Penulis: Serikat News
Kamis, 14 September 2017 - 13:25 WIB
Sumber foto Vinanda F
Oleh:Vinanda Febriani*
“Bapak, sabar ya Pak. Ketahuilah bahwa ini hanyalah aksi para ’anak kecil’ yang salah faham menafsirkan “agama Islam” dengan menggunakannya untuk kepentingan politik mereka. Sabarlah Pak, mereka butuh rayuan, pelukan dan kasih sayang. Biarkan mereka menghujatmu, menertawakanmu bahkan mencela dan menfitnahmu. Rangkulah mereka dengan sepenuh cahaya cintamu, karena mereka lama-kelamaan akan luluh dengan perasaan yang suci itu”.
Gemuruh takbir dikumandangkan dengan lantang di sepanjang jalan. Sambil jari telunjuk menunjuk ke atas, menandakan tauhid yang mereka percayai. Islam, entah Islam yang mana yang mereka maksudkan. Setelah selesai meraup keuntungan besar yang mereka sebut dengan ’kejayaan umat Islam’ disaat Pilkada Gubernur Jakarta, dengan embel-embel aksi bela berjilid mereka, kini kembali terjadi hal serupa di Jawa Barat. Kasus yang hampir serupa, menentang adanya ’Cagub “Kafir” entah kafir dalam benak mereka yang seperti apa. Tentu kini hal ini menjadi sorotan banyak media mainstream dan media penghujat. Bererdarlah beribu berita ataupun caption Hoax yang kemudian terus digoreng dipupuk dan dibumbui dengan isu ’agama’ supaya lebih nikmat dirasa. Untung saja masyarakat Indonesia kebanyakan sudah cerdas dan sudah mampu melek media.
“Bapak, saya tahu bagaimana perasaan anda. Saya membayangkan bagaimana nasib hati saya ketika berada di posisi anda. Dan saya sedikit banyak tahu bagaimana sejarah perjuangan anda. Maka saya hanya bisa mendukung dengan do’a, semoga Bapak terus berjaya hingga menjadi salah seorang pemimpin perdamaian dunia dari Indonesia”.
Jabatan memang suatu hal yang amat menggiurkan. Bagi orang yang tidak tahan, maka segala macam cara akan dilakukannya demi menguasai jabatan yang diinginkannya tersebut. Kini, persoalan bukan ada pada kejujuran dan keikhlasan para calon pemimpin. Namun yang menjadi sorotan publik adalah ’agama’ yang mereka anut. Indonesia adalah negara Pancasila dengan beragam kepercayaan, perbedaan, budaya, agama dan segalanya. Semuanya memiliki hak yang sama untuk menjadi pemimpin di negeri ini. Sesuai kesepakatan bersama, supaya Indonesia berjaya. Maka sangat perlu untuk saling menguatkan dan mendukung satu sama lain.
Rombongan berjubah putih berlabel “syar’i” yang konon katanya mereka adalah pemilik kapling surga itu terus mengumandangkan Takbir di jalanan. Tanpa lelah letih dan lesu. Semangatnya amat membara sampai ia lupa bahwa jari telunjuknya telah menghakimi seseorang, tanpa ia sadar pula saat itu tiga jarinya yang lain menunjuk pada dirinya sendiri.
Ah, melihat fenomena ini jadi teringat saya akan kejadian idul fitri ketika ada seorang khatib berceramah politik dan provokasi, jadi teringat ketika anak-anak kecil diajari untuk berteriak “bunuh bunuh bunuhlah Ahok”. Sungguh mendidik sekali ya hal seperti itu, sampai tidak terpikirkan oleh hati nurani manusiawi.
Kini, target selanjutnya anda, Pak. Berwaspadalah, mereka akan dengan mudah mengintai den menghoaxkan segala macam fatwa, perbuatan atau ucapan bahkan candaan anda untuk bahan pelaris penjualan gorengan mereka. “Licik dan picik” dua kata yang menggambarkan keseluruhan tingkah mereka.
’Banyak bicara
Banyak berfatwa
Banyak mencela
Bahkan menfitnah saudara lainnya’
Padahal
Islam itu santun, damai dan menuntun
Melindungi mengasihi dan saling berbagi cinta kasih
Padahal Islam itu mulia, agama yang penuh dengan rahmat dan cinta
Islam itu mulia, Rahmat bagi alam semesta
Lalu, mengapa mereka seolah menggambarkan bahwa Islam itu pendendam?
Dengan tingkah laku dan cara bicara mereka, seakan mencerminkan bahwa Islam merupakan Rahmatan lil muslimin, bukan Rahmatan lil ’alamin.
Teruntuk Bapak Dedi Mulyadi, saya turut mengapresiasi kinerja bapak selama menjadi Bupati Purwakarta yang amat menyoroti serta mengedepankan dunia pendidikan, saya berterimakasih sekali.
Tidak usah berkecil hati, di demo tujuh juta ’umat’ biarkan saja. Jangan patah semangat, teruslah melangkah menuju kemenangan Pilgub Jawa Barat. Kembali kepada niat suci anda, “Jadi Gubernur untuk apa?”.
Jangan sampai Indonesia hancur karena ulah kelompok penganut ideologi “Maha aku”. Kita adalah umat yang waras penganut agama Sang Maha Segalanya jangan pernah takut dan gentar, kebhatilan itu merajalela karena orang-orang baik memilih untuk tetap diam tanpa sepatah kata ataupun perlawanan.
Dunia politik membutuhkanmu untuk menghentikan ulah kebodohan akut mereka yang mempermainkan agama sesuka hati mereka karena nafsu berkuasa. Kekuasaan semestinya untuk mengayomi semua namun bagi mereka kekuasaan adalah seolah-olah hak mereka saja.
Selamat berjuang Bapak
Semoga Tuhan selau melindungi, memberkati merahmati dan mencintaimu beserta seluruh keluarga disana.
Tuhan maha asyik
Jamaah Kopdariyah
Netizen Magelang Raya “Tebarkan kebaikan, taburkan cinta kasih dan berbagi karunia” dari Magelang untuk Indonesia.
DALAM era digital yang berkembang pesat, industri ekspedisi menghadapi tantangan dan peluang yang belum pernah terjadi sebelumnya. Dengan pertumbuhan bisnis
PILKADA merupakan momentum krusial dalam sistem demokrasi Indonesia. Masyarakat memiliki kesempatan untuk memilih pemimpin lokal yang akan mempengaruhi arah dan
Oleh: Mauzun Visioner (Pegiat Literasi) PEMILIHAN Gubernur Jawa Timur sedang mencuri perhatian publik. Pasalnya, Pilgub kali ini menampilkan tiga figur
FIGUR kyai masih menarik untuk dilibatkan atau terlibat pada kontestasi pilkada 2024. Pernyataan tersebut setidaknya sesuai dengan kondisi proses pilkada