Sumber : YKP2015.com
JAKARTA, Serikatnews.com – Reformasi 1998 telah menunjukkan capaian penting dalam hal perlindungan hukum bagi perempuan, penguatan institusi perempuan, serta peran pejuang HAM perempuan dalam mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender di Indonesia. Disisi lain, ruang demokrasi yang terbuka, telah menjadi lahan subur bagi tumbuhnya intoleransi dan radikalisme dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam kehidupan berpolitik.
Koordinator Gerakan Perempuan Indonesia Beragam, Ruby Khalifah mengatakan, penelitian Wahid Foundation tahun 2016 tentang intoleransi menunjukkan 59,9% dari 11.520 responden memiliki kelompok yang dibenci, di antaranya adalah LGBT, Yahudi, Kristen, Shiah, Wahabi, Buddha dan China. 92,2% tidak setuju kelompok yang dibenci masuk dalam pemerintahan dan 82,4% tidak ingin hidup berdampingan dengan mereka. “PPIM juga mengkonfirmasi bahwa 84,7% dari 1200 responden menyatakan setuju negara NKRI tapi 62,7% keberatan dipimpin Presiden non muslim. 51,6% tidak setuju pendirian Gereja di daerahnya,” katanya dalam pers release yang diterima Serikatnews.com pada Senin (22/5).
Menurut Ruby, tampaknya penyebaran radikalisme cukup masif, salah satunya dilakukan di masjid. Dia melanjutkan, sebuah studi dilakukan oleh Center for Study on Religion and Culture (CSRC) menunjukkan 250 masjid di Jakarta dan Solo yand disurvey mengindikasikan penyebaran bibit-bibit radikalisme sejak tahun 1998.
Data di atas, lanjut dia, terkonfirmasi dengan baik, dalam kurun waktu 2009-2016, Komnas Perempuan mengkompilasi sejumlah 421 perda-perda diskriminatif terhadap perempuan dan minoritas agama. “Ratusan pengikut Ahmadiyah dan Shiah yang diusir oleh kelompok intoleran, kini masih menunggu kejelasan nasib mereka untuk kembali ke kampung halaman,” ujar Ruby.
Ruby menjelaskan, perempuan dan anak-anak yang paling merasakan ekslusi sosial, ketergantungan ekonomi pada jatah hidup, akses pendidikan yang susah, dan ketidakjelasan masa depan. Dia menambahkan, ada puluhan orang telah menjadi korban penafsiran tunggal dan sempit terhadap UU No. 1 tahun 1965 tentang penodaan agama.
Dia melanjutkan, Warga GKI Yasmin masih belum bisa beribadah di Gerejanya meskipun PTN memenangkan mereka. Penyegelan gereja, pembakaran gereja, pembongkaran patung-patung yang dianggap tidak bernormakan agama.
“2016, kita menyaksikan 10 wihara dibakar di Tanjung Balai. Terlihat bahwa semua yang melakukan tindakan intoleran dilakukan oleh mereka yang mengaku beragama. Intoleransinya bukan saja ditujukan kepada yang berbeda agama tapi juga yang seagama tapi berbeda aliran atau pilihan politik,” tutur Ruby.
Menurutnya, politisasi agama dan penyebaran kebencian di masjid-masjid berpontesi besar memecah belah kesaturan antar agama dan bangsa dan kekerasan berbasis gender. Dia menegaskan, koalisi berbahaya FPI, HTI, politisi, dan pengusaha pragmatis pada Pilkada Jakarta, contoh konkrit politisasi agama yang dimenangkan oleh mobokrasi.
“Kita semua harus menelan ludah pahit atas 2 tahun penjara vonis hukuman bagi Gubernur Basuki Tjahaya Purnama (Ahok) atas tuduhan penodaan agama. Prosekusi minoritas atas nama “penodaan agama” dan “ajaran sesat” secara nyata dimobilisasi oleh masa intoleran yang melakukan tekanan politik dan proses hukum,” ucap Ruby.
