Beri aku 10 pemuda, maka akan kuguncang dunia!
Kesadaran akan potensi besar yang dimiliki oleh generasi muda ternyata sudah disadari oleh Presiden Ke-1 RI Ir. Soekarno sejak era kemerdekaan. Kutipan pidato sang Presiden ini, menyiratkan pesan yang sangat kuat bagaimana pemuda bisa menciptakan perubahan.
Dalam konteks kemerdekaan, peran pemuda sangat diandalkan untuk bertempur melawan penjajah dengan tenaga, darah, dan keringat. Fisik kuat yang dimiliki masyarakat muda dibutuhkan untuk mempertaruhkan nyawa demi merebut NKRI dari tangan penjajah. Sejarah membuktikan, gerakan golongan pemuda (Soekarno, Wikana, Aidit, dan Chairul Saleh) yang membawa Indonesia masuk ke gerbang kemerdekaan pada Agustus 1945.
Latar belakang historis tersebut melahirkan fakta bahwa pemuda merupakan tampuk perubahan sosial dari generasi ke generasi. Hal ini rasanya tidak akan berubah sampai kapanpun, jika melihat karakter psikologis pemuda yang notabene sedang memasuki masa aktif, reaktif, kreatif, dan kritis dalam fase perkembangan sosial manusia. Tentu sudah menjadi sebuah keniscayaan untuk menyematkan label agen perubahan (agent of change) di bahu anak-anak muda. Namun, perkembangan zaman menjadikan kolonialisme bukan lagi menjadi tantangan bagi pemuda. Pertanyaan selanjutnya adalah tantangan apa yang harus dihadapi oleh generasi muda hari ini?
Dunia saat ini sudah move on memasuki era millennials. Era ini digambarkan sebagai sebuah periode waktu di mana teknologi berkembang pesat dan menjadi sebuah gaya hidup bagi generasi di dalamnya. Generasi millennials menjadi sebutan bagi orang yang lahir sekitar tahun 1980 hingga 1999. Artinya, masyarakat yang kini berusia 18-35 tahun diklasifikasikan sebagai kaum millennials.
Sebuah perbedaan tajam yang menjadi ciri khas kaum millennials dengan generasi sebelumnya; baby boomers dan Generasi X, adalah bahwa perkembangan teknologi telah membawa para millennials masuk ke dalam dunia digital. Inilah salah satu letak perubahan tantangan pemuda zaman now sebutan kaum millennials untuk menggambarkan masa kini. Setidaknya ada tiga peran pemuda di era millennials, yaitu sebagai agent of change, innovator, dan promoter bangsa.
Pertama, sebagai agent of change. Secara sosial politik, digitalisasi telah membuka lebar keran pertukaran informasi, transparansi data, serta memudahkan akses mobilisasi politik. Sebagai lini utama pengguna teknologi, kaum millennials berperan penting dalam menjaga iklim demokrasi. Meminjam istilah dari teoris perubahan sosial Everett M. Rogers, pemuda millennials seharusnya menjadi opinion leader dalam mengaktivasi budaya bijak berteknologi, misalnya bermedia sosial. Sebuah contoh aktualisasi kaum millennials yang patut diapresiasi adalah aplikasi anti hoax buatan mahasiswa Institut Teknologi Bandung (ITB). Kelompok yang menamai timnya sebagai Tim Cimol menciptakan sebuah aplikasi bernama Hoax Analyzer. Aplikasi untuk mendeteksi ada atau tidaknya konten kebohongan dalam sebuah informasi ini, membawa mereka menjadi wakil Indonesia di ajang Microsoft Imagine Cup 2017 tingkat Asia Tenggara. Selain prestasi nyata, sebagai pemuda mereka telah melakukan langkah konkret untuk memerangi ironi yang tengah berkembang di dalam negeri hoax.
Penetrasi penggunaan media digital yang terus meningkat di tanah air membuat kampanye perubahan sosial melalui konsep edukasi dan hiburan (edutainment) menjadi sebuah metode yang efektif. Proses penanaman nilai melalui kanal digital seperti youtube, facebook, instagram, dan sebagainya, harus dimanfaatkan oleh para blogger, vlogger, serta netizen yang didominasi kaum millennials untuk mengambil peran dalam gerakan perubahan. Satu lagi contoh pemanfaatan teknologi oleh millennials, dilakukan oleh sekolompok anak muda Indonesia yang membuat gerakan anti bullying secara online bernama Sudah Dong. Selain mengkampanyekan anti bullying, gerakan ini juga berjuang untuk mendorong pemerintah mengeluarkan peraturan anti bullying.
Kedua, sebagai innovator. Dari kacamata ekonomi politik, digitalisasi juga sangat mempengaruhi proses komodifikasi dan spasialisasi melalui teknologi. Komodifikasi adalah sebuah proses mengubah sesuatu menjadi bernilai ekonomis. Sementara spasialisasi adalah proses efisiensi dalam mendistribusikan produk dengan cara memangkas jarak dan waktu. Berbagai macam karya anak muda Indonesia, seperti aplikasi transportasi online (Gojek & Grab), atau aplikasi belanja online seperti Bukalapak, Tokopedia, dan sebagainya merupakan contoh dari komodifikasi dan spasialisasi yang memberikan kontribusi dalam memudahkan mobilisasi masyarakat Indonesia. Bahkan, inovasi kaum millennials ini mampu membuka ribuan lapangan kerja dan berkontribusi dalam perekonomian negara.
Ketiga, sebagai promoter bangsa. Tidak melulu kontribusi diartikan dalam konteks makro seperti tiga contoh sebelumnya. Peran nyata kaum millennials juga bisa diaplikasikan dalam konteks mikro. Misalnya, membawa kemajuan di bidang pariwisata dan kebudayaan melalui media sosial. Sifat dinamis dan kreatif yang ada di dalam diri anak muda, secara tidak langsung menjadi corong bangsa untuk mempromosikan potensi yang ada di dalamnya. Adalah peran pemuda untuk mengkonversi kecintaannya dalam berpetualang, jalan-jalan, dan kreatif bermedia sosial, menjadi sebuah upaya untuk menggaungkan budaya dan pariwisata tanah air ke dunia internasional.
Era millennials yang lekat dengan kecanggihan teknologi, telah mengubah tren tantangan dan peran pemuda hari ini. Pemuda era millennials memiliki peran sebagai pengisi kemerdekaan dengan menjadi agent of change, innovator, dan promoter bangsa. Tantangan yang dahulu bersifat kolonialisme, kini telah berevolusi menjadi kompetisi global. Musuh pemuda yang harus diperangi bukan lagi penjajah bersenjata, melainkan ketidakmampuan dalam menyaingi cepatnya perkembangan zaman.
*Penulis Adalah Mahasiswa Ilmu Komunikasi Politik Pasca Sarjana Universitas Paramadina
Mahasiswa Ilmu Komunikasi Politik Pasca Sarjana Universitas Paramadina–Jurnalis Televisi
Menyukai ini:
Suka Memuat...