Jika dia menang, saya akan jalan kaki Jogja-Jakarta!
Jika dia kalah, saya akan potong telinga!
Jika dia menang, saya akan potong, alat kelamin saya!
Jika dia menang, saya akan potong leher!
Media massa dan media sosial dipenuhi dengan janji atau nazar seperti itu. Apakah nazar semacam itu ditepati? Jauh panggang dari api! Saat janji dan nazar tidak ditepati, apakah yang mengucapkannya memiliki rasa malu? Saya rasa tidak juga. Buktinya? Berkoar lagi. Bernazar lagi!
Bulan-bulan ke depan ini kita dibanjiri janji-janji kontestan pileg dan pilpres. Saat membaca janji-janji mereka yang tersebar lewat baliho, tiba-tiba saja saya sakit pilek dan butuh pil untuk menghilangkan stres. Pusing kepala saya membaca slogan-slogan basi yang seharusnya masuk comberan. Mereka menghalalkan segala media untuk menang. Ada yang menyejajarkan dirinya dengan tokoh yang lagi populer. Ada yang begitu menjijikkan dengan memakai kata-kata jorok agar orang mencoblos dirinya.
Dari pengalaman pileg dan pilpres yang lalu, kita melihat begitu liciknya mereka memelintir nazarnya saat gagal dibayar agar tidak terbakar. Alasan, Saya hanya guyon kok begitu memuakkan. Apakah rakyat akan memilih calon yang hal serius pun dibuat dagelan dan main-main? Kalau penulis satire sih saya justru kagum berat. Kalau yang ini? Bete berat!
Janji atau nazar semacam apa yang perlu kita waspadai?
Pertama, yang terlalu bombastis. Misalnya, jika calon tersebut menang, kita dijanjikan bisa membeli rumah dengan bunga nol persen. Pertanyaannya, siapa yang sanggup menyediakan dana sebesar itu? Siapa saja yang layak mendapatkannya? Ternyata setelah terpilih, realisasinya tidak semanis janjinya.
Kedua, tidak masuk akal. Entah secara teknologi atau kemampuan SDM kita untuk mewujudkannya. Namanya saja misalnya, bisa ngawur, membangun rumah yang bisa mengapung di atas awan. Memang kita Sun Go Kong yang bisa terbang?
Ketiga, yang rawan penyalahgunaan. Misalnya, jika menang dia akan memberi dana untuk setiap wilayah terkecil uang sekian milyar. Jika tidak ada feasibility study yang handal dan pengawasan pemakaian dana yang diakui akuntabilitasnya, bukankan iming-iming itu justru mengajar orang untuk korupsi? Kinerja seorang kepala daerah memang dinilai dari anggaran yang terserap. Namun, jika di bulan terakhir dana belum terserap tuntas lalu tiba-tiba saja ada pelatihan ini dan itu, kunjungan kerja ini dan itu yang tidak jelas juntrungannya, bukankan itu justru menghabiskan dana secara mubazir?
Keempat, program yang tampaknya bagus sekali tapi tidak dipersiapkan dengan baik. Misalnya, memberdayakan PKL atau UKM. Janjinya diberi modal, pelatihan, tempat, namun setelah terpilih ternyata dibiarkan tumbuh kembang sendiri. Akibatnya? Kalah bersaing dengan pedagang lain yang sudah puluhan tahun malang melintang di dunia retail. Ya ambrukklah!
Kelima, menciptakan daerah atau bahkan Indonesia yang damai. Mendengar janji semacam ini bisa membuat kita ingin muntah jika selama kampanye saja yang nampak justru sikap, ucapan dan tindakan yang provokatif dan menakut-nakuti calon pemilih. Teror ini bisa saja secara nyata dengan menandai calon pemilih yang jelas menentukan pilihan terhadap calon tertentu. Artinya, jika tidak memilih calon tersebut, orang bersangkutan langsung ketahuan. Bisa juga dengan cara-cara yang subtil, misalnya, kalau si dia yang menang, Indonesia akan bertambah hutangnya, dikuasai asing, atau bahkan bangkrut. Ironinya, di saat yang sama jurkam yang bersangkutan bisa sangat memuji teknologi maupun tokoh-tokoh asing yang jelas-jelas selama ini menguasai sektor vital di tanah air.
Lalu, bagaimana sebaiknya? Pertama, kalau masih ragu-ragu atau jelas-jelas tidak bisa memenuhi nazarnya, lebih baik tidak bernazar. Akibatnya seperti pedang bermata dua. Dirinya sendiri tidak diperaya. Orang yang di-PHP sakit hati.
Kedua, jika berani bernazar harus berani bertanggung jawab. Dalam skala kecil anak sekolah dan masyarakat bawah justru terlihat gentleman dengan memenuhi nazarnya. Mereka memakai akal sehat sehingga nazarnya pun tidak terlalu berat untuk dijalani. Misalnya, jika partainya atau calon pejabat pilihannya memang, atau mereka lulus ujian, mereka ramai-ramai menggundul kepalanya. Malu? Tidak apa-apa. Toh ramai-ramai juga. Lagi pula dalam sebulan rambut tumbuh kembali. Bagaimana dengan orang-orang yang dianggap tokoh masyarakat ternyata justru melanggar nazarnya sendiri. Jangan-jangan untuk jalan dari rumahnya ke pos ronda saja malas, apalagi jalan antarkota antarpropinsi. Memangnya bus kota?
Ketiga, jika bernazar, jangan menunda-nunda untuk segera melaksanakannya. Mengapa? Menunda bisa jadi tidak sama sekali. Untuk apa menunda? Menunggu orang lupa, sehingga dia bebas dari nazarnya. Ingat, jejak digital susah dihapuskan. Orang yang mulutnya mencla-mencle langsung ketahuan dalam hitungan detik. Misalnya, dulu mati-matian menginginkan seseorang dipenjara, kini dengan tekad bulat menginginkannya naik takhta. Terbolak-balik bukan pola pikirnya. Tuhan tidak senang dipermainkan. Bernazar bukan hanya kepada manusia, melainkan Sang Khalik.
Penulis Pelukis Kehidupan di Kanvas Jiwa