Kembali Amien Rais dalam sebuah ceramah di jakarta membuat pernyataan yang mengejutkan dengan dikotomi partai politik terbagi dua yaitu, Partai Allah dan Partai Setan yang kontan saja menuai protes keras, dimana hanya PAN, PKS dan Gerindra saja sebagai Partai Allah artinya diluar ketiga partai ini adalah Partai Setan.
Baiklah dipahami istilah yang dilontarkan Amien Rais mengenai Hizbullah (Hezbollah, Hizb Allah) adalah merupakan Partai Allah, bermarkas di Libanon. Apakah PAN, PKS, Gerindra adalah hizbullah?
Baca Juga: Manuver Politik Rocky Gerung Membela Prabowo
Tema yang diusung Amien Rais ini harus ditelisik melalui makna tersiratnya.
Hizbullah Lebanon sebagai kekuatan politik di negaranya merupakan partai politik yang memiliki perwakilan di DPR. Hizbullah yang komitmen kepada konstitusi mendukung Mitchel Aoun sebagai Presiden. Sedangkan konstitusi Lebanon menyebut seorang presiden harus dari Kristen Maronit.
Selanjutnya Hizbullah di Lebanon menjadi simbol perlawanan. Kelompok ini sedemikian dicintai rakyat negara itu apapun latar belakang mereka.
Hizbullah yang memiliki sayap militer juga disegani zionis Israel .
Menurut saya, Amien Rais tentu tidak sedang mengidentikkan dirinya dengan Hizbullahnya Nahdlatul Ulama pada jaman dulu, tetapi sedang mengidentikkan dirinya dengan Bizbullah lebanon.
Sebab jelas dan perlu diketahui bahwa Hizbullah Indonesia sudah terintegrasi ke TNI. Dimana Hizbullah Indonesia pada masanya yang berbeda tentu, tidak ada kaitannya dengan Hizbullah Lebanon. Dimana Hizbullah Indonesia sudah bubar.
Sebaliknya Hizbullah Lebanon semakin populer pasca mengusir ISIS di Qalamun. Serta menjadi tema perlawanan serta yang populer, mendapat dukungan dari sisi pro dan kontra , jelas hal inilah yang mau diadopsi Amin Rais.
Bagaimanapun Hizbullah populer di kalangan takfiri.
Dan Amin Rais ingin memperkuat basis Takfiri di basis massa Jabar, Banten, Sumsel, Riau, Sumut yang merupakan konsentrasi pada wilayah2 tersebut. Sehingga saya mencermati bahwa Amin Rais sedang berupaya konsolidasi kekuatan oposisi.
Dalam konsolidasi kekuatan tersebut Amien Rais memakai strategi bandul pendulum. Bandul itu kan kalau sedang bergoyang bolak balik kiri dan kanan. Kalau sedang mengarah kepada dirinya mengidentikkan dengan Sayed Hasan, dan partainya sebagai Hizbullah dan kalau sedang menjauh ke arah lawannya (jokowi) akan diidentikkan sebagai Netanyahu.
Sayed Hasan Nasrallah (Sekjen Hizbulah ) profilnya mengagumkan. Orangnya konsekwen. Dicintai warga Lebanon. Juga secara kekuatan memiliki kans menjadi Presiden Lebanon tapi juga taat kepada konstitusi negaranya.
Demikian juga kehidupan dari Sayed Hasan sangat sederhana dan digelari seribu wajah karena ahli dalam berbagai penyamaran.
Amien Rais mungkin juga sedang mengidetikkan bahwa Jokowi sebagai Benjamin Netanyahu atau bagian dari Zionis Israel, musuh islam.
Tidak mungkin Amin Rais akan meyebut secara vulgar dan terang-terangan menyebut nama bahwa Jokowi seperti Netanyahu musuh islam.
Amien mau menggambarkan konstelasi perlawanan antara Netanyahu dan Hizbullah. Dan Amien memposisikan dirinya serta partai-partai oposisi sebagai Hizbullah.
