Situasi sekarang sudah sedemikian kritis akibat setiap saat terasa upaya-upaya membelah kesatuan bangsa, yang kalau ditanyakan akan dijawab sebagai bentuk dari dinamika politik.
Namun tepatkah kegaduhan bahkan terakhir sampai kepada kejadian dan ancaman terror masih layak boleh disebut dinamika politik kekuasaan? Tentu tidak, karena sudah pada taraf ancaman terhadap keutuhan bangsa, maka jangan lagi bermain dinamika politik hanya untuk berkuasa bila sudah menjadi ancaman adu domba dilevel akar rumput.
Setiap saat produksi hasutan, hoax, memutar balikkan datang melalui media sosial mendatangi setiap individu, tidak lagi untuk kepentingan politik praktis tetapi sudah mengarah kepada upaya memecah belah dengan menciptakan hantu-hantu ancaman terhadap eksistensi kehidupan, mulai dari banjirnya tenaga kerja asing, tingkat hutang, penjualan aset dsb hingga mendelegitimasi pemerintah yang sah.
Terakhir ini malah beredar video clip membela salah satu Guru Besar yang diberhentikan, bukan video clip produksi amatiran namun dibuat dengan cara profesional baik dilihat dari muatan materi hingga tehnik videografisnya.
Demikian juga pemalsuan nama-nama dari tokoh politik maupun agama pada berbagai artikel yang diviralkan juga tergolong dilakukan bukan oleh orang yang buta politik, atau penulis abal-abal anak baru gede. Yang tentunya semua ini bisa dilakukan dengan dukungan logistik yang kuat.
Maka menjadi pertanyaan adalah apa maksud sebenarnya ancaman-ancaman ini:
Kontrak Freeport
Perlu diketahui dengan benar bahwa Freeport Indonesia adalah tambang emas terbesar dunia, dimana bisa dikatakan bahwa Indonesia memasok sekitar 70 persen pasar emas dunia. Maka keruwetan dalam perpanjangan kontrak Freeport secara langsung menjadi ancaman bagi keuangan dunia, yang tentu menjadi ukuran keberhasilan kapitalis dunia dalam menguasai sendi-sendi ekonomi global.
Tarik ulur dalam perpanjangan kontrak Freeport, terjadi karena kapitalis tidak ingin berkurang keuntungannya jika secara utuh UU Minerba dijalankan pemerintah. Bagaimana tidak rugi kalau selama ini bisa dikatakan lebih dari dua pertiga pasokan emas pasar asal Indonesia adalah ilegal. Yang dimungkinkan karena Indonesia tidak memiliki smelter pengolahan ore menjadi emas dan turunannya, dan setiap kali didesak maka selalu mengelak hingga kepada PHK pekerja tambang.
Demikian juga kepemilikan saham Freeport semakin runyam dengan dimasukkan Rio Tinto yang dianggap memiliki saham, sesuai partisipasi operasional tambang. Padahal besaran kesertaan partisipasi tersebut tergantung pada kemajuan eksplorasi produksi. Yang artinya besaran kesertaan Rio Tinto adalah fluktuasi, sedangkan dari legalitas haring saham dalam kontrak adalah antara Pemerintah Indonesia terhadap Freeport Indonesia.
Bagaimana juga dunia tidak dapat menunggu berlama-lama keruwetan perundingan kontrak Freeport Indonesia yang mengancam kepada stabilitas ekonomi global. Maka segala hal perlu diperhitungkan langkah kebijakan hingga kepada situasi yang paling buruk. Sejarah dunia membuktikan bahwa urusan emas dapat berujung kepada peperangan hingga pembunuhan demi melanggengkan penguasaan atas akses kepentingan ekonomi.
Amerika vs China
Dipertajam lagi dengan ancaman kebijakan Trump, menaikan 25 persen tarif import. Kebijakan ini pasti akan membuat kemarahan dari pihak China. Dan China akan diposisikan untuk masuk dalam perang asimetris. Dampaknya tentu, ekonomi dunia pada posisi yang semakin tidak pasti.
Bagaimana juga akhirnya peluru pertama telah diluncurkan dalam perang dagang Amerika vs China telah membuat index pasar saham dunia berguguran mulai dari Eropa, Asia dan juga Amerika, akan menjadi semakin runyam apabila China melakukan serangan balasan menyangkut kepada obligasi Amerika ditangan China. Dalam hal ini Indonesia masih dalam lindungan Langit karena pasar sedang libur Idhul Fitri.
Walau demikian dalam dinamika situasi seperti ini, Indonesia pasti masuk dalam skenario perang asimetris ini. Mereka para Kapitalis ini akan memainkan Indonesia melalui ” orang- orang Indonesia sendiri” yang merupakan agen sekaligus persengkolan untuk mendapatkan keuntungan sepihak.
