DEBAT Pilpres 2024 putaran ketiga yang diikuti oleh tiga calon presiden (capres) secara umum terlihat sangat normatif dan garing. Namun, ada keseruan dari sedikit drama yaitu emosi terpancing dan saling ngegas. Para capres tampak saling menjatuhkan, lalu siapakah yang keluar sebagai most value player (MVP)?
Jika pakai terminologi sepak bola, hasil debat capres kemarin adalah ball position-nya dipegang oleh Ganjar dan Anies sebagai striker dengan tembakan-tembakan ke arah gawang. Sementara Prabowo jadi bek yang asal buang bola dan pokoknya asal jangan kebobolan gawangnya. Singkatnya, Prabowo sejak menit awal diserang capres 01 Anies dan capres 03 Ganjar.
Dalam artikel ini, kita coba bahas jawaban ketiganya dari sisi netral. Sekarang komentar tentang penguatan cyber itu termasuk visi proyeksi geopolitik 5.0 pada korelasi transformasi digital. Ini bicara strategi dunia di mana secara keseluruhan harusnya pertahanan itu memang perlu melakukan penguatan pertahanan cyber, akan tetapi kalau bicara cyber tidak bisa meninggalkan unsur lain, karena cyber itu hanya alat. Jadi, sebelum menjawab penguatan cyber, kita harus melakukan konsolidasi demokrasi ekonomi hijau, transisi energi bebas karbon, health atau kesehatan, kemudian juga Ocean Economic biru, poros maritim dunia, dan pembangunan IKN harusnya masuk dalam proyeksi geopolitik.
Namun pada kenyataannya, ketiga capres dalam debat Pilpres 2024 putaran ketiga ternyata tidak ada yang mendiskusikan masalah ini. Postur pembangunan kekuatan militer kita faktanya sekarang sangat minim “Essenial Force” dalam penguatan alutsista yang memberi dampak penangkalan tinggi.
Para capres tidak juga mendiskusikan hal tersebut. Malah ribut anggaran dan saling menjatuhkan satu sama lain. Terlihat zonk debatnya. Mereka tidak ada yang membahas Indonesia harus mengubah doktrin visi pertahanan agar bisa menghandel bukan hanya fokus pada pertahanan nasional seperti pangan dan lain sebagainya, akan tetapi bagaimana menghadapi dunia untuk menangkal serangan militer nantinya.
Selain militer, yang akan kita hadapi nanti juga perang soft power pengambilan sumber daya alam atas nama transaksi dagang. Padahal itu adalah strategi perang dari lawan kita tahu ketersediaan sumber daya alam menjadi faktor cukup riskan, karena merupakan bagian dari rantai pasok perdagangan dunia dari rantai produksi global.
Kita semestinya menjadikan kekuatan sumber daya alam menjadi faktor deteren, faktor penggentar dan alat tawar. Hal itu wilayah pertahanan yang dilakukan oleh Departemen ESDM misalnya. Namun, sepertinya mereka tidak paham, sehingga yang tampak malah pada ribut anggaran dan pesawat bekas yang benar-benar tidak substantif.
Mereka ini mau jadi capres atau mau jadi calon Menhan di tahun 2024? Mungkin penulis setuju apabila kita mengacu pada amanah Undang-Undang Dasar bahwa kita akan menjalankan yaitu melindungi segenap tumpah darah Indonesia, menjaga perdamaian dunia dan memerdekakan bangsa yang tertindas. Kalimat itu jelas mengamanahkan siapa pun yang menjadi presiden Indonesia harus membuat negara ini menjadi negara kuat atau super power. Artinya, punya kekuatan pertahanan yang benar-benar sesuai dengan perkembangan zaman, ekonominya kuat dengan menjadikan negara produsen, budayanya kuat serta mengendalikan soft power dunia dengan kuliner, film, musik dan lain sebagainya.
Seharusnya yang diharapkan dari debat adalah keluarnya cara masing-masing capres mau dibagaimanakan ketika mendapat mandat tersebut. Kalau debat ala kemarin karena yang ditarget adalah masyarakat atau penonton melalui TV dan media streaming, maka tidak sedikit yang menangkat hanya sebagai rasa. Dalam artian bahwa masyarakat umum gagal melihat esensi. Masyarakat banyak yang gagal melihat sisi intisarinya dari setiap capres. Di antara masyarakat lebih terbawa ke perasaan.
Soal terbawa ke perasaan, misalnya ada penilaian seperti “Kok Pak Anies gitu ya, kasar ya”, “Kok Pak Prabowo jadi marah ya”, “Kok Pak Ganjar menekan Pak Prabowo ya”. Komentar-komentar ini hanya bungkus atau konteks dari debat. Isi debat banyak yang tidak paham, akan tetapi bungkusnya yang mereka fokuskan juga mendapat komentar lainnya, seperti “jaketn Pak Ganjar bagus ya”, “Pak Prabowo wajahnya kayak orang capek apa lagi sakit ya”, “Dia Pak Anies kok pengen kelihat pintar sih”.
Sepertinya, memang demikian konsep acara debat Pilpres 2024 yang tidak akan mengubah pandangan masyarakat. Kalau sudah 01 ya satu. Kalau sudah 02 ya dua. Kalau sudah 03 ya tiga. Padahal seharusnya debat tersebut untuk menambah wawasan dan confidence serta membuat mereka yang suka golput ikut memilih atau bisa memutuskan dengan data. Debat kemarin faktanya tidak mengubah apa pun kecuali menambah drama dan bahan diskusi serta gunjingan saja.
Wartawan Serikat News Kabupaten Cirebon
Menyukai ini:
Suka Memuat...