Dalam konstelasi sejarah Indonesia, keberadaan Pancasila sebagai “dasar negara” dan “ideologi pemersatu” tidak pernah benar-benar berjalan mulus dan tak jarang banyak menimbulkan polemik berkepanjangan. Baik dalam satu periode kepemimpinan tertentu maupun pada setiap fase pergantian kepemimpinan.
Polemik ini seringkali mencuat disebabkan sifat dari kemultitafsiran Pancasila yang memungkinkan tarik-ulur interpretasi oleh berbagai kelompok dalam spektrum politik. Sifat kemultitafsiran ini pada akhirnya akan menunjukkan pada satu sudut pandang bahwa penafsiran terhadap Pancasila dalam satu periode kekuasaan tertentu tak bisa dilepaskan dari konstelasi politik pada periode itu.
Pada dasarnya, Pancasila bukanlah suatu kompromi politik yang berisi sila-sila yang saling tercerai-berai. Pancasila lebih merupakan seperangkat dasar negara yang disetiap silanya membentuk satu kesatuan utuh dan saling mengunci satu sama lain. Dalam pengertian bahwa rumusan Pancasila bersifat hirarkis-piramidal di mana pada sila pertama ‘Ketuhanan yang Maha Esa’ memberi nafas dan makna pada sila-sila berikutnya.
Namun dalam praktik konkritnya, tak jarang Pancasila menjadi satu kompromi politik oleh kekuasaan tertentu. Misalnya, Pancasila menurut penggalinya, Sukarno, adalah sebuah kompromi antara Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme sebagaimana tertuang dalam artikelnya. Dalam artikelnya, Sukarno berargumen bahwa tiga kekuatan politik terbesar ini bisa dan harus bersatu dalam memperjuangkan kemerdekaan dan melawan imperialisme.
Hal ini diperkuat juga sebagaimana pernyataan Roeslan Abdulgani, tokoh TNI dan jubir Sukarno, “Pancasila adalah sebuah sintesis gagasan-gagasan Islam modern, Marxisme, dan demokrasi asli seperti dijumpai di desa-desa dalam komunalisme penduduk”. Gagasan Islam modern ini mengacu pada gerakan Pan-Islamisme yang waktu itu digulirkan oleh Jamaluddin al-Afgani di Timur Tengah yang bertujuan untuk menyatukan umat Islam, sementara gagasan Marxisme dapat dijumpai pada Pancasila sila kelima. Ini menunjukkan bahwa betapa embrio Pancasila merupakan sebuah kompromi dari berbagai sistem ideologi.
Di era rezim Orde Baru, penafsiran Pancasila menjadi amat berbeda dan ada semacam relasi kekuasaan yang dibangun sebagai bentuk implementasi Pancasila oleh rezim yang sedang berkuasa. Misalnya, adanya pelarangan secara tegas terhadap paham Komunisme/Marxisme-Leninisme. Pertanyaannya ialah, mana bentuk penafsiran Pancasila yang benar? Sukarno atau Orde Baru? Dalam hal ini, betapa Pancasila tidak bisa dipandang secara netral-objektif dan ada semacam diskursif-ideologis yang sangat erat kaitannya dengan relasi kekuasaan.
Orde Baru makin mempertegas bahwa sistem kekuasaannya berbasis pada ‘Demokrasi-Pancasila’. Menurut rezim ini, ‘Demokrasi Terpimpin’ ala Orde Lama tak mampu menjembatani tafsir Pancasila yang menyeluruh, bahwa ide Marxisme sebagai satu jembatan Pancasila ternyata bertentangan di mana rumusan keadilan sosial ala Marxisme tak sejalan dengan prinsip demokrasi. Sehingga menuntut adanya penafsiran baru terhadap Pancasila dan segala sesuatunya harus merujuk pada ide-ide yang tertuang dalam butir-butir Pancasila. Seperti demokrasi Pancasila, Ekonomi Pancasila dan seterusnya.
Sayangnya, Demokrasi Pancasila era Orde Baru juga tak mampu menyatukan setiap aspirasi, justru malah terjerat pada spektrum ideologis yang mengikat terlalu kuat dan semakin tidak membuka peluang pada kebebasan. Demokrasi sebagai wadah kebebasan berekspresi bagi rakyat, ternyata membelenggu rakyat sendiri akibat terlalu kaku menafsirkan Pancasila. Mahalan, Islamisme berwujud partai juga tak menemukan geraknya. Apa-apa yang berbau kritik terhadap pemerintah selalu berujung pada pembubaran dan pembredelan.