Hal ini mulai terlihat dengan pergerakan “hasutan penggalang massa” dimulai dari mahasiswa. Maupun gerakan pasukan pemukul, untuk melawan TNI maupun aparat. Pergerakan pertemuan oknum “para Jenderal” serta koordinasinya dari warga Cendana maupun kelompok penikmat Orbais yang tidak perdulikan akan nasib rakyat bangsa dan negara Indonesia.
Melihat dinamika nyata seperti ini, jelas sudah bukan lagi dinamika politik, tetapi sungguh perang asimetris.
Senjata kita, bangsa Indonesia adalah bela negara, pertahanan rakyat semesta untuk amankan kehidupan rakyat Indonesia. Keamanan untuk rakyat Indonesia harus diatas segala- galanya.
Maka sungguh perlu koordinasi yang solid antara militer TNI dan Polisi selaku aparat keamanan.
Serta tidak lagi memberikan ruang gerak kepada para penghasut, serta kaki tangan para kapitalis, untuk bercokol didalam struktur pemerintahan, atau memberikan SP3 kepada pihak- pihak tertentu, yang merupakan bagian dari skenario terselubung.
Membaca pergerakan militan para Jendral mereka saat ini, dapat dirasakan bahwa mereka akan menggalang massa, seperti yang terjadi pada tahun 1965.
Oleh sebab itu pembersihan dan ketegasan sikap pemerintah sangat diperlukan. Terutama mengantisipasi dampak Freeport bagi perekonomian dunia, serta perang dagang Amerika vs China yang bisa membuat distabilitas kawasan Asia Tenggara.
Situasi ancaman perang asimetris ini jangan ditanggapi dengan main- main, dengan memberi ruang bagi mereka untuk bergerak bahkan malah memegang posisi kunci dalam kementrian. Jangan lagi ada alasan humanisme atau dinamika politik dan sebagainya.
Perlu pembersihan semua mafia energi migas dan ketegasan sikap pemerintahan Jokowi.
Sebab sangat jelas, dasar tujuan dalam mengalahkan mereka bukan untuk bisa menang kompetisi demokrasi menuju Pilpres 2019, tetapi semata-mata untuk menyelamatkan rakyat bangsa dan negara.
Jika dinamika politik tidak lebih adalah transaksional belaka seperti yang dilakukan sekarang ini. Jangan harap Langit akan berpihak dan memberikan rahmat dan berkat lagi pada setiap langkah-langkah kebijakan.
Sudah bukan waktunya lagi memberikan ruang sedikitpun kepada biang kerok Penghasut atau berlaku seperti gerombolan Orbais apalagi berpihak pada Kapitalis Hitam.
Pertaruhan sekarang ini bukan untuk bisa berkuasa, melainkan untuk masa depan kehidupan rakyat, bukan untuk kelompokmu atau golonganmu saja. Tetapi untuk rakyat dari Sabang hingga Merauke menuju cita-cita Sila Kelima Pancasila. Demi Keutuhan NKRI
Tidak ada namanya berkompromi apalagi terhadap kelompok oligarki Orbais maupun genk karya. Maka kembali pada pertanyaan awal, apakah sudah tepat masih memberikan ruang lagi pada kelompok intoleran ???
Apajadinya disatu sisi melakukan pembersihan bertahap, sedang disisi lain dengan berlindung pada kesatuan bangsa malah melakukan penggerogotan yang melemahkan kontrol terhadap jalannya pemerintahan yang berpihak pada rakyat.
Bagaimana tidak bisa dipungkiri masuknya Ngabalin, keluarnya Yudi Latif dan SP3 Rizieq telah menunjukkan bagaimana masih kuatnya transaksional pengaruh JK, Wiranto serta oportunistis Orbais lainnya. Serta masih kuatnya pemain antah berantah yang memanfaatkan genk intoleransi untuk menularkan badai Arab Spring.
Soft approach yang humanistik tetap bisa berjalan, terutama untuk orang” kecil dan menengah yang kurang paham. Tapi untuk kelas wahid seperti Rizieq dan sejenisnya, tangkap, adili, bila perlu hukum mati. Upaya makar terhadap negara, itu harus hukum berat bahkan death penalty, karena bisa memporak porandakan keutuhan bangsa.
Kalau soal kasus chating porno-nya Rizieq, saya tidak berminat. Itu ranah privat orang. Tapi kalau soal penghinaan terhadap Pancasila sebagai fondasi berpikir kita orang Indonesia, itu harus diusut serius oleh aparat penegak hukum. Kalau cara berpikir sudah keliru, tindakan juga keliru.
Tindakan yang keliru akan mereproduksi cara berpikir yang keliru. Begitu terus, bisa repot kita dalam menjaga dan merawat kebhinnekaan.
