Kedatangan kapal nelayan yang dikawal coast guard Tiongkok pada 24 Desember 2018 lalu di Laut Natuna memicu ketegangan diplomatik antara Indonesia dengan Cina. Sebab, hal itu merupakan pelanggaran atas Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) Indonesia di perairan Natuna dan kegiatan Illegal Unreported and Unregulated (IUU) Fishing.
Kendati demikian, Beijing bersikukuh bahwa Laut Natuna masuk dalam teritorialnya. Bahkan, mereka merasa mempunyai kedaulatan di Laut Natuna dengan menggunakan dalil historis. Klaim Cina ini barangkali bersumber dari peninggalan-peninggalan sejarah yang ditemukan di perairan Natuna. Padahal, bukti bahwa ada sejumlah benda-benda bersejarah yang berasal dari Cina tidak bisa jadi alasan kuat untuk mengafirmasi klaim atas suatu wilayah.
Dalam Konvensi Hukum Laut PBB atau United Nation Convention for the Law of the Sea (UNCLOS) pasal 149 1989 disebutkan, penemuan benda purbakala dan bersejarah tidak bisa dijadikan dasar Cina dalam mengklaim perairan Natuna masuk dalam teritorinya.
Bahkan, klaim dengan dalil historis yang dilakukan Cina sangat lemah. Alasannya karena perairan Natuna masuk dalam wilayah kekuasaan Kesultanan Riau-Lingga sebagaimana tertera dalam perjanjian antara Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah dengan Residen Riau Nieuwenhuyzen I pada tahun 1857.
Dengan begitu, sekali lagi, dalil historis Cina sangat lemah dan tidak bisa dijadikan alasan untuk mengklaim perairan Natuna. Pelanggaran teritorial dan klaim sepihak Cina bukan hanya kali ini saja, terutama di wilayah Laut Cina Selatan. Taiwan, Malaysia, Singapura, Filipina, Vietnam, dan Brunei pun jengkel atas sikap Cina mengenai sengketa kepulauan Paracel dan kepulauan Spratly. Hal ini berkaitan dengan perebutan sumber minyak bumi, gas alam, dan perikanan. Dengan sebutan Laut Cina Selatan maka RRC menyatakan kepemilikan wilayah laut berdasarkan historisnya.
Medio 2017, pemerintah Indonesia mengambil langkah tepat dengan mengubah nama Laut Cina Selatan menjadi Laut Natuna Utara. Penamaan ulang kawasan perairan di sebelah utara Pulau Natuna menjadi Laut Natuna Utara menunjukkan kedaulatan diplomatik Indonesia di perairan nasional.
Dalam peta lama Indonesia yang diterbitkan 1953, juga berdasarkan International Hydrographic Organization (IHO), Laut Tiongkok Selatan membentang dari perairan yang berbatasan langsung dengan daratan Tiongkok, wilayah yang dipersengketakan dengan 6 negara ASEAN hingga ke Selat Karimata masuk ke perbatasan dengan Laut Jawa. Peta baru NKRI ini cukup memberi kejutan di tengah dinamika kawasan yang terus berkembang dan agresivitas sejumlah negara besar di Asia Tenggara terutama Tiongkok (Ramdhan Muhaimin, 2018).
Lake Hunt (2017) menyebutkan bahwa penamaan ulang Laut Natuna Utara merupakan keputusan penting pemerintah Indonesia, mengikuti sejumlah keputusan serupa yang dilakukan negara Asia Tenggara lain sebelumnya. Negara Asia Tenggara yang melakukan kebijakan serupa lebih dulu adalah Vietnam yang menamai ulang kawasan Laut Tiongkok Selatan yang masuk dalam teritorialnya menjadi Laut Timur, dan Filipina yang menamai ulang perairannya yang dipersengketakan Tiongkok dengan nama Laut Filipina Barat.
Kebijakan Indonesia menamai Laut Natuna Utara dalam peta baru NKRI merefleksikan secara tidak langsung bentuk perlawanan halus (low-profile) terhadap ekspansi Tiongkok, serta bentuk perlawanan terhadap Sembilan Garis Putus-putus Tiongkok (Tiongkok’s Nine Dash Line) yang sering kali melanggar hak ekonomi negara-negara tetangga yang memiliki ZEE. Langkah semacam itu merupakan bukti keseriusan pemerintah dalam menjaga kedaulatan wilayah NKRI.
Selain melakukan perlawanan halus (low-profile), pemerintah Indonesia dengan pemerintah Cina perlu berunding soal batas teritorial, agar simpang-siur perbatasan dapat diselesaikan. Dengan berpedoman pada UNCLOS dan dalil historis, Indonesia akan tetap berdaulat di perairan Natuna. Langkah semacam ini perlu dilakukan demi menjaga stabilitas kawasan. Sehingga, pertumbuhan ekonomi dan pembangunan tidak terganggu oleh keteganan diplomatik.
Gelora Nasionalisme
Ketegangan antara Indonesia dengan Cina di perairan Natuna semestinya dapat memantik gelora sikap nasionalisme pada diri kita. Sebab, spirit nasionalisme tumbuh bukan hanya berupa siklus tahunan, sebagaimana biasa dirayakan pada setiap 17 Agustus, melainkan juga saat martabat bangsa dilecehkan.
Ekspresi cinta pada Tanah Air bukan sakadar berupa perang melawan musuh. Tetapi, lebih dari itu, menjaga persatuan, memelihara kondusifitas dan perbedaan di tengah masyarakat merupakan bentuk dari nasionalisme.
Artinya, nasionalisme tidak selamanya bersifat ofensif, tetapi defensif. Dengan demikian, persatuan di tengah masyarakat dapat tercipta. Kerangka itu sedikit demi sedikit akan membuat Indonesia menjelma sebagai negara kuat dan disegani oleh dunia. Bahkan, Cina pun akan segan dan tidak masuk secara semena-mena ke wilayah Indonesia.
Presiden pertama Indonesia, Soekarno, dalam Di Bawah Bendera Revolusi menulis: “nasionalisme itu jalah suatu itikad; suatu keinsyafan rakjat bahwa rakjat itu ada satu golongan, satu “bangsa”!”. Pernyataan Soekarno ini menegaskan bahwa sikap nasionalisme akan tumbuh ketika kita mampu melampaui sekat-sekat identitas, baik etnis, suku, maupun agama. Karena itu, isu krusial soal Natuna mestinya menjadi “cambuk” bagi bangsa ini agar tidak lagi berkubang dalam persoalan sentimen identitas dan konflik horizontal.
Konflik horizontal yang sering dipicu oleh sentimen identitas hanya akan menghabiskan energi bangsa ini. Hal itu juga akan mengalihkan perhatian kita sehingga kepentingan strategis diabaikan, sementara kepentingan sesaat diperjuangkan. Alih-alih memusatkan pada upaya memperkuat kedaulatan, yang terjadi justru merobek persatuan. Pertikaian sesama anak bangsa harus segera dihentikan. Konflik diplomatis soal Laut Natuna mesti menjadi percikan api untuk membakar gelora persatuan sebagai bangsa yang merdeka. Semoga!
Asisten Deputi IV Bidang Koordinasi Kamtibmas Kemenko Polhukam