Oleh : Khatibul Umam Wiranu
Kondisi Indonesia Pasca Reformasi
Tahun 2017 merupakan tahun penting bagi bangsa kita. 72 tahun sudah peristiwa IKADA berlalu. Masihkah teringat nilai-nilai dan spirit perjuangan para pendiri bangsa oleh kita, generasi penerus cita-cita proklamasi? Sejauh mana kita memaknai peristiwa IKADA dalam konteks kebangsaan hari ini?
Karena itulah acara dialog kebangsaan seperti yang diselenggarakan oleh Tan Malaka Institute bekerjasama dengan Dirjen Kebudayaan menjadi sangat relevan dan penting. Diharapkan dari dialog kebangsaan yang diadakan di rumah Maeda ini, tempat dimana naskah proklamasi yang otentik disusun, dapat dirumuskan dan dipetakan suatu kerangka konseptual yang aplikatif tentang isu pelurusan sejarah nasional serta memberikan penghormatan dan penghargaan yang pantas bagi para pejuang revolusi yang tidak sempat atau belum sempat ditulis dengan “ tinta emas” sejarah bangsa kita. Kami yakin, masih ada tokoh peristiwa IKADA ini yang perlu mendapat penghargaan dari pemerintah RI.
Diperlukan kontekstualisasi nilai-nilai serta spirit revolusioner dengan menarik benang merah sejarah dari peristiwa IKADA serta peristiwa-peristiwa heroik lainnya kedalam konteks realitas hari ini. Tanpa kontekstualisasi dan persemaian nilai-nilai para pendiri bangsa kepada generasi penerus, maka api perjuangan serta nilai-nilai revolusi 45 dimana peristiwa IKADA menjadi bagian di dalamnya, hanyalah sekedar sebuah peristiwa sejarah yang kita ingat dan kita kenang disaat ada keperluan saja. Padahal semestinya nilai-nilai dan spirit perjuangan peristiwa IKADA yaitu “ Merdeka ataoe Mati” dan Merdeka 100% dari segala bentuk penjajahan dan penghisapan oleh kaum kolonialis dan imperialis baik dari bangsa lain (globalisme) maupun secara orang perorang/kelompok (korporatisme) harus ditentang dan dienyahkan dari muka Bumi Nusantara.
Tan Malaka, Syuhada, dan Waliyullah yang Dilupakan Bangsa Indonesia
Penuturan Zulfikar (Zulfikar adalah anak Kamaruddin, adik kandung Ibrahim Datuk Tan Malaka) di rumah saya, bahwa syarat menjadi seorang Datuk di Minangkabau awal abad 20 adalah, pertama hafal Al-Quran dan kedua ahli silat. Apa arti pernyataan kemenakan Ibrahim Tan Malaka? Inilah yang sering tidak dipedulikan oleh para sejarawan dan bahkan pengikut, anak ideologis Tan Malaka.
Ahli silat disini dimaksudkan bahwa Tan Malaka seorang yang pandai silat, dan berlatih silat di surau, sebagaimana ia lahir juga di surau. Bagi orang Minang dahulu, surau adalah tempat untuk menimba ilmu agama, Quran, Hadist, dan setelah itu terakhir diberikan pelajaran silat. Pada saat Tan Malaka berada di Hongkong tahun 1932, polisi Inggris hendak menangkapnya, dalam keadaan terdesak Tan Malaka menendang polisi tersebut sampai terjatuh, Tan Malaka lari ke pelabuhan (Dari Penjara Ke Penjara 1948). Apa arti hafal Quran, Tan Malaka fasih melantunkan seluruh isi Al-Quran dari surat Alfatihah sampai dengan surat Annas sebanyak 30 Juz tanpa membaca teks Alquran.
Dengan penjelasan Pak Zulfikar Kamaruddin, jelas bagi saya bahwa Tan Malaka adalah produk pendidikan Surau Minangkabau yang jelas dan tegas menganut ajaran: adat bersendikan syara, syara bersendikan Kitabullah, semua orang Minangkau memegang teguh adat, dimana adat yang dipegangi adalah adat yang bersumber dari kitabullah (Alquran). Bisa kita tarik konklusi bahwa setiap orang Minangkabau adalah seorang muslim.
