangan tersebut bisa menjadi sebuah daya dukung bagi laju ekonomi berbasis maritim, di antaranya adalah pusat ekonomi yang masih terkonsentrasi di Pulau Jawa dan Sumatera serta konfigurasi pulau di Indonesia yang beragam sehingga menyebabkan mahalnya biaya transportasi. Bicara ekonomi Indonesia dalam bingkai maritim sebagai upaya menjadikannya sebagai poros maritim dunia maka hal yang sangat harus segera diselesaikan adalah keterpaduan mode transportasi pendukung tol laut agar harga dari pelabuhan utama tetap sama hingga ke tujuan akhir. Ketika berbicara tentang pembangunan kemaritiman, kita tidak hanya berbicara tentang kelautan saja namun juga berbicara tentang keterpaduan mode transportasinya.
Memosisikan Indonesia sebagai poros maritim dunia (PMD) sejatinya tak semudah membalikkan telapak tangan. Meskipun Indonesia posisi geografinya strategis yang menghubungkan Samudra Pasifik dan Samudra Hindia. Sayangnya, Indonesia dengan PMD-nya belum mampu mendayagunakan secara optimal posisi geopolitik dan geoekonomi yang strategis tersebut.
Pertama, Indonesia memiliki jalur pelayaran internasional yang diakui dalam hukum laut internasional (UNCLOS 1982), yaitu alur laut kepulauan Indonesia (ALKI) I, II, dan III. Jalur ALKI I melewati Laut Cina Selatan, Selat Karimata, Laut Jawa, dan Selat Sunda. Jalur ALKI II melewati Laut Sulawesi, Selat Makassar, Laut Flores, dan Selat Lombok. Jalur ALKI III melewati Samudra Pasifik, Laut Maluku, Laut Seram, Laut Banda, Selat Ombai, dan Laut Sawu. Keberadaan ALKI secara geopolitik bernilai vital karena menghubungkan jalur pelayaran internasional yang melayani Asia Tenggara, Asia Selatan, Afrika, hingga Timur Tengah, yang juga beririsan dengan jalur sutra maritimnya Tiongkok.
Kedua, saat ini Indonesia belum menjadi pusat gravitasi ekonomi maritim dunia yang dibangun berbasiskan kekuatan sumber daya alam (SDA), sumber daya manusia (SDM), ilmu pengetahuan dan teknologi tinggi, termasuk artifisial (digitalisasi). Menengok sejarah Indonesia di abad ke 15–18, Nusantara menjadi pusat gravitasi ekonomi maritim dunia karena adanya perebutan sumber daya rempah-rempah. Hal itu dikarenakan sumber daya alam Indonesia berupa rempah-rempah menjadi komoditi rebutan dunia, di era sekarang hingga masa mendatang harus ada komoditi sumber daya alam Indonesia yang mampu menjadi primadona bagi kebutuhan dunia, geliat perikanan saat ini harusnya mampu merangsang upaya pemanfaatan sumber daya alam lainnya untuk memenuhi hal tersebut.
Ketiga, PMD belum mampu mendayagunakan potensi ekonomi selat strategis yang menjadi jalur pelayaran internasional yang juga masuk jalur ALKI. Selat Malaka, Selat Makassar, dan Selat Lombok merupakan jalur pelayaran internasional yang dilewati kapal tonase besar setiap harinya. Ratusan hingga ribuan kapal container dan kapal tanker yang melintasi perairan selat di Indonesia tapi semua masih didominasi di Selat Malaka dan itu pun pengelolaannya kita masih jauh tertinggal dari negara tetangga. Untuk selat-selat lain di Indonesia yang beririsan langsung dengan ALKI seperti Selat Sunda, Selat Bali, Selat Makassar, Selat Lombok dan sebagainya belum mampu menarik potensi tersebut. Sejauh ini kualitas infrastruktur pelabuhan Indonesia masih jauh tertinggal bila dibandingkan dengan negara seperti Malaysia, Thailand, dan Tiongkok sehingga menjadi salah satu faktor kurang maksimal program unggulan yang direncanakan oleh pemerintah yaitu Tol Laut, yaitu program tersebut menjadi tulang punggung sistem logistik nasional yang terintegrasi dan berpengaruh besar dari barat hingga timur Indonesia.
Keempat, mendayagunakan ekonomi teluk. Teluk merupakan suatu kawasan perairan semi-tertutup yang menjorok ke daratan dan menjadi pusat perkembangan kota-kota pantai dan kepelabuhanan dengan beragam aktivitas. Contohnya, Teluk Jakarta, Teluk Balikpapan, Teluk Tomini, Teluk Cendrawasih, Teluk Ambon, Teluk Semangka, Teluk Bayur, dan Teluk Palu. Selama ini Indonesia belum mendayagunakan secara optimal potensi ekonomi teluk sebagai pusat gravitasi ekonomi maritim berbasis wilayah.
