Sejatinya Kodam sudah membangun 4 Rumah Jabatan diluar pagar Cijantung-2 yg lokasinya berhadapan dengan Mal Cijantung sekitar 15 thn yang lalu, artinya 4 Pejabat Kodam tersebut sudah disediakan rumah jabatan, sehingga tidak perlu rumah jabatan di lokasi lainnya. Tapi mengapa rumah-rumah itu tidak digunakan?
Kodam sudah punya Komplek perumahan khusus bagi personel Kodam, yaitu di Pondok Gede. Mengapa tidak ambil disitu saja, lalu dibangun sesuai kebutuhan menimbang dan memperhatikan alasan Kodam untuk menggusur penghuni Cijantung-2. Kami penghuni Cijantung-2 digusur secara paksa dan ternyata pejabat Kodam tersebut memiliki lagi rumah hasil gusuran terhadap kami.
Kopassus sudah punya Rumah dinas Kopassus di cijantung-1, Kodam punya Rumah negara di Pondok Gede, rumah jabatan Korem Jakarta Barat kan sudah ada.
Lalu kami ini rakyat sipil yg secara legal tinggal di Cijantung-2 selama 60 tahun dan membayar PBB selama 40 tahun, membangun rumah kami termasuk fasum dan fasos nya, apakah hal tersebut bisa diabaikan begitu saja. Andaikan Kodam masih merasa kekurangan atau membutuhkan rumah untuk para prajurit/personilnya, mengapa tidak menertibkan dan membangun di Komplek perumahan Kodam yang ada dan tersebar di DKI.
Lalu alasan yg selama ini disampaikan sebagai alasan penggusuran kami pun, tanpa dasar Hukum, apakah hal ini bisa terus dianggap benar ?
Kami sudah mengirim “Surat” kepada Ombudsman RI, KPK, Sekab, Mensesneg, Bapak Wakil Presiden, Bapak Presiden bekali-kali, juga sudah difasilitasi oleh Kantor Staf Kepresidenan/KSP Deputi V selama 9 bulan dan yang terkini yaitu pada tanggal 5 Februari, sudah digelar Rapat Koordinasi di kantor Kemenkopolhukam untuk bertatap muka (audiensi) dengan semua instansi Kementrian/Lembaga terkait, dan dihadiri oleh perwakilan dari : Kemenkopolhukam, Kemhan, Kodam, Komnasham perempuan, ATR- BPN, Kemenkeu/DJKN, KSP, namun pada akhirnya keputusan ini memang hanya ada ditangan Bapak Presiden.
Kami yakin bahwa Bapak Presiden pasti tepat dalam menegakkan keadilan, karena Bapak Presiden selalu menjadikan hukum sebagai panglima di negeri ini dan Presiden sebagai panglima tertinggi ABRI. Semoga Bapak Presiden Jokowi yang kami hormati mau mendengar suara kami, untuk kembalikan kami ke Cijantung-2, sesuai dengan Hukum yg berlaku. Jadi sejatinya penggusuran paksa di Cijantung-2 untuk kebutuhan prajurit adalah tidak terbukti alias pembohongan publik belaka.
Kami penghuni lama bertempat tinggal di Cijantung-2 itu secara LEGAL sesuai UU, melihat pemandangan tak sedap dan penghinaan yang luar biasa, bahwa kami ini Putra dan Putri Pahlawan Pejuang Kemerdekaan, orang tua kami yang dimakamkan di TMP Kalibata, mengapa Kodam tidak menghormati para senior mereka yg telah bertempat tinggal disitu, dengan i’tikad baik selama 60 tahun dan membayar PBB 40 tahun, diatas Tanah Negara, membangun dan memperbaiki sendiri rumah dari type RSS tanpa kamar mandi, air, listrik, jalan masih tanah, tanpa pagar rumah langsung tanah merah, jadi rumah itu dibangun kopel satu dinding dipakai rumah- rumah bersebelahan.
Lalu selama 60 tahun kami bangun menjadi bagus kemudian kami dipaksa keluar oleh 100 tentara anti huru hara, dihardik, ditendang. Dan parahnya lagi ternyata secara Hukum Cijantung-2 bukanlah milik Kodam Di peta on line BPN, tanah di Cijantung-2 itu, masih berwarna putih, yang artinya tanah tersebut milik negara oleh karena itu, “kamilah yg lebih berhak utk memilikinya” karena kami sudah tinggal disitu selama 60tahun dan membayar PBB 40 tahun dengan i’tikad baik.
Dengan temuan yang ada, Korban penggusuran 52 rumah, terdiri dari 100 KK 300 jiwa yang jelas merupakan keturunan Pahlawan yang telah memerdekakan bangsa ini, sekarang menempati rumah kerabat, teman dekat atau kamar kost disekitaran cijantung-2, karna sejatinya kami tidak bisa hidup ditempat yang selain Cijantung, karna wilayah tersebut adalah sudah menjadi Kampung halaman kami dan Indonesia adalah negara kami.
Apakah kami ini sebentar lagi akan menjadi penduduk liar tanpa identitas, menjadi Allien di negara sendiri.? Semua yang kami miliki dirampas oleh Kodam tanpa perikemanusiaan. Kami merasakan sesak dan sakit hati yang mendalam. Badak di ujungkulon, Orang utan di hutan kalimantan, Komodo, bahkan condet saja dilestarikan sebagai budaya betawi.
Mengapa kami keturunan Pahlawan pejuang
Kemerdekaan dibuang mau mati atau hidup, terserah! Kami dulu bangga dengan TNI, tapi sekarang kami mendapat perlakuan penghinaan luar biasa, yang pasti diingat sebagai mimpi buruk oleh kami keturunan pahlawan sepanjang hidup kami. Kisah ini akan menjadi sejarah kelam bagi keluarga kami selamanya.
*Penulis Aktif Forum Komunikasi Putra Putri Penghuni Cijantung 2
Opini kolumnis ini adalah tanggungjawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi SerikatNews
DALAM era digital yang berkembang pesat, industri ekspedisi menghadapi tantangan dan peluang yang belum pernah terjadi sebelumnya. Dengan pertumbuhan bisnis
PILKADA merupakan momentum krusial dalam sistem demokrasi Indonesia. Masyarakat memiliki kesempatan untuk memilih pemimpin lokal yang akan mempengaruhi arah dan
Oleh: Mauzun Visioner (Pegiat Literasi) PEMILIHAN Gubernur Jawa Timur sedang mencuri perhatian publik. Pasalnya, Pilgub kali ini menampilkan tiga figur
FIGUR kyai masih menarik untuk dilibatkan atau terlibat pada kontestasi pilkada 2024. Pernyataan tersebut setidaknya sesuai dengan kondisi proses pilkada