Amien Rais tentu sekaligus sedang mencari panggung membangun narasi. Amien dengan berbagai akibat dari tindakannya sudah sangat diabaikan banyak orang. Juga pada lingkungan akademisi, cendikiawan yang membesarkan dirinya, telah mengeluarkan dia dari gegap gempita gelanggang pemikiran dunia intelektual.
Seandai saja dia konsisten dengan dunianya, dia malah akan terus membesar. Dia bisa menjadi tokoh bangsa. Sayangnya sekarang dia malah menjadi tokoh antagonis. Yang tentu tidak akan terjadi jika saja konsisten sebagaimana Abdillah Toha.
Mungkin tak banyak yang tahu sosok Abdillah Toha yang belakangan sangat produktif menulis artikel dengan cirikhas penuh analisa tajam, independen, diksi lugas dan moderat ini.
Abdillah Toha dengan kepribadian low profile ini memiliki seabrek kiprah dakwah, pengalaman politik, aktivitas bisnis dan portofolio mentereng dalam profesionalisme terutama bidang ekonomi dan perbankan internasional dengan latar belakang pendidikannya juga megah.
Abdillah Toha karena pandangan politiknya yang tegas, paman intelektual dan terkemuka ini rela untuk berseberangan dengan rekan-rekan separtainya dulu. Karena sikapnya yang moderat dan pro toleransi, ia kerap menjadi sasaran pengkafiran, diberi stigma sesat dan lain sebagainya oleh para pengajur intoleransi yang berbungkus agama.
Ada kawan, lawan dan musuh. Disini Abdillah toha ini menjadi musuh ideologisnya Amien Rais. Disebut ideologis karena terkait pada aspek determinan.
Apapun Amien Rais dengan strateginya, Amin Rais melakukan pelanggaran berat karena dia dapat disebut menghasut dengan menganggap kelompok lawan politiknya sebagai setan atau yang jahat. Dan tentu sangat berbahaya, karena dengan basis penilaian moral seperti ini, bisa berakibat orang lain bisa dibunuh. Itu sangat berbahaya.
Amien Rais sedang mengidentifikasi diri dan partai kelompoknya dengan Hizbullah. Yang berbahaya adalah kriteria mengidentifikasi diri dengan demonisasi kelompok partai lawannya. Ini tidak boleh ada dalam politik yang sehat serta bermartabat.
Sebagai warning, kalau seseorang seperti Amien Rais ataupun sekelompok orang memandang orang, kelompok, atau partai lainnya sebagai hamba setan atau yang jahat, maka mereka akan tidak segan-segan bertindak diluar hukum, membunuh, membinasakan kelompok lawan politiknya, apalagi kalau mereka berhasil berkuasa. Jadinya, sesama anak bangsa bisa terpecah dalam konflik saling bunuh nantinya. Tidak lagi perdulikan pada kesatuan sehingga negara ini akan hancur, berkeping sebagaimana yang terjadi di Timur Tengah sesama umat muslim terpecah belah.
Etika politik yang diharapkan dari seorang Amien Rais dan semua politisi adalah kemampuan mentransformasi antagonisme teman/musuh (friend/enemy) menjadi kawan/lawan. Relasi antagonisme teman/musuh berisiko kepada exclusi terhadap musuh. Mis; pembinasaan musuh. Tetapi, relasi kawan/lawan (adversarial) tidak mengexclusi lawan, melainkan mengakuinya sebagai oposisi yang berlegitimasi, constitutive outside.
Amien Rais jelas sedang berpolitik dengan menggunakan strategi khas nya ” Bandul Pendulum!”
Ada dua definisi: 1) Politik sebagai upaya mengambil bagian dalam memperjuangkan kepentingan bersama untuk kesejahteraan masyarakat. Ini definisi normatif. Definisi ala Yunani kuno. 2) Politik sebagai seni mengoperasikan kekuasaan. Ini definisi empiris. Operasionalisasi kekuasaan bisa dilakukan oleh mereka yang dominan maupun yang resistensi.
Sedapat mungkin kita memahami Politik secara komprehensif dan dalam. Geopolitik pengetahuan mutlak harus dikuasai supaya paham pertarungan politik dunia yang semuanya didasarkan pada pertarungan pemikiran pada tataran intelektualitas/cendekiawannya.
