ADA yang mengatakan anak adalah investasi masa depan bagi para orangtua. Karena itu mendidik anak nilainya bukan lagi kewajiban tetapi menjadi kebutuhan.
Di samping mengikuti sekolah formal, dengan penuh kesadaran saya mengantar anak mengikuti pendidikan agama di Taman Pendikan Alquran (TPA). Di TPA anak belajar mengaji, latihan baca iqra, naik juz amma. Di bawah bimbingan para ustazah Ponpes Roudhotul Huffadz, Taruban Kulon, Tuksono, Sentolo, Kulonprogo. Jadwal mengantar TPA tiap sore kecuali Jumat sekitar satu jam.
Jalan setengah tahun, istri juga mengikuti jejak sang anak. Ikut mengaji lagi kepada ibu nyai. Niatan mengaji istri untuk mengoreksi kembali barangkali masih ada bacaan Alquran yang kurang pas. Jadilah ibu-anak sama-sama nyantri. Bedanya, jadwal istri mengaji hanya dua kali seminggu tiap Senin dan Kamis sore. Tugas saya rutin mengantar mereka apabila tak ada kegiatan atau pekerjaan yang mendesak.
Sepintas barangkali kegiatan rutin tersebut bukan hal yang istimewa. Hanya rutinitas biasa. Namun saya mencoba memaknai berbeda. Tujuan mengaji pertama jelas untuk menghilangkan kebodohan. Kedua dalam rangka mencari ridho Ilahi. Saat mengantar anak istri mengaji atensi dalam pikiran diarahkan menuju tabungan energi kebaikan. Sembari menunggu mereka sesekali ngobrol dengan santri putra. Lain waktu bareng santri ngopi dan menghisap rokok kretek alias udud. Menghayati rasa bersyukur dan merasakan kenangan masa lalu saat nyantri.
Mengarahkan anak mengaji bukan saja berguna untuk meletakkan pondasi agama dalam lubuk hatinya. Bagi orangtua yang anaknya mengaji juga dibukakan keberkahan dan pintu rezeki. Ingat nasihat kiai dulu, dijelaskan dalam Kitab Ta’limul Muta’alim bahwa selagi mondok atau mengaji si santri akan didoakan semua makhluk termasuk ikan di dasar lautan.
Fokus membersamai anak mengantarkannya mengaji, jika dilihat dari sisi waktu, tidak semua orangtua bisa. Terutama yang punya jadwal kerja hingga petang. Beruntung bagi saya yang antara jadwal kerja dan dolan kadang sukar dibedakan. Waktu satu jam saat mengantarkan anak atau istri mengaji bisa diefektifkan untuk menyelesaikan beberapa urusan.
Waktu satu jam di sore hari sambil antar anak mengaji cukup efektif buat berdoa di masjid pesantren. Tempat ibadah yang biasa dipakai salat, zikir, mujahadah, baca Alquran setiap saat, merupakan tempat yang mustajab untuk berdoa. Dan faktanya memang benar adanya.
Saat duduk di teras masjid, sambil menunggu anak selesai mengaji tercatat sudah beberapa kali saya ketiban rezeki. Beberapa waktu lalu saat duduk dan udud di tempat itu persis setelah habis dua batang, notifikasi WA berbunyi. Setelah dibuka isinya seorang rekan dari salah satu lembaga atau badan di Kebumen menanyakan perihal penerbitan buku. Banyaknya lebih dari 2000 eksemplar. Minta info harga serta kesanggupan pengerjaan dalam waktu yang relatif pendek tak sampai seminggu. Setelah kontak dua penerbitan satu menyanggupi. Harga dan waktu pengerjaan siap. Order berlanjut. Pengurusan depe selesai, pengerjaan dimulai. Fee untuk saya dari penerbitan ditransfer di depan. Alhamdulillah dapat rezeki Rp 2 juta dari proyek buku yang nego awal di teras masjid pesantren. Rezeki yang patut disyukuri. Berkah mengantar anak mengaji.
Rezeki yang didapat tentu atas kemurahan-Nya. Kemurahan Dia Sang Maha Pengabul Doa. Sebagai manusia kita sebatas ikhtiar dan berdoa, berafirmasi, bervisualisasi, berpikir positif, yakin bersama kesulitan selalu ada jalan. Energi syukur, bahagia, tenang, juga energi pasrah serta energi melepaskan perlu terus dilatih dan diupayakan untuk mempermudah kabulnya hajat dan doa.
Saya tergelitik menulis tema-tema rezeki, bukan tanpa sebab. Kadang bertemu teman, mengobrol lewat telpon, kok semakin sering mendengar kegalauan. Bahwa kondisi saat ini lebih sulit. Pembangunan pengerasan jalan anggarannya terpotong dikiyak-kiyuk dibagi untuk pos lain. Proyek-proyek dari pemerintah infonya anggaran tak segede tahun-tahun sebelumnya. Ada yang mengatakan rasanya ekonomi lamban, daya beli lemah, sepi job, undangan jumpa pers dari korporat bagi rekan-rekan wartawan mendadak sepi. Bila tak disikapi secara jernih, hati bisa jadi kemrungsung. Apalagi bagi mereka yang dikejar detlen cicilan rumah, cicilan kendaraan atau seabrek kebutuhan lainnya.
Menyikapi hal itu, sudah tentu dapat memahami. Karena setiap kepala keluarga pasti punya tanggung jawab. Besar kecilnya saja yang beda. Bahwa rezeki sudah ada yang mengatur. Penting juga memahami setiap manusia punya wadah rezeki masing-masing yang besarnya tidak sama.
Realita eksternal di luar diri yang demikian, sebaiknya kita abaikan. Berhenti menyalahkan siapa pun. Mulailah bekerja ke dalam diri. Berhemat, menurunkan standar hidup boleh dicoba jika memang dirasa perlu. Baik pula mencoba membuka peluang-peluang rezeki lain. Terpenting perbanyak tabungan energi kebaikan agar kita senantiasa mendapat pertolongan termasuk rezeki yang tak diduga-duga. Amin…
Sukron Makmun, tinggal di Salamrejo Sentolo.
Menyukai ini:
Suka Memuat...