Tiadanya perang tidak selalu menjanjikan kedamaian, karena kedamaian adalah rasa yang dapat bersifat subjektif dan juga objektif. Menjadi subjektif ketika seorang merasa damai dengan kesejahteraan dirinya sendiri, tanpa memikirkan nasib negara, lingkungan, bahkan tetangganya. Kedamaian semacam ini semakin lama akan semakin terkikis lantaran pada hakikatnya terbentur dengan fitrah manusia yang tidak bisa melihat penderitaan di sekitarnya. Sedangkan kedamaian yang objektif adalah kedamaian yang oleh Sokrates disebut dengan eudaimonia. Konsep eudaimonia lebih menekankan jiwa manusia daripada fisik belaka. Karena bersifat objektif, maka yang dibicarakan bukan lagi tentang diri manusia, melainkan kedamaian sebuah negara.
Belakangan ini, Indonesia kehilangan sebuah kedamaian yang dimaksud oleh Sokrates tersebut. Kebencian-kebencian menyeruak hingga menimbulkan perpecahan antar sesama bangsa, konyol sekali. Ironisnya, dalam pemilu pun tidak dijadikan sebuah kompetisi untuk saling menunjukkan keunggulan diri, melainkan dijadikan ajang untuk menunjukkan kelemahan-kelemahan lawan politik, yang pada hakikatnya adalah saudara.
Kebencian bukan suatu hal yang mengakar di Indonesia, tapi kedamaian adalah sebuah tumbuhan yang sengaja ditanam oleh para leluhur. Mengingat leluhur sebagai juru damai adalah mempelajari ketinggian ilmu dan rasa nasionalismenya. Hampir terlupakan seorang pejuang dari timur yang jasa untuk perdamaian secara umum dan perdamaian Nusantara khususnya, yakni TGKH Zainuddin Abdul Madjid, pendiri Nahdlatul Wathan.
Penegas Keberislaman
Berbicara tentang pemikiran Maulana Syekh, begitu sebutan akrab TGKH Zainuddin Abdul Madjid, tidak bisa lepas dari pembahasan tentang Nahdlatul Wathan (NW), karena NW merupakan salah satu bentuk pemikiran beliau. NW didirikan setelah berdirinya dua madrasah induk, yakni Nahdlatul Wathan Diniyah Islamiyah (NWDI) untuk pelajar laki-laki dan Nahdlatul Banat Diniyah Islamiyah (NBDI) untuk pelajar perempuan. Berdirinya dua madrasah ini menunjukkan bahwa yang terpenting dalam kehidupan manusia secara umum menurut Maulana Syekh adalah pendidikan. Bahkan lebih dari itu, berdirinya NBDI juga menunjukkan bahwa laki-laki dan perempuan memiliki hak yang sama dalam hal pendidikan.
Hakikatnya berdirinya NWDI, NBDI, dan NW untuk dijadikan sebagai lembaga dakwah. Maulana Syekh merupakan salah satu pendakwah yang menyebarkan kebaikan dengan cara-cara yang bermoral. Dalam artian, sekalipun di Lombok pada masa itu didominasi oleh agama Hindu dan Buddha, tetapi Maulana Syekh tidak semerta-merta menyebarkan Islam begitu saja hingga mengabaikan budaya dan agama yang telah ada. Dalam berdakwah, yang pertama beliau perhatikan adalah kebutuhan masyarakat setempat. Beliau sangat memahami bahwa Islam merupakan agama yang sesuai dengan fitrah manusia dan juga menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan.
Selain pendidikan formal sebagai bentuk perhatiannya dalam membangun masyarakat Lombok, pendidikan informal pun melalui pengajian-pengajian umum bagi masyarakat juga menjadi perhatian utama dan menjadi kegiatan rutin hingga wafatnya (Usman, 2010: 54). Perhatian-perhatian ini menggambarkan bahwa menurut beliau, dalam membangun sebuah peradaban yang harus diutamakan adalah kecerdasan bangsa, sebab ilmu adalah salah satu fondasi dari sebuah peradaban.
Islam yang akulturatif di Lombok hingga saat ini menunjukkan bahwa Maulana Syekh berpikiran sangat terbuka. Sebagaimana daerah-daerah lain di Nusantara, Lombok juga memiliki kekayaan budaya yang sangat beragam. Namun, Maulana Syekh tidak membumi-hanguskan budaya-budaya yang sering bertentangan dengan Islam. Karena yang paling mempengaruhi masyarakat pada masa itu adalah agama Hindu dan Buddha, maka Maulana Syekh mendialogkan terlebih dahulu antara Islam sebagai agama pendatang dengan Hindu-Buddha sebagai agama tuan rumah. Proses ini berjalan cukup lama dan melewati masa-masa sulit hingga ke ranah konflik (Husni, 2014: 6). Masing-masing mendeskripsikan identitasnya agar terpilih sebagai agama kerakyatan yang lebih nyaman untuk dianut.
