Demo lagi, Demo lagi (Masyarakat Sudah Capek, Demo tidak Produktif)
Laporan Serikat News
Jumat, 29 September 2017 - 17:24 WIB
Sumber Foto: m.republika.co.id/berita/nasional/umum/17/09/29/massa-aksi-299.
Oleh: Jeannie Latumahina
Masyarakat dan media sudah bosen dengan demo yang tidak produktif.Tidak ada lagi minat dari masyarakat maupun media televisi yang menyiarkan secara langsung.Televisi lebih suka meliput langsung status awas Gunung Agung.
Namun, apapun kita harus tetap waspada,
Jangan lengah dengan demo yang tidak produktif, ( Bercermin dari kecerdasan strategi menggoreng isu hoax, demi kekuasaan dan uang).Disamping sikap waspada, kita juga harus tetap fokus pada sikap ” Menegaskan Keindonesiaan” yang anti radikalisme anti intoleransi.
Realitas kekinian menegaskan pergerakan kelompok radikalisme yang bersatu dengan kelompok opurtunis, menentang UU Ormas dan menyuarakan seakan- akan PKI masih hidup, bukan sekedar gesekan sosial – politik.
Lebih tepat saya mengatakannya mereka sangat lihai dengan propaganda strategi yang dapat membakar fanatisme kelompok tertentu. Mereka juga adalah bagian dari sampah politik yang mengotori penataan politik nasional dalam penerapan demokrasi Pancasila.Sampah politik yang dapat ditangani dengan baik merupakan solusi tetapi sampah yang tidak ditangani dengan baik karena kelengahan dan ketidak tegasan pada akhirnya akan menimbulkan bencana kebangsaan.
Sampah politik yang kotor ini harus dibersihkan, dari pada mencemarkan, ke-Indonesia-an kita .Hukum harus ditegakkan untuk melindungi konsep Ke-Indonesia-an yang dibangun diatas dasar kesadaran dan pengakuan bersama adanya ” kemajemukan bangsa sebagai modal kebangsaan untuk pembangunan yang berkelanjutan. Arti ini sekaligus merupakan makna dasar demokrasi Pancasila.
Sebetulnya penggagas dan peserta demo yang tidak produktif ini harus menyadari bahwa Ke-Indonesia-an kita sudah ditegaskan, sudah disepakati bersama oleh Founding Fathers Bangsa secara lengkap dimana Pancasila merupakan jiwa dan dasar NKRI yang majemuk.” Harga mati”. Apapun manufer dan intimidasi yang tujuannya menerapkan sebuah sistem yang mereka yakini sebagai solusi mengganti Pancasila harus kita lawan, dengan teriakan Anti radikalisme, Anti Intoleransi.
“Ke-Indonesia-an kita harus tetap ditegaskan. Satu kata, Satu perbuatan, Tegakkan Pancasila dibumi Indonesia. Lawan Radikalisme. Lawan Intoleransi. Dukung Perppu Ormas. Inilah komitmen kebangsaan kita”
Demo lagi, demo lagi. demo yang tidak produktif hari ini adalah realitas kekinian kebangsaan kita. bahwa demonstrasi dan HAM telah mendapat tempat dalam praktek kebangsaan, setelah puluhan tahun hilang. Namun pada sisi yang lain atas nama demokrasi dan HAM, kelompok radikalisme, kelompok intoleransi, bersatu padu dengan “oknum”, dan kelompok opurtunisme. Tumbuh dengan subur dan menjadi ancaman serius bagi keutuhan bangsa dan negara, tujuan mereka jelas, ingin menggantikan Pancasila, dengan sistem yang mereka percaya sebagai solusi. Oleh sebab itu pemerintah harus tegas. Satu kata, satu perbuatan, nyatakan sikap yang tegas, Jangan pernah kompromi Untuk segera bubarkan Ormas radikalisme,
Sebagai salah satu wujud komitmen kebangsaan NKRI.
Apapun tetap waspada, suarakan selalu anti radikalisme, anti intoleransi, Pancasila harga mati, dukung perppu Ormas.
Sambil terus menjaga komitmen kebangsaan yang merupakan jiwa nasionalisme KeIndonesiaan kita.
DALAM era digital yang berkembang pesat, industri ekspedisi menghadapi tantangan dan peluang yang belum pernah terjadi sebelumnya. Dengan pertumbuhan bisnis
PILKADA merupakan momentum krusial dalam sistem demokrasi Indonesia. Masyarakat memiliki kesempatan untuk memilih pemimpin lokal yang akan mempengaruhi arah dan
Oleh: Mauzun Visioner (Pegiat Literasi) PEMILIHAN Gubernur Jawa Timur sedang mencuri perhatian publik. Pasalnya, Pilgub kali ini menampilkan tiga figur
FIGUR kyai masih menarik untuk dilibatkan atau terlibat pada kontestasi pilkada 2024. Pernyataan tersebut setidaknya sesuai dengan kondisi proses pilkada
PERNYATAAN Sekretaris Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi, Prof. Tjitjik Sri Tjahjandarie tentang “pendidikan tinggi adalah tertiary education, bukan