Oleh: M. Faizi, Petani sekaligus Jurnalis Serikat-News
Di ladang-ladang kering Madura, tembakau bukan sekadar tanaman. Ia adalah nadi kehidupan, penggerak ekonomi rumah tangga, dan penopang asa yang ditanam petani saban musim dengan keyakinan sederhana: bahwa jerih payah akan dibalas dengan harga yang pantas.
Harapan itu kembali muncul jelang musim tanam 2025. Di pelosok Desa Bragung, Sumenep, obrolan di warung kopi tak lagi bicara soal cuaca atau pupuk, melainkan semangat memperluas lahan. Para petani seperti Aziz misalnya bahkan sudah menyiapkan rencana menanam lebih banyak dari tahun lalu.
Ia berujar: “Mun taon sateyah cong rencana nambe’eh deri taon rik berik en. Polanah taon rik berik en lah apukteh argenah bekoh ngontong agi ka petani (Saya sebenarnya berencana menambah dari tahun ke tahun. Karena sebelumnya harganya cukup menguntungkan buat petani).”
Namun, semangat itu mendadak ciut. Bukan karena hama bukan pula gagal panen. Melainkan karena suara dari atas—dari pemilik pabrik dan pengusaha besar. Dalam video yang menyebar di media sosial, H. Khairul Umam, CEO Bawang Mas Group, memberi isyarat agar petani tak menanam terlalu banyak. Alasannya sederhana namun menusuk: stok pabrik sudah penuh.
Tak lama, suara serupa datang dari H. Mukmin, CEO PR. Bahagia. Ia memperkirakan harga tembakau tahun ini bisa jatuh akibat pasokan yang berlebih.
Dalam waktu singkat, optimisme petani berubah menjadi kecemasan. Hasrat untuk memperluas lahan tiba-tiba harus diukur ulang. Para petani kembali duduk di warung kopi, kali ini dengan raut muka murung dan kalkulasi baru: berapa rugi yang harus siap ditanggung jika panen melimpah tapi harga justru ambruk.
Dalam amatan saya, obrolan singkat itu sejatinya mencerminkan satu hal: di mata para petani, H. Khairul Umam dan H. Mukmin bukan sekadar pengusaha. Mereka—dengan segala pengaruhnya—telah menjadi poros harapan, simbol dari keberpihakan harga yang selama ini sulit diperjuangkan.
Sebab, dalam beberapa musim terakhir, kestabilan harga tembakau seakan menemukan jangkar di tangan keduanya. Maka ketika keduanya mulai bersuara agar petani menahan diri, tentu bukan tanpa alasan. Imbauan itu, bagaimanapun, lahir dari hitung-hitungan yang tak hanya soal angka, tapi juga dinamika pasar dan daya serap industri.
Dan bagi petani, mengikuti arahan itu mungkin bukan sekadar soal patuh—melainkan ikhtiar menjaga mimpi agar daun emas tetap bernilai, dan bukan sekadar jadi cerita tentang musim yang terlewat sia-sia.
Namun, di tengah bayang-bayang pasar yang tak menentu, secercah harapan masih bertahan. Petani menaruh asa pada pabrikan lokal yang selama ini hadir lebih membumi—mendengar langsung keluh kesah petani dan berani berdiri di sisi mereka saat harga tak berpihak.
Sosok seperti H. Her, misalnya, bukan hanya dikenal sebagai pengusaha, tapi juga pejuang yang memahami denyut nadi petani tembakau Madura. Ia tak ragu mengangkat suara hingga ke lingkaran kekuasaan, menitipkan harapan kepada figur-figur strategis seperti Hasyim—adik Presiden Republik Indonesia—serta para tokoh inspiratif lain yang peduli pada nasib daun emas ini. Bagi petani, dukungan seperti itu bukan semata strategi dagang, tapi bentuk keberpihakan yang langka—dan karena itu, sangat berarti.
Begitu pula dengan kiprah H. Mukmin yang turut menorehkan jejak penting dalam perjuangan petani tembakau. Pola yang ia terapkan nyaris serupa dengan H. Her—konsisten mengawal aspirasi dan hak-hak petani tembakau. Melalui perjuangannya, Masyarakat pelan-pelan merasakan manisnya perjuangan lewat kestabilan harga yang lebih berpihak kepada petani. Sebuah perubahan yang tak hanya terasa di pasar, tetapi juga di hati mereka yang menggantungkan hidup pada ladang-ladang tembakau.
Sebagai penutup dari catatan sederhana ini, tembakau—si daun emas—masih menjadi tumpuan harapan bagi banyak petani. Di balik tiap helai yang mengering di bawah terik matahari, tersimpan impian akan kehidupan yang lebih layak: mengangkat kesejahteraan keluarga, menyekolahkan anak-anak, hingga meraih kebutuhan hidup yang lebih dari sekadar cukup.
Oleh karena itu, perjuangan menjaga nyala harapan ini tak bisa hanya bertumpu pada sosok dua “Sultan” tembakau, H. Her dan H. Mukmin. Lebih dari itu, peran aktif pemerintah dan komitmen pabrikan besar dalam menjaga kestabilan harga menjadi kunci. Karena pada akhirnya, arah kebijakan dan keberpihakan industri akan menentukan: apakah petani tembakau benar-benar bisa memanen sejahtera dari ladang-ladang yang mereka rawat dengan hati.
Jurnalis Serikat News Sumenep, Jawa Timur
Menyukai ini:
Suka Memuat...