Ada pertanyaan adik sepupu perempuan bertanya kepada Tan Malaka. “ Apakah tuan tidak ingin berumah tangga? Untuk apa saya menikah dan berumah tangga. Ya untuk berketurunan, mempunyai anak. Untuk apa saya punya anak? Ada 70 juta rakyat Indonesia yang terjajah yang harus saya merdekakan dari penjajahan bangsa asing, mereka adalah anak-anak saya. (Cerita tutur dari keluarganya di Suliki, diceritakan oleh Datuk Abdul Muis Datuk Malaka tahun 1990 an)”. Testimoni ibu SK Trimurti dan Sri Mangunsaskoro (istri Ki Mangunsaskoro) menyatakan; untuk masalah perempuan Tan Malaka adalah bersih dan tidak ada tindakan tercela
kepada perempuan (Tulisan Wasid Suwarto, mantan Ketua Umum Partai Murba dan mantan Anggauta Dewan Pertimbangan Agung RI). Ini hanyalah contoh betapa Tan Malaka memegang teguh ajaran agama Islam, yang tidak tergoda oleh urusan harta, tahta dan wanita.
Model pemikiran Tan Malaka itu khas model pemikir dan pejuang yang menggerakkan revolusi rakyat Perancis seperti Montesquieu, JJ Rousseau, Danton. Peralihan feodalisme-konservatisme yang berkolaborasi dengan saudagar yang licik (markentalisme) menuju modernism-progresifisme yang berkolaborasi dengan saudagar-saudagar yang jujur (usaha bersama bagi hasil bersama idealnya sebuah koperasi). Tan Malaka menghindar untuk ikut menjadi penguasa selepas Revolusi Indonesia berhasil.
Revolusi Perancis sukses karena kaum modernis-progresif-saudagar jujur bisa terangkai dalam barisan yang bersatu saling topang-menopang.
Gagasan Tan Malaka belum bisa dijalankan di nusantara karena kaum modernis dan progresif di sini tidak ditopang oleh kepentingan saudagar yang jujur atau sebaliknya kaum modernis progresif tidak bisa merekrut, menawarkan dan menjaminkan kehidupan fair trade karena terjebak dalam cara berfikir keberfihakan atas teori marxisme dalam setting sosial masyarakat agraris bukan masyarakat proletariat modern.
Gagasan TM Merdeka 100% sama dengan konsep tanah air orang Badui Kanekes merdeka 100 %. Juga sama juga dengan pesantren salaf, “man tasyabbaha bi kaumin fahuwa minhum” hitam full tidak pakai putih atau sebaliknya putih full tidak ada hitam. Konsep “ langitan” yang belum terikat dengan “ kebumian” . Konsep idealitas bisa membumi ketika manusia telah memahami hakikat kebaikan dan keburukan, memahami hakikat penjajahan dan kebebasan.
Jangan sampai karena miskin harus membenci orang kaya. jangan sampai karena terjajah harus membenci penjajah. Jangan sampai karena pada orbit proletariat harus membenci borjuasi. Nelson Mandela telah mengambil hikmat dari penderitaan di penjara dan tindakan apartheid atas bangsanya kulit denagn jiwa besar penuh hikmah kebijaksanaan berfikir objektif memahami dialektika kehidupan sebagai jalan
menuju kesempurnaan bertemu dalam kepentingan bersama (kalimatun sawa) mengatur kebijakan yang menjamin keadilan atas pembagian peran berdasarkan tanggung-jawab peran kehidupan. Itulah ajaran cinta kasih (Al Hub) para sufi yang bisa merangkai merah putih karena kebesaran jiwanya yang diperoleh dari kesabaran dan pengorbanan yang setulusnya memancarkan ajaran yang penuh kebijaksanaan hingga berbagai kepentingan merasa tersambungkan dalam pembagian peran yang adil.
