Berdakwah itu mengajak. Kata dakwah diadopsi dari bahasa Arab, yaitu “دعوة” dari akar kata “دعا” yang bermakna seruan, dan atau berdoa. Kemudian beradaptasi dengan bahasa Indonesia menjadi dakwah. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia artinya penyiaran agama dan pengembangannya di kalangan masyarakat; seruan untuk memeluk, mempelajari, dan mengamalkan ajaran agama.
Orang yang berdakwah atau yang menjadi juru bicara untuk menyampaikan perihal keagamaan sebenarnya adalah dai. Turunan dari kata dakwah yang juga diadopsi dari bahasa Arab mempunyai makna orang yang mengajak atau yang menyeru, bahkan berdoa.
Sebenarnya, memahami arti dasar kata dakwah saja seharusnya sudah paham bahwa dari segi bahasa pun sudah ada proses transmisi dan transformasi; dialog antara dua budaya dan bahasa sekaligus—meminjam istilah Fadlou Shahedina dalam membaca penyebaran Islam di Nusantara terjadinya fenomena adopsi (to adopt) dan adaptasi (to adapt).
Proses penyebaran Islam di Nusantara terjadi dua fenomena sekaligus, yaitu fenomena mengadopsi budaya luar, sebagai penyebar Islam, kemudian terjadinya adaptasi dengan budaya internal, dalam hal ini adalah penyesuaian dengan budaya lokal yang sudah berkembang di Nusantara. Selama hal tersebut tidak menentang visi dan misi Islam.
Di kalangan sebagian masyarakat muslim, terkait konsep Fadlou Shahedina sudah jadi warisan dan dilakukan sejak turun temurun dalam berdakwah. Kemudian teori serupa itu dikenal dengan istilah; “al-muhāfadhat alā al-qadīmi al-shālihi wa al-akhdzu bi al-jadīdi al-aslah.”; mengadopsi keharmonisan budaya terdahulu, dan (berusaha) beradaptasi dengan perkembangan budaya masa kini yang lebih baik.
Dalam artikel ini penulis ingin menjelaskan bahwa yang dikehendaki dalam budaya tidak hanya tradisi aplikatif dalam masyarakat, tetapi juga budaya yang bersifat teoritis di dalamnya. Yaitu literatur keislaman dan ilmu pengetahuan yang berkembang, seperti tasawwuf, fikih, tafsir, tauhid dan bahkan sastra yang juga ikut mempengaruhi.
Prinsip dasar yang harus diketahui oleh seorang dai adalah mengetahui sosial budaya masyarakat. Di antaranya adalah agar mudah berkomunikasi dalam menyampaikan gagasan. Sebab, terkadang sesuatu yang benar tetapi tidak disampaikan dengan cara yang benar justru menjadi problem masyarakat.
Dan sebaliknya, kebatilan, hasud, ujaran kebencian, dan lain sebagainya yang disampaikan dengan struktur dan rapi, tidak sedikit lebih diterima oleh masyarakat dikarenakan mudah dicerna dan dirasa menguntungkan oleh sebagian mereka. Padahal sebetulnya adalah memecah belah. Dan fenomena seperti ini sekarang sudah terjadi di sekitar kita.
Dai Harus Menjadi Contoh
Krisis keteladanan tampak di dalam berbagai sektor. Terutama dalam aspek berbangsa kita. Para aktor politik kita kerap kali tidak menampilkan wajah sebagai tokoh yang mementingkan kepentingan umum. Pemberitaan seperti korupsi seakan menjadi santapan dan fenomena biasa dalam berpolitik.
Tidak terkecuali pada aspek sosial keagamaan kita. Keberagamaan kita kerap kali diuji dan menjadi mumuk seakan-akan agama tampak seperti apa yang mereka butuhkan. Akhirnya, agama tidak tampak sebagaimana haknya agama itu sendiri, yaitu sebagai petunjuk bagi setiap manusia yang berpikir.
Fenomena krisis suri teladan ini sudah terjadi. Dan bisa kita amati di sekeliling kita. Munculnya para dai baru misal. Sebenarnya bukan fenomena aneh, gejala tersebut muncul karena kemudahan setiap orang menyampaikan dan menyapa alam bebas dengan media digital.
Tidak ada batasan kriteria dan kalkulasi keilmuan dalam menyampaikan gagasan di media sosial. Yang ada hanyalah kebebasan berekspresi, walaupun kadang miskin gagasan. Nah, problemnya di sini. Meskipun miskin gagasan, mereka memiliki keahlian membaca algoritma media sosial, akhirnya mudah viral dan menjadi influencer.
Berbeda dengan fenomena panggung sosial di jaman Jahiliyah misalnya. Orang-orang yang bisa melantunkan syairnya di depan Kakbah adalah para ahli sastra dan bahasa. Bahkan, kadang syair itu dilombakan dan karya terbaik akan ditempelkan di Kakbah. Ini menunjukkan bahwa yang bisa menjadi juru bicara atau pembaca syair adalah orang-orang terpilih. Ada proses selektif kualitas kemampuan di sana.
Oleh karena itu, para dai sebagai penyeru kebenaran memiliki peran penting sebagai problem solving masyarakat. Tidak hanya sebatas memiliki tugas menyerukan kebenaran (agama) semata, mengajari masyarakat, mengisi pengajian atau kajian, melainkan hal yang paling penting justru menjadi contoh atau sosok representatif dari apa yang disampaikan tentang kebenaran itu sendiri.
“Jangan kau katakan semua yang kau tahu, tapi pahamilah apa yang hendak kau katakan.”
Mahasiswa Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir UIN Jogja, Member of Qur’anic Peace Study Club, dan Sekjen Forum Mahasiswa Ushuluddin se-Indonesia (FORMADINA).