Senin siang, 11 Desember 2017 Jakarta hampir lumpuh akibat hujan deras dengan intensitas tinggi, hujan disertai angin kencang yang turun mulai pukul 14.00 WIB itu menggenangi jalanan ibukota, menjebol tanggul, menyebabkan macet panjang dimana-mana dan memaksa puluhan keluarga di Kedaung, Jakarta Pusat dan Jatipadang, Jakarta Selatan mengungsi.
Jakarta yang tengah bersolek harus mengalah pada debit air hujan yang sedang menunjukkan sisi the dominant nya. Menurut Nirwono Yoga, pakar tata kota dari Universitas Trisakti, setidaknya 3 hal yang harus segera dilakukan Pemprov DKI Jakarta agar banjir pada Senin kemarin tak berujung pada dampak yang lebih besar. Terlebih akhir Januari hingga awal February 2018 adalah puncak penghujan. Yang pertama adalah mengoptimalkan saluran air, terbebas dari sampah dan lumpur. Kedua, pengecekan semua pompa terutama di wilayah Jakarta Utara dan Jakarta Barat yang merupakan daerah dengan tinggi di bawah permukaan air laut. Daerah ini hanya mengandalkan pompa disaat hujan. Dan langkah ketiga adalah pengecekan tanggul. Di Jakarta Selatan misalnya, Pondok Labu dan sekitar Kemang sejumlah tanggul dilaporkan retak-retak.
Tak ada kota di negara maju manapun yang menyatakan bebas banjir. Saat ini dunia tengah menghadapi fenomena pemanasan global dan perubahan iklim ekstrim yang tak bisa dihindari. London, Paris, Tokyo, Singapura bahkan Melbourne yang dijuluki kota layak huni di dunia turut terdampak banjir. Yang perlu di contoh adalah apa yang sudah mereka lakukan untuk mengantisipasi banjir dan sejauh mana keseriusan dalam menghadapi bencana hidrometeorologi itu.
Melbourne misalnya. Satu-satunya kota di Australia yang iklim nya unpredictable kini tengah mengembangkan daerah resapan air di bawah jalan yang menjadikannya sebagai sumur resapan air terpanjang di dunia, yakni sepanjang 50 hingga 60 kilometer. Prinsip pemerintah kota Melbourne adalah bagaimana menampung air sebanyak-banyaknya untuk diserap sebanyak-banyaknya ke dalam tanah. Malaysia membangun deep tunnel atau terowongan multifungsi. Pada 2007 Wakil Presiden, Jusuf Kalla dan Gubernur DKI, Sutiyoso bahkan bertandang ke Malaysia untuk mempelajari sistem yang berhasil mengatasi banjir besar tahunan di Kuala Lumpur itu. Dan pada 2013, Jokowi sebagai Gubernur DKI Jakarta telah membuat modifikasi sistem deep tunnel dan mengubah namanya menjadi smart tunnel. Pada dasarnya, terowongan multifungsi ini bersifat multiguna, menjadi jalan bebas hambatan saat musim kemarau, dan menjadi saluran pembuangan air saat musim hujan. Pembangunan terowongan sepanjang 19 kilometer dengan diameter 18 meter ini diperkirakan menelan biaya hingga Rp 16 triliun. Jokowi menargetkan mega proyek ini selesai dalam empat tahun. Biaya operasional dan pemeliharaannya sudah pasti sangat mahal dibandingkan waduk di permukaan tanah. “Ini milik Indonesia”, kata Jokowi waktu itu.
Meski terkadang masih dilanda banjir, Singapura terus menunjukkan penanganan banjir yang progresif. Setelah peristiwa banjir besar pada 2015 yang membuat kota ini lumpuh, Singapura melakukan sejumlah langkah besar; yakni mengoptimalkan seluruh ruang terbuka hijau. Yang sebelumnya kurang dari 29% sekarang menuju ke 56% hingga 2025. Menampung air sebanyak-banyaknya saat musim hujan untuk digunakan saat musim kemarau. Meniru Jepang, di bawah lahan-lahan parkir dibangun kolam penampungan air dan merombak saluran drainase secara besar-besaran.
Apakah Jakarta mau mengadopsi langkah-langkah itu? Akankah Jakarta membangun ruang terbuka hijau di pusat kota agar kemampuan tanah untuk menyerap air hujan bisa di optimalkan? Sanggupkah Jakarta merelokasi warga yang tinggal di daerah bantaran sungai?