Makanya model manusia seperti Nelson Mandela ini yang bisa jadi pemimpin yang bisa mempersatukan bangsa dan memberkati tanah airnya hingga afsel dalam waktu cepat dapat pengakuan dan dukungan seluruh kekuatan yang mengatur gerakan di dunia ini… Kedamaian tercipta, pencerdasan anak bangsa berlangsung, lingkungan terjaga, kebudayaan berkembang sampai dengan mendapat penghormatan jadi tuan rumah sepak bola dunia.
I come into my world with love so softly love (syair lagu speak softly love God Father). Surat idzin rab baru keluar; tanazzalul malaikatu waruhu fiha biidzni rabbihim min kulli amrin salam. Bukan berjuang dengan ribuan nyawa lepas seperti peristiwa 10 November Surabaya. Para penggerak perangnya bisa tenar dan keluarga pernah punya posisi tinggi di NKRI. Santri rakyat yang terpanggil berjuang banyak yang tak terdata dimana mereka hidup setelah peristiwa 10 November. Setelah para penggeraknya berkuasa, mereka tak pernah ada upaya mendapatkan uang jasa sebagai ghanimah Indonesia merdeka. Tanah Surabaya adalah tanah yang menuntut keadilan untuk para penguasa Negara yang terlibat peristiwa itu.
Darah syuhada di tanah Jawa banyak ditelantarkan, padahal sudah 72 Indonesia merdeka, para penyeru perjuangannya beserta anak cucunya telah diberi kekuasaan mengatur Negara tapi belum ada upaya anak cucu para syuhada sejahtera di tanah darah perjuangan mereka. Malah sekarang hanya mengajarkan membaca Alquran shalawatan di saat-saat mereka punya jabatan dan limpahan kekayaan.
Bukan berjuang menyiapkan anggaran untuk anak cucu para syuhada, negara yang dipanggil oleh Allahu Akbar, atas dasar hubbul wathon minal iman. Akhirnya kegiatan tak pernah bisa menyambung dengan dimensi kebumian
Demikian juga pemerintah Indonesia, sejak era Orde Baru sampai dengan sekarang belum memberikan hak-hak para pejuang dan pahlawan kemerdekaan. Pemerintah belum menempatkan Tan Malaka selayaknya pahlawan Kemerdekaan Nasional.
Kuburnyapun di Selopanggung Kediri Jawa Timur tidak dirawat semestinya, apalagi keluarga besar Tan Malaka, para murid dan anak-anak ideologis Tan Malaka. Gerakan rakyat ambil alih kekuasaan dengan semangat kebencian kepada para penimpun harta yang pintar menebar janji imajinasi, yang berdandan suci dan tak pernah berbagi ke pasukan ketika kekuasaan sudah diberikan.
Karena itu saya menghimbau kepada pemerintah Indonesia dibawah Presiden Joko Widodo untuk mengumumkan dan mengukuhkan kembali Tan Malaka sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional dan mengembalikan kehormatan yang menjadi hak-haknya. Kita tahu bahwa Kepres Presiden Soekarno, keputusan Presiden RI No. 53, yang ditandatangani Presiden Soekarno 28 Maret 1963 menetapkan bahwa Tan Malaka adalah seorang pahlawan Kemerdekaan Nasional.
Demikianlah peran pemuda bernama Tan Malaka dalam revolusi 1945, merebut, mempertahankan Indonesia merdeka dengan segenap pikiran, tindakan, dalam usaha memerdekakan bangsanya. Pikiran dan tindakan profetis dan ajaran suci Datuk Ibrahim sebagai cahaya kenabian yang harus terus menerus diwujudkan oleh anak-anak ideologisnya sepanjang jaman.
*Disampaikan dalam Dialog Kebangsaann VII Tan Malaka Institute pada hari Kamis 9 November 2017 di Kampus Sekolah Tinggi Agama Islam Kediri dengan Thema Tan Malaka : Perjalanan Politik Seorang Pahlawan Kemerdekaan Nasional. Anggota DPR RI Fraksi Partai Demokrat
SerikatNews.com adalah media kritis anak bangsa. Menyajikan informasi secara akurat. Serta setia menjadi platform ruang bertukar gagasan faktual.
Menyukai ini:
Suka Memuat...