Pada dasarnya spirit humanistik itu bagus: fortiter in re, suaviter in Modo. Tegas dalam prinsip, lembut dalam cara. Tetapi, kita juga jangan terlalu lugu dan polos menerapkannya.
Ingat, negara punya kekuasaan untuk memaksa bahkan menggunakan kekerasan terhadap setiap individu dan kelompok yang pada taraf tertentu sudah membahayakan toleransi kehidupan bersama dan keutuhan bangsa.
Toleransi terhadap intoleransi sama dengan membiarkan kehancuran negara terjadi. Tinggal menunggu waktu.
Suatu individu atau kelompok yang “radikal” mau mengganti dasar negara Indonesia tidak pernah lahir begitu saja. Ia dibentuk sudah lama. Butuh waktu lama memang kalau pendekatan humanistik, melalui pendidikan maupun teladan kepemimpinan.
Tapi, dalam jangka pendek, hard approach sangat butuh. Lihat Syria sekarang? Lihat Afghanistan? Mau dibiarkan bebas terus para penjahat dan pengkhianat negara? bahkan diberikan ruang dan tempat untuk tetap bercokol?
Lihat Demokrasi Jerman yang telah membiarkan Hitler berkuasa? Pernah dengar cerita dan apa hasilnya? Lihat pemerintah Jerman mengadili para penjahat Nazi? Apakah mereka biarkan bebas? Hati-hati.
Yang terjadi saat ini bukan sekedar dinamika politik karena kita memang sebagai bangsa sedang memasuki pesta demokrasi, tetapi ancaman perang asimetris jauh lebih dekat untuk menguasai Indonesia dan semua sumber daya alamnya yang melimpah.
Rizieq itu bisa disebut otak intelektualnya, karena itu dia didengar oleh manusia kawanan bodoh yang butuh patron. Jadi, terhadap dia, perlakuannya extraordinary.
Ingat saja bahwa ada “oknum” orang-2 tertentu, ketika jaman SBY diberikan tempat dan kekuasaan malah digunakan untuk membesarkan kelompok intoleran. Nah sekarang tanpa ada ikatan apa apa malah “Diberi tempat lagi”. Sedangkan posisi kunci pada kementrian strategis. Belum mampu sepenuhnya dalam kontrol. Situasi inilah yang terjadi.
Perlu disadari bahwa situasi sekarang ini sedang berusaha menyeret kepada situasi tahun 1965 dan bukan 1998 oleh sebab itu buang segala omong kosong pendekatan humanis atau dinamika politik praktis sebagaimana irama gendang yang sedang dialunkan.
Posisi geopolitik Indonesia termasuk sentral dan diperebutkan karena berpengaruh langsung pada sistem ekonomi dunia.
Karena itu ancaman perang asimetris sedang berlangsung, kenapa malah seperti bermain main dengan urusan SP3 atau preketekan sorban orbais. Hadeew mikir!!! Malah melihara ular beludak dalam rumah.
Dinamika politik memang kuat tetapi tanpa konsep strategis bukan lagi dinamika tetapi ketidak mampuan dalam menghadapi faksi faksi disekitar.
Maka perlu disampaikan bahwa siapapun yang tidak dibawah naungan berkat dan rahmat Langit. Jangan berharap akan mampu bisa berkuasa, bahkan dirinyalah yang akan menambah aliran darah membasahi Bumi Pertiwi sebagai korban persembahan silih dosa.
Cukuplah dan hentikan semua kebohongan dan kejahatan, jangan bertindak lagi seperti kuburan yang berlapis marmer bercat putih.
Memang, mereka pernah berkuasa dalam waktu yang sangat lama, 30-an tahun. Akarnya udah menjalar kemana-mana dan cukup kuat tertanam. Jadi untuk mencabut memang butuh waktu lama. Tidak gampang meruntuhkan total orang” orba – orbais di republik ini, tetapi perlu ketegasan bukan dengan memberi ruang bagi mereka. Atau malah menari dengan tabuhan gendang musuh.
Belakangan ini beberapa postingan pendukung khilafah terbaca lebih memiliki kadar intelektualitas yang jauh lebih baik dan lebih tajam menghasut. Maka bisa disimpulkan bahwa kalangan “designer pembelah bangsa Indonesia” telah mulai turun langsung ke gelanggang secara aktif.
Lalu pertanyaannya adalah kenapa sampai para designer pembelah bangsa turun langsung? Karena ada ruang gerak dan kesempatan !!!
Pelemahan terhadap ketahanan nasional sedang terjadi, maka mungkin diperlukan segera sistem pertahanan semesta bela negara..
Satukan langkah, rapatkan barisan dan tetap fokus pada perjuangan menyelamatkan seluruh umat manusia khususnya rakyat Indonesia.