Hujan hari Senin kemarin, daerah Kuningan, Salemba dan Senayan cukup cepat tergenang karena saluran air yang tak berfungsi optimal. Rata-rata diameter saluran air di daerah itu tak lebih dari 50 cm. Padahal dengan kondisi curah hujan tinggi yang menurut BMKG diatas 200mm per jam, diameter saluran air setidaknya 1.5 meter hingga 2 meter. Restu Gunawan, sejarawan dan penulis buku “Gagalnya Sistem Kanal”, mengungkap permasalahan banjir Jakarta dari tahun ke tahun disertai peta Jakarta zaman old. Penyebab utamanya tak lain adalah tata kota yang rancu. Daerah yang sedianya menjadi resapan air sudah mulai dibangun gedung sejak 1950. Hutan kota berubah menjadi hutan beton yang tak lagi mampu menjadi daerah resapan air.
Hal itu sekali lagi terbukti pada peristiwa banjir Jakarta Senin kemarin. Jalan-jalan utama di Senayan dan Kuningan mudah tergenang ketika hujan turun akibat tak adanya daerah resapan air. Kavling-kavling yang berdiri hampir 100% diperkeras. Ketika hujan deras, air dibuang ke jalan yang saluran air nya sendiri tak memadai. Itulah sebabnya ketika hujan deras yang hanya dalam waktu 1 hingga 2 jam jalanan banyak yang tergenang bahkan lebih dari 50cm!
Persoalan banjir Jakarta memang pelik. Apalagi jika kaitannya dengan relokasi warga. Sungguh bukan langkah populis terutama jelang tahun-tahun politik. Gubernur dan wakilnya tentu tak ingin suara pemilih di daerah bantaran sungai atau daerah yang terkena gusur hilang akibat persoalan hati. Padahal solusi banjir Jakarta dalam jangka panjang sangat menentukan masa depan ibu kota. 13 sungai yang melintasi Jakarta, perlu dinormalisasi. Menurut Nirwono Yoga, hanya 4 diantaranya yang pernah mendapat perhatian serius, yakni Ciliwung, Pesanggrahan, Angke dan Krukut. Sisanya terhenti sejak 2014. Itupun selama 5 tahun terakhir, kali Ciliwung baru 65% dinormalisasi. Dari 19 kilometer panjang kali Ciliwung, baru 9 kilometer yang digarap. Lagi-lagi sisanya terbentur pembebasan lahan. Idealnya lebar kali yang dulu 10 meter hingga 20 meter diperlebar menjadi 50 meter. Tetapi karena keterbatasan ruang, maka hanya diperlebar menjadi 30 meter. Selain normalisasi sungai, revitalisasi waduk dan situ sebagai daerah penangkap air juga harus dilakukan sebagai solusi jangka panjang mengatasi banjir Jakarta. Dari 44 waduk dan 14 situ, baru waduk Pluit dan waduk Ria Rio yang sempat di tata ulang; dikeruk dan diperlebar. Seorang warga di Kedaung, Jakarta Pusat yang tanggulnya jebol akibat banjir Senin kemarin hingga harus mengungsi di mushola bersama puluhan keluarga lain mengaku warga di sekitar rumahnya masih memiliki kebiasaan membuang sampah di sungai. Maka tak heran, tanggul yang hanya terbuat dari tumpukan pasir tak mampu menahan debit air hujan yang tinggi.
Semoga banjir Jakarta yang terjadi Senin kemarin menjadi kesempatan Gubernur dan Wakil Gubernur agar semakin giat berbenah memutus mata rantai banjir di Jakarta. Sekali lagi, curah hujan tertinggi di Jakarta dan sekitarnya masih akan terjadi pada akhir Januari hingga awal Februari 2018. Semoga peristiwa Senin kemarin tak terulang lagi. Semoga harapan akan Jakarta yang lebih baik terwujud dibawah kepemimpinan Anies Baswedan dan Sandiaga Uno, ditengah semakin banyaknya polemik yang menyelimuti kebijakan keduanya.
Penulis adalah News Presenter BeritaSatuTV dan Tenaga Ahli DPR RI, Jakarta
Mahasiswi Program Doktor Ilmu Kriminologi UI
Baru-baru ini meluncurkan buku Kumpulan Cerpen; Apple Strudel
Chat Nastiti untuk informasi lebih lanjut melalui Twitter/Instagram @nastitislestari
Menyukai ini:
Suka Memuat...