Amin Rais ikut nimbrung hari ini, dengan segala kicauannya kebelet banget bisa ikutan memerintah bersama Prabowo, sekaligus sama-sama menuntaskan hasrat berkuasa mereka yang tak pernah dipuaskan. Dengan memanfaatkan kelompok intoleransi, dengan terus menerus mengelabuhi masyarakat banyak.
Benar bahwa tidak ada yang netral dalam politik. Namun setiap kelompok, apapun namanya harus selalu berada dalam hubungan kekuasaan (relation of power).
Kompleksitas hubungan kekuasaan itu bermuara pada suatu paham yang bernama soverenitas (kedaulatan rakyat/negara), yang dimandatkan kepada badan/institusi/partai tertentu.
Apapun namanya kelompok itu, pada dirinya melekat karakter politis. Mengapa? Karena dia berada dalam medan hubungan kekuasaan. Hubungan kekuasaan itu yang membentuk dia sebagai subyek.
Hubungan kuasa itu pula yang mentransformasi subyek menjadi agensi: subyek yang mengoperasikan powernya, mengartikulasikan politiknya dalam beragam cara. Jadi, kalau masih ada orang yang mengklaim netral secara politik atau bahkan apolitis, itulah orang tolol, yang terdepolitisasi, mengarahkan masyarakat menjadi antipolitik.
Inilah bahaya developmentalisme yang didengungkan rezim Orba dulu: Utamakan ekonomi, terapkan Politik Massa mengambang. Ini semuanya bentuk operasionalisasi dari hubungan kekuasaan. Inilah govermentality: teknik memerintah/mengoperasionalkan power, sesuatu yang demikian melekat pada perilaku neoliberal yang ganas itu.
Siapa bilang para cendekiawan tidak berpolitik? Justru pertarungan politik paling canggih dimuka bumi ini dimainkan oleh para cendekiawan. Lihat Samuel Huntington di USA, thinker of Pentagon. Anthony Giddens, sosilogist and consultant politic of UK, Jurgen Habermas in Germany.
Banyak cendekiawan yang Pro Status Quo, cari cara nyaman hidup. Itulah bahaya besar dari pemikiran positivisme yang kental melanda dunia pendidikan Indonesia, termasuk yang mengklaim dirinya cendekiawan, apalagi menganggap sebagai Lokomotif Reformasi.
Itu bukan cendekiawan, tapi budak intelektual, atau dengan kata lain pelacur intelektual.
Pendidikan kita sangat bias oriental. Positivisme begitu kuat dan manajerialisme baru menjadi mahkota. Kita selalu terpukau pada angka-angka statistik, ilmu teknik dan manajemen dengan logika kontrolnya.
Tetapi kita gagal menangkap kedalaman hidup dengan berbagai aspeknya yg bersifat eksistensial, yang tidak semata-mata empiris dan positif.
Pendidikan tidak membuat orang untuk jadi bebas, sebaliknya menghargai kemanusiaannya, individualitasnya, dan kebersamaan dengan yang lain, yang mengembangkan rasionalitas komunikatif. Tetapi, pendidikan telah membikin orang saling memanfaatkan, memuja-muja rasionalitas instrumental.
Amien Rais yang dikenal sebagai cendekiawan dengan segala macam strategi serta isu untuk berhasil menggantikan Presiden 2019, bagi saya, soal gerakan ganti presiden jelas merupakan sasaran tembak utama dari berbagai upaya kelompok oposisi selama ini.
Karena memang trah Suharto berkepentingan untuk merebut kembali kendali atas negara ini demi penguasaan sumber dayanya. Jokowi yang sangat mengutamakan kepentingan rakyat, bagi mereka merupakan halangan besar, dan karena itu harus diganti. Konsolidasi elit-elit lingkaran Cendana dan juga Cikeas terjadi, terutama di pihak oposisi termasuk dalam skenario Amien Rais. Yang menjadi bumerang bagi dirinya sendiri.
Menyukai ini:
Suka Memuat...