Berkaca dari konsep Indonesia poros maritim dunia lima tahun lalu terdapat beberapa isu pokok yang sebenarnya masih kurang optimal dalam pengembangannya, yaitu budaya maritim, keselamatan pelayaran, dan nasib nelayan dan pekerja sektor maritim lainnya. Kurun waktu lima tahun tersebut kita masih sering melihat terjadi kecelakaan pelayaran, Pencemaran laut, dan praktik-praktik kejahatan dilaut. Pengembangan budaya maritim lewat pendidikan masih relatif kurang, soal kesejahteraan nelayan, hingga pencemaran plastik masih sering kita temui pula.
Ke depan pembangunan ekonomi Indonesia berbasis maritim harus lebih mempertajam langkah-langkah konkret dengan mempertimbangkan beberapa permasalahan di atas, sehingga konsep bisa lebih terarah. Maka beberapa penekanan kebijakan yang harus ditingkatkan antara lain :
Mendorong investasi sektor maritim yang lebih besar, agar daya dukung sektor maritim semakin besar bagi ekonomi nasional. Berdasarkan data dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) total kredit pada usaha maritim tahun 2015 sebesar 97,8 triliun, jika dibandingkan terhadap total kredit modal kerja dan kredit investasi yang mencapai Rp2.935 triliun maka masih sangat kecil porsi sektor usaha maritim.
Salah satu tolok keberhasilan sektor maritim yang menjadi acuan dunia adalah infrastruktur maritim berupa kapal dan pelabuhan. Melihat masih besarnya potensi sektor kelautan, terlebih dengan moratorium ijin kapal asing, maka industri kapal nasional harus didukung untuk menjadi tulang punggung bagi penambahan kapal nasional, baik kapal tangkap, kapal barang maupun kapal penumpang.
Kekayaan alam Indonesia di laut sangat melimpah, termasuk cadangan Migas yang belum di eksplorasi 75% berada di laut. Mengingat risiko yang besar dan biaya investasi yang tinggi, sudah seharusnya Pemerintah memberikan kemudahan dan tawaran investasi serta dukungan perbankan untuk meningkatkan investasi laut. Berdasarkan data dari Badan Koordinasi Penanaman Modal, baik PMA maupun PMDN mayoritas menanamkan investasinya di sektor berbasis darat.
Masih sedikitnya pendidikan tinggi yang berkualitas yang fokus pada maritim, maka pendirian perguruan tinggi negeri yang baru hendaknya diarahkan ke sektor maritim, begitu pula penambahan jurusan di perguruan tinggi yang ada dapat diarahkan ke sektor maritim.
Laut identik dengan ketersediaan energi terbarukan yang melimpah dan diperkirakan menyimpan potensi lebih dari 200.000 MW. Maka riset berskala industri di sektor energi terbarukan berbasis laut hendaknya menjadi prioritas Pemerintah, dan penyediaan listrik ke depan harus fokus pada energi terbarukan, termasuk potensi energi laut. Selain itu pengembangan potensi-potensi maritim lainnya harus digalakkan seperti pengembangan komoditas non perikanan, pariwisata berbasis kelautan, pemanfaatan benda muatan kapal tenggelam peninggalan sejarah dan masih banyak lagi lainnya.
Indonesia poros maritim dunia adalah sebuah cita-cita yang sangat besar, tapi bukan hal yang mustahil mengingat sejarah Indonesia masa lalu telah mampu membuktikan hal tersebut nenek moyang kita di zamannya telah mampu disegani dunia dengan kekuatan maritimnya baik secara ekonomi, dan kedaulatan. Konsep poros maritim dunia sebagai acuan pembangunan ekonomi Indonesia harus terus digelorakan dan semakin dipertajam dengan regulasi yang tepat dan pembangunan infrastruktur baik secara fisik, teknologi maupun riset dan pengembangan sumber daya.
Ditulis dalam Bahasa Inggris oleh: Mohammad Fajrul Falaakh* Diterjemahkan oleh: Makdum Ali Robbani** Pengantar Nahdlatul Ulama (NU) adalah organisasi Islam
Oleh: Robiatil Hurriyah (Mahasiswi PAI STIT Al-Ibrohimy) Di era digitalisasi yang sudah sangat canggih, teknologi komunikasi dan informasi sudah berkembang
Oleh: Wafiruddarroin PEMILIHAN kepala daerah (Pilkada) adalah momentum penting yang tidak hanya menentukan pemimpin baru, tetapi juga mencerminkan dinamika sosial
Oleh: Isna Asaroh (Ketua Kopri PMII Jember) Korps Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia Putri (KOPRI) merupakan sayap organisasi Pergerakan Mahasiswa Islam
“Terbinanya insan akademis, pencipta, dan pengabdi yang bernafaskan Islam serta bertanggung jawab atas terwujudnya masyarakat adil makmur yang di ridhoi