Dahulu kala, ada banyak kisah inspiratif anak manusia, bercerita tentang agama yang asyik, penuh dengan selera humor tinggi. Orang menerima nilai agama dengan sumringah dan bahagia. Karena itu, banyak sekali kita temukan agama yang bergaul dengan berbagai instrumen kebudayaan, menyatu dengan cerita-cerita rakyat di berbagai tempat dan waktu. Ia tidak melulu mengajak untuk memeluk agama tetapi memberi kesegaran baru dan hiburan. Agama pun mengakomodasi aspirasi dan keluh kesah mereka dengan indah dalam berbagai narasi cerita.
Kala itu, agama tak segan menyatu dalam seni pertunjukan seperti parodi komedi, musik, dan pewayangan, melakukan penetrasi nilai-nilainya melalui media yang hidup di tengah masyarakatnya, tak lupa menyelipkan kritik pada lingkungan dan penguasa. Teringat kisah dan cerita 1001 malam dari Bagdad pun demikian, menyanjikan sisi lain dari bagaimana agama dipraktikkan sebagai sesuatu yang menarik. Ia mengandung kritik pada praktik agama, satire pada penguasa, mencari solusi persoalan dengan jenaka. Baca saja misalnya kisah-kisah Abunawas dengan Harun Ar-Rasyid yang ke sohor itu. Lebih dari itu kitab suci pun tidak jarang membawa nilai agama melalui cerita-cerita indah dengan berbagai asas, nilai, kritik, relasi sosial dan lain sebagainya.
Ntah dimana semua itu kini? Akhir-akhir ini kita tidak lagi akrab dengan humor, kelucuan, keasyikan, dan keteduhan dalam beragama. Kita dibuat akrab sekali dengan bahasa-bahasa khas praktik agama yang menegang, mengonstruksi dirinya melalui narasi dan framing keberagamaan baru, menyebar luas melalui tagline demonstrasi berjilid-jilid, hate speach, dan obrolan ngalor-ngidul di media sosial. Anehnya, semua itu tak nampak tanda-tanda akan surut. Sebaliknya, ia semakin bertahan dalam dunia perbincangan dan perdebatan dalam kurun waktu yang lama.
Bahasa-bahasa yang lahir belakangan ini dianggap sebentuk magis ‘perlawanan dan kebangkitan’ agama, katanya. Tak sadar bahwa bahasa itu adalah simbol dan refresentasi ide dan keadaan, menjelaskan situasi yang sedang eksis dan ber-ada. Sehingga, mau tidak mau agama, khususnya Islam belakangan ini, ternarasikan sebagaimana bahasa itu. Coba perhatikan ini; melawan umat Islam (dalam beberapa kasus, masalah pribadi diframing sebagai melawan umat Islam), menghina ulama, menodai, penistaan agama, sweeping, mayoritas, khilafah, NKRI bersyariah, toughot, bidah, kafir dan banyak bahasa-bahsa lainnya yang miskin keasyikan dan kelucuan. Sebaliknya, bahasa-bahasa lain yang berusaha untuk melakukan konter narasi tenggelam ntah di mana, bahkan ikut terstigma sebagai liberal, anti Islam, munafik dan lain sebagainya.
Kini berbicara agama tak lagi asyik. Kritik dan satire melalui cerita lucu telah berteman akrab dengan ancaman penjara. Paling tidak itu yang tampak pada ancaman pidana terhadap komedian Joshua dan Gea Pamungkas karena materi stand up komedinya yang mempersoalkan perilaku beragama. Media sosial pun heboh karena itu. Kalau banjir jaman Ahok dibilang azab, tapi kalau banjirnya jaman gubernur sekarang dibilang cobaan untuk yang dicitai-Nya, dicintai apaan? ujar Gie dalam stand up komedinya, hadirin pun tertawa. Menurut pihak yang ingin melaporkan, materi stand up yang demikian telah menghina Islam. Ntahlah.
Danandjaja mengatakan, humor (sebagaimana juga stand up komedi) dalam cerita rakyat (folklore) di masa lalu berfungsi sebagai kritik sosial (1997). Tapi itu dulu, kini kritik melalui humor pada perilaku sosial kita dalam beragama menjadi persolan. Humor sebagai media kritik baik itu dipentaskan melalui lakon, maupun melalui stand up komedi yang muncul belakangan, mulai terbatasi bicara praktik kita beragama. Pemeluk agama menjadi begitu sensitif dengan semua itu. Mereka takut agama kehilangan sakralitasnya jika dihumorkan, begitu rumurnya. Padahal komedi menempatkan humur dan cerita-cerita sebagai sindiran dan kritik atas ketidakadilan dan menyebarkan nilai-nilia universal, tapi kini ia pun terkesampingkan ketika ada bau agama di dalamnya.
Belakangan agama hadir sebagai person-person yang boleh marah dan tersinggung, anti kritik pada praktik kediriannya. Apa yang dialami Joshua dan Gea menunjukkan hal yang demikian, seakan agama bergerak menjadi kapling-kapling yang berujud benda-benda kaku. Dalam konteks inilah agama hadir berdasarkan kemauan pengikutnya, bukan sebaliknya. Menafsirkan agama berdasarkan subyektifitas dirinya, bukan sebagai nilai universal bagi dunia.
Fenomena ini menunjukkan beberapa hal penting, pertama, telah hadir beberapa kaum beragama yang berkuasa penuh atas tafsir agama dan tafsir pada apa yang disebut dengan menghina dan menista. Lalu menghukum siapa saja yang beririsan dengan agama itu yang menurut mereka telah merendahkannya. Dasarnya jelas ketersinggungan subyektif berdasar suka dan tidak suka. Undang-undang penodaaan agama pun menjadi instrumen yang memadai atas ketersinggungan itu. Namun demikian, hal semacam ini menjadi kebal bagi perilaku dirinya sendiri, atau kebal bagi kelompoknya.
Kedua, Dari kasus Gea, Joshua, dan masyarakat yang semakin kehilangan kelucuannya, kita jadi tahu, belakangan agama yang terperformakan di negeri ini tampak terasa kering imaji, keluar dari keramahan dan canda tawa, bahkan dalam konteks-konteks tertentu sangat banal, saling mempersekusi dan membully. Bahkan, praktiks agama yang demikian sudah ada pada batas miskin kreasi.
Kelucuan, kegemesan, kritik melalui kisah-kisah, kesantaian, kelembutan, keindahan dan joke-joke asyik dalam beragama mulai menghilang. Kritik dan dakwah melalui keasyikan kisah terasa ikut terkubur hilang ntah kemana. Paling tidak ia tidak lagi menjadi ciri umum dalam perbincangan sehari-hari, hanya bertahan di komunitas-komunitas keagamaan tertentu. Sisanya aku suka dan aku tidak suka, itu putih dan ini hitam, begitu seterunya.
*Penulis Adalah Peneliti Institute of Southeast Asian Islam (ISAIs) Sunan Kalijaga State Islamic University
Menyukai ini:
Suka Memuat...