Memasuki era Reformasi, tafsir dan praktik konkrit Pancasila menemukan udara segar dan kerap kali disebut sebagai “konsensus nasional” dan “ideologi terbuka”. Jika di masa Orde Lama, Pancasila diadvokasi oleh “golongan kebangsaan”, banyak pihak di era pasca-Reformasi menjadikan Pancasila sebagai simbol pengawal “Kebinekaan”. Namun, adanya kelonggaran dan kebebasan yang dilahirkan Reformasi, membuat banyak kelompok saling berebut tafsir terhadap Pancasila.
Tentang hal ini, kita dapat merujuk pada bagaimana golongan Islamis berupaya mengapropriasi Pancasila. Bila merujuk kebelakang, tampaknya belum ada era di mana golongan Islamis ikut andil dalam memberikan tafsir baru terhadap Pancasila. Kecederungan-kecenderungan kritik terhadap Pancasila juga dimungkinkan. Hal ini bisa dilihat dari sebuah buku karya Adian Husaini berjudul “Pancasila Bukan untuk Menindas Hak Konstitusional Umat Islam (2010)”. Sebab, golongan Islamis tidak mau jika Pancasila ditafsirkan menggunakan haluan Sekuler-Liberal.
Belum lama ini, polemik tafsir dan praktik konkrit Pancasila kembali menjadi polemik atas penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Udang (Perppu) No 2 Tahun 2017 sebagai pengganti Undang-Undang No 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan. Memang, UU Ormas sebelumnya tidak memadai dan menggariskan prosedur yang panjang untuk memburarkan ormas yang bertentangan dengan ideologi Pancasila. Selain itu, UU Ormas sebelumnya juga belum pernah digunakan untuk membubarkan ormas.
Ketika UU ini diwacanakan sampai resmi diterbitkan, banyak terjadi polemik di kalangan masyarakat bahwa UU ini akan mengancam berbagai ormas yang bahkan terhadap ormas yang tidak disinyalir sebagai bertentangan dengan Pancasila. Meskipun keputusan ini sangat penting, mengingat adanya situasi yang mendesak bagi pemerintah untuk segera menerbitkan UU baru agar dapat sesegera mungkin membubarkan ormas-ormas yang bertentangan dengan Pancasila.
Sampai di sini, menjadi jelas bahwa dalam setiap periodesasi kekuasaan, tafsir-tafsir Pancasila banyak mengalami perkembangan dan tak jarang menimbulkan polemik akibat adanya relasi yang mengikat antara tafsir Pancasila dan periode politik tertentu. Hal ini sangat wajar, sebab Pancasila sendiri bersifat multitafsir dan tak ada tafsir yang tunggal terhadapnya.
Ini bisa dimengerti misalnya, sebagai ideologi pemersatu, Pancasila selalu mengikat masyarakat dalam setiap aspek kehidupannya, siapapun boleh berperilaku dan berprinsip secara bebas selama ia tak bertentangan dengan Pancasila. Dan lagi, adanya karakter multitafsir terhadap Pancasila membuat ia selalu beradaptasi dan selalu mengalami perkembangan disetiap situasi dan kondisi.
Kemultitafsiran Pancasila memiliki nilai positif, yakni bagaimana Pancasila dapat menjadi ruang diskursif tempat gagasan-gagasan mengenai cita-cita Indonesia dapat dirumuskan secara merdeka dan relevan. Juga memungkinkan Pancasila memberikan solusi di masa depan dengan tantangan dan semangat zaman yang terus berubah.
Kini, Pancasila sudah dikunci dalam Konstitusi. Meski sila-silanya tak dapat dirubah, perubahan tafsir terhadap sila-sila menjadi mungkin terjadi. Kenyataannya, satu tafsir yang dominan dalam konstelasi dan periode politik tertentu bisa tak lagi dominan dalam konstelasi dan periode politik yang berbeda. Itu artinya, Pancasila akan selalu mempengaruhi wacana politik Indonesia dan menjadi penting bagi kita semua untuk selalu merujuk pada Pancasila dalam menghadapi setiap masalah-masalah baru.
Magister Ilmu Filsafat Universitas Gadjah Mada & Ketua Pusat Studi Keislaman dan Ilmu-Ilmu Sosial di Pesantren Baitu Hikmah Krapyak Yogyakarta.
Menyukai ini:
Suka Memuat...