Kita ini bangsa yang lahir, hidup dan mati di bumi Nusantara, tentu menjadi hal yang biasa jika kita berbicara, berbahasa, berpakaian dan bersikap yang bersumber dari kekhasan Nusantara. Meski ada heterogenitas di masing-masing itu, terlepas estetik atau tidaknya. Kebiasaan hidup di tanah yang kita diami adalah juga takdir Tuhan, untuk kemudian kita syukuri sebagai anugerah. Maka tak ada kata menolak dari apa yang ditakdirkan tersebut. Menolak takdir berarti melawan kuasa gusti Allah Swt.
Bangsa Nusantara ini jika dipetakan adalah bangsa yang memiliki akar tradisinya sendiri yang jumlahnya ribuan, dan adat budayanya adalah kekayaan kuasa Tuhan yang terserak di seluruh pulau-pulau Nusantara. Terlepas dari ikatan agama, bangsa Nusantara punya budayanya yang utama yaitu tepo seliro, gotong royong dan welas asih. Jika pun agama hadir di tengah budaya dan tradisinya, maka agama mana pun tidak lantas memfatwakan untuk mencerabut pemeluknya dari akar tradisinya. Hingga kini hal itu tidak ada sama sekali. Sebab agama adalah petunjuk ( هدا للناس ) untuk manusia agar hidup diterangi dengan kebenaran dan keselamatan.
Pijakan Dasar
Kita mengambil pemikiran Syaikh Abdul Wahhab Khollaf tentang bagaimana agama relasinya dengan adat dan budaya. Sang Syaikh merangkum sejumlah definisi adat atau budaya dari para ulama hingga disepakati definisinya.
العُرف هو ما تعارفه الناس وساروا عليه، من قول، أو فعل، أو ترك
Urf adalah apa-apa yang dikenal orang banyak dan kemudian dibiasakan baik dari perkataan, perbuatan, hingga kebiasaan meninggalkan dan mengerjakan sesuatu. Ada petunjuk dari surat al-A’raf ayat 199, yang kemudian diterangkan dalam kitab Majmu’ah Fawaid Bahiyyah dikatakan:
خذ العفو وَأمر بالعرف وَأَعرض عن الْجاهلِين (الأعراف: ١٩٩)، فالأمر بالعرف في الآية يدل على وجوب الرجوع إلى عادات الناس، وما جرى تعاملهم به، وهذا يدل على اعتبار العادات في الشرع بنص الآية. قال ابن الفرس في كتابه: ” أحكام القرآن “: المقصود بقوله: {وأمر بالمعروف} أي: المعروف عند الناس، الذي لا يخالف الشرع
Dari surat al-A’raf 199, maka perintah dengan urf dalam hal ini bermakna pada kewajiban menjadikan adat manusia sebagai sandaran, dan apa-apa yang menjadi kebiasaan dalam muamalat mereka, maka ini secara eksplisit melegitimasi penggunaan urf sebagai landasan.
Agama dan Budaya
Agama bukan untuk mendukung dan menjustifikasi kekuasaan, dinasti, daulah dan kerajaan, tetapi sekali lagi sebagai petunjuk. Meski dalam ranahnya negara, agama tidak lebih sebagai sistem nilai yang bisa menjadi prinsip menegara yang disepakati bersama, dan sifatnya tidak absolut sebagai satu-satunya yang mengatur negara.
Pertemuan agama dan budaya tidak dalam posisi pertentangan teologis, tidak juga pada legal formal yaitu syariat. Sebab budaya tidak akan bertentangan dengan syariat agama jika dalam budaya juga tidak melanggar nilai agama dan maqoshid al-Diniyah (tujuan beragama). Nilai suatu budaya tersendiri begitu pun nilai suatu agama juga tersendiri, namun keduanya akan menyatu dalam tujuan kebenaran dan maslahat ( المصلحة العامة ).
Budaya Nusantara yang adi luhung adalah nafas hidup kita sebagai bangsa yang tinggal di wilayah Nusantara (NKRI), kemudian agama sebagai prinsip dan petunjuk kehidupan perlu mengharmonisasi antar keduanya hingga menjadi suguhan peradaban yang utuh dan tak lekang ditelan zaman. Zaman boleh berganti namun budaya adalah ciri yang tak hilang.
Budaya Kuat, Negara Hebat
Para pendiri negara bangsa ( NKRI ) sudah merumuskan Pancasila sebagai dasar bernegara, dan juga merupakan manifestasi dari nafas hidup, perilaku, ittikad dan cita-cita bangsa Indonesia seluruhnya. Pancasila telah menjadi konsensus bersama dengan budaya Nusantara sebagai kekhasan yang autentik dari besarnya khazanah orang-orang Nusantara hingga menjiwai sila-sila dalam Pancasila.
Meminjam diktum Louis Katsoff yaitu hubungan yang damai di antara rakyat hanya mungkin ada bila ada negara yang dapat menimbulkan perdamaian dan menghentikan usaha-usaha dari pihak yang bermaksud mementingkan diri sendiri. Jika tidak ada negara justru yang terjadi adalah situasi yang jauh dari perdamaian. Korelasi pemikiran Katsoff antara negara sebagai keniscayaan mewujudkan perdamaian, maka budaya yang mengisi ruang damai tersebut. Pada saat yang bersamaan pula, agama menjiwai budaya sekaligus negara an sich.
Sesungguhnya kita tidak tengah menyuguhkan konfrontasi eksistensial antara agama, negara dan budaya. Tapi, mengelaborasi semuanya dalam perspektif ontologis. Ini artinya, ke-ajegan dan konsisten negara dan budaya akan mengantarkan suatu bangsa pada kemajuannya yang dicerahi nilai teologis.
Kalimat akhir, menjadi yang wajib bagi bangsa se-Nusantara untuk tetap konsisten mentradisikan budayanya sendiri untuk menguatkan negara. Budaya yang kuat menuju Indonesia yang hebat.
Wakil Ketua PW Ansor Banten
Menyukai ini:
Suka Memuat...