Dalam hasil penelitiannya, Munawir Husni melaporkan bahwa sejak datangnya Maulana Syekh kondisi masyarakat mulai membaik, baik dari segi pendidikan maupun ekonomi. Beliau berdakwah meneladani dakwah Rasulullah, Islam dijadikan sebuah penegasan bagi budaya-budaya yang telah ada sebelumnya selama budaya tersebut tidak bertentangan secara fundamental dengan ajaran Islam.
Di balik ketegangan-ketegangan agama yang terjadi dalam kehidupan masyarakat, ada model kemasyarakatan yang terbangun sangat kokoh yakni, gotong-royong dan kekeluargaan. Model masyarakat ini yang kemudian dikembangkan dan ditegaskan kembali oleh Maulana Syekh dengan bersandar kepada ajaran-ajaran Islam. Secara tidak langsung Maulana Syekh ingin menegaskan bahwa Islam tidak melarang perbedaan, tetapi Islam mengutuk perpisahan. Adanya budaya yang tetap lestari hingga saat ini, khususnya di Lombok, semacam budaya begawe merupakan salah satu jasa Maulana Syekh dalam mendialogkan agama dengan budaya agar tercipta masyarakat yang rukun dan hidup dengan penuh kedamaian.
Maulana Syekh mengisi budaya-budaya yang telah tercipta sebelum masuknya Islam ke Lombok dengan semangat persaudaraan, lantaran Islam menganjurkan persaudaraan. Beliau menunjukkan Islam sebagai agama yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Dalam berdakwah beliau tidak menunjukkan kekurangan-kekurangan agama selain Islam, melainkan lebih menunjukkan kelebihan-kelebihan Islam dalam mendongkrak peradaban kehidupan manusia.
Hal ini menandakan bahwa Maulana Syekh telah berhasil menginterpretasikan istilah Islam rahmatan lil alamin dengan sempurna. Islam yang berguna tidak hanya untuk penganutnya, melainkan bagi seluruh ciptaan. Menyebarkan agama bukan berati menjajah tradisi yang telah ada sebelumnya, melainkan menunjukkan bahwa ada agama yang benar. Islam yang diciptakan sebagai bekal kehidupan manusia inilah yang dimaksud Islam rahmatan lil alamin atau agama yang diperuntukkan bagi seluruh umat manusia. Hal ini sejalan dengan konsep kemanusiaan yang tidak memandang secara parsial harkat dan martabat umat manusia, baik secara individu maupun kelompok.
Belajar dari Sejarah
Saat ini, perjalanan dakwah Maulana Syekh disebut sebagai sejarah. Agar sejarah yang berharga itu tidak hanya catatan untuk dikenang, maka selayaknya divitalkan kembali dalam kondisi bangsa saat ini. Hidup dengan kondisi bangsa saat ini yang hampir dipenuhi oleh kebencian-kebencian, sejarah perjalanan dakwah Maulana Syekh seakan menampar kita.
Maulana Syekh yang menyebarkan kebaikan-kebaikan berupa Islam pada kondisi yang bagi orang biasa tidak memungkin untuk dilakukan, bisa saja dilakukan tetapi tidak lepas dari pertumpahan darah. Namun, sebagaimana yang tercatat dalam sejarah, Maulana Syekh berhasil membangun peradaban baru yang lebih tinggi dengan semangat Islam dan kemanusiaan dengan tanpa pertumpahan darah dan permusuhan yang berarti.
Jika berpikir jernih tentang sejarah dakwah Maulana Syekh, maka akan sampai kepada kesimpulan bahwa kita tidak sepenuhnya memahami tentang diri kita sendiri yakni, budaya persaudaraan yang terbangun kokoh dalam kehidupan masyarakat Nusantara. Tentu, secara lahir, perjalanan dakwa yang telah tercatat dalam sejarah sangat tidak relevan dengan kondisi sekarang. Namun, yang harus dihidupkan kembali dalam peradaban modern ini adalah nilai-nilai dakwahnya, yang lebih mengedepankan pembangunan dan keterbukaan daripada pemaksaan, apalagi permusuhan dan kebencian.
Persaingan-persaingan yang harus dijalani oleh segenap anak bangsa seharusnya dijadikan sebuah ajang untuk mewujudkan eksistensi perdamaian. Bagi manusia, kedamaian dalam berbangsa adalah segalanya.
- Mahasiswa Program Studi Aqidah dan Filsafat UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
- Direktur Komunitas Maos Boemi (KMB)
Menyukai ini:
Suka Memuat...