Oleh: Dina Situmeang SH MH (Praktisi Hukum & Dosen)
UUD 1945 dan berbagai peraturan perundan- undangan di Indonesia mengakui bahwa setiap warga negara, laki-laki maupun perempuan, memiliki hak pilih yang sama. Hak pilih adalah hak untuk memilih dan dipilih.
Sejak Pemilu pertama tahun 1955, perempuan Indonesia telah memiliki hak pilih. Padahal saat itu banyak negara yang mengaku sebagai negara demokratis, tetapi tidak memberikan hak bagi perempuan untuk memilih dalam pemilu.
Pengakuan Indonesia terhadap hak pilih perempuan, tidak saja diatur dalam peraturan perundangan nasional, tetapi juga mengesahkan instrumen Hukum Internasional, sebagai peraturan nasional, yaitu konvensi mengenai hak-hak politik perempuan (Convention on The Political Right of Moment). Konvensi itu sendiri dinyatakan berlaku sejak 7 Juli 1954. Di Indonesia mengesahkan (ratifikasi) konvensi ini melalui undang-undang nomor 68 tahun 1958.
Namun sejak pemilu 1955 hingga pemilu 2019 tetaplah rendah, tidak seimbang bila diperbandingkan dengan laki-laki, dan pemilih perempuan. Terlihat pada pemilu terakhir periode 2019-2024 per Januari 2021 hanya terdapat 123 jumlah perempuan di DPR RI atau sekitar 21,39 persen. Dengan demikian masih tergolong di bawah target.
Rendahnya jumlah perempuan di lembaga legislatif tingkat pusat maupun daerah dapat berakibat pada peraturan perundangan yang dihasilkan tidak mempertimbangkan kepentingan dan kebutuhan perempuan. Rendahnya keterwakilan perempuan di DPR dan DPRD atau keterwakilan perempuan ini merupakan persoalan demokrasi, yaitu menyalahi prinsip kesetaraan dalam demokrasi. Untuk mengatasi persoalan tersebut, maka partisipasi politik untuk meningkatkan keterwakilan perempuan dalam politik harus terus didorong.
Dalam demokrasi, pemilu juga dikenal sebagai jalan untuk mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender. Dalam pelaksanaan prinsip menjunggjung tinggi supremasi hukum, HAM, menciptakan hukum yang melindungi laki-laki dan perempuan berdasarkan persamaan hak antara laki-laki dan perempuan, adalah upaya mewujudkan keadilan gender.
Berlakunya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum juga turut membantu mendongkrak keterlibatan perempuan dalam Pemilu. Tidak hanya keterwakilan dalam partai politik sebagai peserta Pemilu, namun juga keterwakilan perempuan dalam penyelenggara pemilu. Bila kita melihat aturan keterwakilan perempuan dalam KPU diakomodir pada pasal 10 ayat (7) yang menyatakan bahwa “Komposisi keanggotaan KPU, keanggotaan KPU provinsi, dan keanggotaan KPU kabupaten/kota memperhatikan keterwakilan perempuan paling sedikit 3O% (tiga puluh persen)”.
Demikian juga dengan keterwakilan perempuan dalam Bawaslu diakomodir dalam Pasal 92 ayat (11) menyatakan bahwa “Komposisi keanggotaan Bawaslu, Bawaslu provinsi, dan Bawaslu kabupaten/kota memperhatikan keterwakilan perempuan paling sedikit 30% (tiga puluh persen)”. Di samping itu, pembuatan peraturan hukum khusus sementara yang ditujukan untuk mempercepat persamaan kesempatan dan perlakuan secara “de facto” antara laki-laki dan perempuan seperti ketentuan yang mengatur di dalam lembaga penyelanggara pemilu, sekurang-kurangnya 30% adalah bukti nyata bahwa pemilu dapat menjadi sarana untuk mewujudkan demokrasi yang setara dan adil gender.
Oleh karena itu, penting bagi perempuan Indonesia untuk memanfaatkan sebaik mungkin penghormatan atas hak pilih bagi perempuan ini. Yaitu, dengan cara menggunakan hak pilihnya secara cerdas untuk meningkatkan keterwakilan perempuan, baik dalam politik dan keterwakilan perempuan dalam penyelenggara pemilu.
SerikatNews.com adalah media kritis anak bangsa. Menyajikan informasi secara akurat. Serta setia menjadi platform ruang bertukar gagasan faktual.
Menyukai ini:
Suka Memuat...