Milenial dan Aktor Perubahan
Di sebagian banyak negara berkembang memiliki bonus demografi potensial yang disebut generasi milenial. Sebagai generasi yang tumbuh di era digital abad milenium, kelompok milenial selalu digadang-gadang akan menjadi ujung tombak dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi negaranya.
Selain faktor genetik yang lebih mudah beradaptasi dengan teknologi, populasi generasi ini memiliki jumlah yang cukup besar untuk menjadi penerus suatu bangsa. Maka, wajar beberapa negara memiliki harapan lebih terhadap para milenial ini, termasuk salah satunya adalah Indonesia.
Presiden Joko Widodo (Jokowi), sesuai dengan janji kampanye Pilpresnya menegaskan bahwa kekuatan milenial sangat dibutuhkan sebagai penggerak kemajuan bangsa. Tak ayal, di periode kepemimpinannya yang kedua ini Presiden Jokowi melibatkan tokoh-tokoh muda untuk turut berkontribusi dengan membantu program kerja lima tahun mendatang.
Begitu besar bentuk perhatian Presiden terhadap generasi milenial. Maka, pada suatu kesempatan mengumumkan pejabat pembantu Presiden, ia memutuskan untuk membentuk suatu Staf Khusus Kepresidenan yang berlatar belakang dari unsur kepemudaan.
Staf Khusus Milenial Presiden yang ditunjuk langsung oleh Presiden Jokowi berjumlah tujuh. Tampak optimisme di awal kepemerintahan tumbuh manakala di Malaysia, sebagai negara tetangga telah lebih dulu memutuskan untuk memilih dua tokoh muda berkesempatan menjadi Menteri milenial.
Ketujuh Staf Khusus milenial tersebut juga bukan sembarang anak muda biasa. Mereka yang terpilih merupakan para aktor perubahan yang berlatar belakang pendiri perusahaan rintisan (start up), influencer, dan aktivis kemahasiswaan. Namun, siapa sangka dalam perjalanan waktu publik semakin sepi melihat aksi nyata para Stafsus milenial.
Mereka yang tampak keren sebagai influencer, justru menunjukkan hal yang berbeda. Terkesan menganggur (jobless) namun bergaji besar, sebatas menjadi “teman kongkow” Presiden dalam setiap kunjungan daerah, dan yang menjadi kontroversi belakangan ini adalah munculnya conflict of interest (konflik kepentingan) yang diduga hanya mengejar profit dari suatu program pemerintah untuk menguntungkan perusahaan pribadinya. Banyak publik menyayangkan hal tersebut.
Dalam kasus ini, inovatif dan merupakan lulusan dari sebuah kampus bergengsi saja tidak cukup untuk menjadi seorang negarawan. Negara ini masih banyak memiliki generasi milenial yang bukan semata memikirkan untuk kepentingan kelompok dirinya sendiri. Dan ruang baru masyarakat digital itu terbukti dengan munculnya suatu gerakan kritik sosial melalui media petisi online.
Petisi Blunder Stafsus Milenial
Gerakan kritik sosial melalui media petisi online sebenarnya bukanlah hal baru di Indonesia. Lewat situs web petisi change.org memudahkan masyarakat untuk melakukan tuntutan dan berkampanye secara digital. Aksi petisi yang tidak biasa ini justru lebih mengena secara langsung atas tuntutan publik mengingat ruang baru masyarakat digital yang merambah dunia dalam jaringan (online). Sehingga siapa pun dapat menyuarakan sebuah isu bersama, kapan pun dan di mana pun.
Dalam sebuah tuntutan untuk mengevaluasi kedua Stafsus milenial Presiden, Adamas Belva Syah Devara dan Andi Taufan Garuda Putra muncul sebuah petisi yang diinisiasi oleh seorang aktivis milenial. Kharis Subarkha, Koordinator Milenial Rebahan Anti Baper dan Peduli Bangsa mengakui jika petisi online tersebut menunjukkan bahwa kekuatan milenial bukan semata hanya dijadikan “komoditas politik” namun harus menjadi kekuatan baru sebagai aktor perubahan yang nyata.
Dugaan konflik kepentingan dan blunder Stafsus milenial menjadi dasar munculnya gerakan kritis sosial tersebut. Dalam petisinya dijelaskan Andi Taufan Garuda Putra menyalahgunakan wewenangnya ketika mengirim Surat dengan Kop Sekretariat Kabinet dengan Nomor: 003/S-SKP-ATGP/IV/2020 Perihal Kerjasama relawan desa lawan Covid-19 kepada Camat seluruh Indonesia dengan perusahaan pribadinya, PT. Amartha Mikro Fintech.
Selanjutnya, polemik program pemerintah Kartu Pra Kerja yang melibatkan pendiri Ruangguru Adamas Belva Syah Devara melalui platform digital Skill Akademy, yang masih merupakan naungan Ruangguru. Dua hal itulah yang kemudian menjadi isu bersama atas kegelisahan publik di masa pandemi ini.
Kurang lebih selama dua minggu, petisi online ini telah menjaring sebanyak 6.000 lebih dukungan dari masyarakat atas kegelisahan yang sama. Gerakan kritis sosial ini terbukti ampuh, dua Stafsus milenial yang dituntut kabarnya memutuskan untuk mengundurkan diri. Sebuah pembelajaran politik yang baik, sebagaimana kesadaran kolektif masyarakat masih memiliki ruang untuk turut aktif menjaga dan mengawal proses demokrasi dan juga etika kesadaran pejabat publik untuk mengakui kesalahannya demi kepentingan bangsa.
Milenial telah menunjukkan kekuatannya. Masing-masing memberikan edukasi dalam berdemokrasi dan budaya menghormati hak warga yang lebih baik. Dan semoga, ruang baru masyarakat digital mampu memberikan nilai yang positif bagi kemajuan bangsa.
Indonesia Controlling Community
Menyukai ini:
Suka Memuat...