Berdamai dengan Covid-19 sekarang ini menjadi tren setelah Presiden Joko Widodo telah menyatakan; kita meski berdamai tidak lagi perang terhadap Covid. Perdamaian memang menjadi tujuan akhir setelah terjadi perang, namun kedamaian kali ini bukanlah kedamaian dalam arti biasa, aman dari segala bentuk serangan. Damai yang dimaksud tidak lain agar dalam kondisi serangan apa pun dapat tetap bisa berjalan untuk kehidupan yang normal, hingga istilah ‘New Normal’ pun akhirnya digunakan agar kehidupan baru dengan berbagai risiko serangan Covid kita tetap berdamai, meskipun Covid-nya sendiri tidak mau berdamai dengan kita.
Jika kita mau berdamai, tapi Covid-nya sendiri tidak mau, maka perdamaian ini adalah perdamaian yang pro-aktif, kita yang harus terus berusaha sekuat tenaga menunjukkan bahwa kita dapat bertahan damai meski diserang dari berbagai kemungkinan hadirnya Covid-19. Kondisi damai dalam perang Covid-19 kali ini memang berat dilakukan, namun risiko untuk tidak berdamai justru akan lebih memperparah keadaan.
Covid-19 memang telah menghabisi kehidupan manusia, berbagai negara telah kehilangan nyawa penduduknya, bahkan sampai saat ini belum ada satu pun obat atau vaksin yang ampuh untuk menghabisi Covid-19. Dari sekian kejadian bencana non-alam, mungkin Covid-19 akan menjadi bencana yang sulit untuk diungkap dan penuh dengan kepentingan. Maka, apa pun yang terjadi belum lagi banyaknya informasi yang tidak kondusif, memaksakan kita pada kesepakatan harus berdamai.
Kedamaian adalah tujuan yang hendak dicapai, hidup manusia ingin damai dan selamat, bahkan kalau perlu damai yang abadi. Pilihan berdamai dengan Covid-19 juga suatu tujuan agar kita tetap melanjutkan kehidupan sebagai bentuk pertahanan agar segala harapan dapat tercapai. Kita tidak lagi bisa menolak! Ada atau tidak adanya Covid-19, yang jelas kehidupan kita telah berubah total, mulai dari kebiasaan buruk perilaku kotor kita, bahkan perilaku baik ketaatan ‘ibadah’ kita, yang biasa kita lakukan.
New normal dalam bencana non alam ini perlu disikapi sebagai resolusi damai yang harus dilakukan dalam waktu cepat, sehingga sendi-sendi kehidupan dapat berjalan normal kembali, meminjam istilah dari Samsul Rizal Pangabean bahwa “Jika ingin berdamai, maka belajarlah damai”. Ungkapan doktoral ahli resolusi konflik UGM ini, mungkin sangat tepat untuk digunakan saat bencana Covid-19. Yang perlu digarisbawahi, ternyata jika kita ingin berdamai, maka belajarlah damai. Maksudnya, belajar damai itu ternyata tidak mudah, dan perlu pengorbanan agar perdamaian abadi tercipta.
Belajar damai dengan Covid-19 mungkin akan berlangsung lama, hingga siap menghadapi new normal kembali, yang perlu dipelajari dalam perdamaian Covid ini tidaklah semudah membalikkan telapak tangan, misal; kita harus bisa belajar beradaptasi dengan orang lain kembali, namun dengan cara yang baru, mulai dari tidak bisa berinteraksi langsung atau jaga jarak, menggunakan masker, hingga cuci tangan setelah bertemu orang lain, membuat kita belajar kembali agar kesehatan dan kehidupan kita tetap berlangsung.
Selain dalam interaksi sosial, belajar damai dengan Covid-19 dalam kondisi ekonomi, politik, hingga ibadah keagamaan pun akan mengalami hal yang sama. Di mana sektor ekonomi dan politik yang paling banyak melakukan interaksi antar orang, menjadi perhatian serius untuk berdamai dengan Covid, maka perlu belajar interaksi ekonomi dan politik dengan protokol kesehatan. Dalam bidang ibadah juga mengalami perubahan yang berarti, hingga kita harus belajar kembali untuk mengonsep ritual ibadah, mulai dari memahami ibadah yang lebih bersifat publik diarahkan lebih memilih pada ibadah privat demi keselamatan yang lebih utama daripada kemaslahatannya. Meski agama mengajarkan kebersihan ‘thoharoh’, namun perlu ditingkatkan kembali dengan kolaborasi ilmu kesehatan.
Untuk itu, berdamai dengan Covid-19 harus dijadikan resolusi damai, dengan berbagai persiapan kita untuk terus belajar damai, sehingga Covid-19 dapat ditanggulangi sampai berakhir. Tidak ada segala sesuatu tercapai, tanpa kita mau belajar, semoga belajar damai dengan Covid-19 dijadikan pelajaran buat kita dengan tetap mengusahakan berbagai langkah belajar damai untuk perdamaian abadi, sebagaimana berikut:
Pertama, berdamai dengan kondisi sadar dan belajar bahwa wabah pandemi Covid-19 yang telah ditetapkan WHO benar² wujud adanya, dan kita harus belajar mengenali wabah Covid-19 ini. Kedua, belajar berdamai dengan sikap introspeksi diri, memahami dimensi kemanusiaan yang lemah dan membutuhkan keadaan yang sehat, baik untuk diri maupun orang.
Ketiga, setelah sadar dan introspeksi diri maka kita harus bersikap saling menghargai, menghargai diri dan orang lain dalam kondisi Covid-19 bisa saling berbagi informasi yang positif, meski ada info negatif kita bisa menghargai dan tidak terjebak pada sikap saling tidak menghargai. Keempat, belajar bekerja sama dijadikan pelajaran yang sangat berharga, karena yang namanya bencana pasti merusak sendi-sendi kehidupan dan kita meski memperbaikinya dengan adanya penerapan new normal, maka kerja sama dan bahu-membahu untuk rekonsiliasi dan rehabilitasi dari bencana Covid-19 dapat terwujud.
Dari empat langkah di atas, semoga dapat menumbuhkan kembali kehidupan baru kita, meski kita harus berdamai dengan Covid-19 namun kita masih bisa bertahan dengan langkah-langkah yang ada sampai Covid-19 betul-betul berakhir. Jadikan bencana Covid ini sebagai kekuatan sadar kita, untuk introspeksi diri, menumbuhkan rasa toleran atau saling menghargai, serta meningkatkan jiwa kerja sama di antara kita, dan kedamaian abadi dapat kita raih meski serangan Covid-19 akan selalu menghantui kita. Wallahualam…
Dosen FEBI IIQ An-Nur Yogyakarta