Dalam banyak konteks, lanjut Ruby, institusi hukum dikalahkan oleh desakan masa yang tidak jarang menggunakan ancaman kekerasan. Dalam teori Piramida Genosida, intoleransi yang kuat menjadi pintu masuk menguatnya radikalisme yang berujung pada klaim kebenaran tunggal, diskriminasi dan kekerasan serta genosida minoritas. Oleh karena itu, kata dia, lembaga negara (eksekutif, legislatif dan yudikatif) sudah semenstinya menegakkan UUD 1945 dan semua produk Undang-Undang dan peraturan yang memberikan rasa aman kepada seluruh rakyat Indonesia, serta untuk terus memastikan pondasi kebangsaan berupa dasar negara Pancasila, Bhineka tunggal Ika dan bentuk NKRI.
Berdasar situasi di atas, pihaknya menuntut agar Presiden Republik Indonesia untuk segera mengambil langkah-langkah strategis mempersempit ruang gerak kelompok-kelompok radikal dengan menegakkan konstitusi dan menggunakan alat negara TNI dan Polisi untuk mengawal hasil keputusan hukum yang sejalan dengan konstitusi. “Kami berharap Menteri Dalam Negeri untuk melakukan sinkronisasi semua regulasi daerah dengan instrumen hukum nasional dan membatalkan segala bentuk aturan yang disktriminatif terhadap perempuan dan kelompok minoritas,” katanya.
Pihaknya juga menuntut kepada Kepala Polisi Republik Indonesia secara konsisten melakukan penegakan hukum pada Surat Edaran ujaran kebencian untuk menindak tegas oknum dan intitusi yang konsisten menyebarkan kebencian di media online, media sosial, masjid-masjid, dan institusi pendidikan yang berdampak pada ekslusivme beragama yang berujung pada perpecahan dan kekerasan. Dia juga meminta agar Menteri Hukum dan HAM untuk memastikan bahwa segala keputusan pembubaran ormas atau institusi penyebar kebencian dilakukan dalam koridor ranah hukum dan disosialisasikan hasilnya sampai tingkat akar rumput melalui Surat
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan untuk memastikan sistem dan kurikulum sekolah menerapkan nilai-nilai inklusif dan secara praktikal membersihkan bibit-bibit radikalisme yang masih ada dalam sistem dan kurikulum sekolah, bahan ajar siswa, perspektif guru-guru dan pengelolah sekolah.
Pihaknya juga meminta agar Menteri Pemberdayaan Perempuan untuk mengadvokasi RUU Kesetaraan dan Keadilan gender sebagai payung segala bentuk aturan yang melindungi perempuan dan anak dari ancaman kekerasan berbasis gender. Untuk Menteri Komunikasi dan Informasi, kata dia, agar mendorong peran aktif Komisi Penyiaran dan Infomasi untuk memastikan kode etik komunikasi publik tidak mengandung konten ujaran kebencian dan sektarianisme agama atau etnik.
Pihaknya menuntut, Menteri Aparatur Negara untuk memastikan loyalitas aparatur negara dari pusat dan daerah pada NKRI, Pancasila, UUD 1945 dan Bhineka Tunggal Ika, dengan cara melakukan penguatan pendidikan kewarganegaraan kembali dan pengukuhan nilai-nilai Pancasila pada pegawai negeri, aparat pemerintah pusat dan daerah. Menurutnya, Ketua DPR RI pun harus memastikan independensi lembaga legislatif dalam menjalankan mandat melahirikan produk hukum tidak diskriminatif terhadap warga negara dan menjaga posisi tidak berpihak, apalagi kepada kelompok intoleran.
“Kami pun meminta Ketua Mahkamah Agung untuk menjaga akuntabilitas dan transparansi proses peradilan dan tidak terintervensi oleh pihak manapun, termasuk gerakan mengatasnamakan agama,” tegas Ruby. (Arif K Fadholy)
SerikatNews.com adalah media kritis anak bangsa. Menyajikan informasi secara akurat. Serta setia menjadi platform ruang bertukar gagasan faktual.
Menyukai ini:
Suka Memuat...