RUU HIP (Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila) menjadi perbincangan yang cukup seksi beberapa minggu terakhir ini. Dibarengi dengan penerimaan dan penolakan tentunya. Di satu sisi menegaskan kembali sikap nasionalis, di sisi yang lain menjaga ruang-ruang agama atau simbol identitas dengan ungkapan nilai.
Berketuhanan yang berkebudayaan, tentu hal ini menyemaikan kontroversi bagi kalangan masyarakat luas, utamanya bagi kalangan agamis. Tetapi berbeda pandangan ketika berkebudayaan yang dimaksud adalah nilai-nilai atau semangat ketuhanan dalam segala ruang. Hal ini disinggung oleh Direktur Lembaga Penerbitan, Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Institut Agama Islam (IAI) Al-Qolam Malang; Ahmad Atho’ Lukman Hakim.
Dalam Talkshow-nya yang dipanelkan dengan Sayyid Syach Assegaf di mana mengusung tema “RUU HIP, dilema membumikan Pancasila” ia menyoal tentang isi naskah akademik dari RUU tersebut. Dia menilai bahwa perlu ada ketajaman dan arah yang kongkret atas RUU tersebut. Walaupun demikian, dia menilai bahwa semangat yang diusung sangat bagus.
“Kalau saya baca di naskah akademiknya memang kurang tajam, entah maunya apa? Tampaknya hanya untuk kepentingan memayungi lembaga baru, BPIP itu, akan tetapi semangatnya bagus, di mana Pancasila di era reformasi ini sungguh diabaikan, tampaknya akan dihidupkan kembali di masyarakat Indonesia,” ujar penulis buku Posisi Agama dalam Ideologi Negara itu.
Sedangkan dampak terhadap pendidikan menurut pakar pendidikan dan sosial yaitu Sayyid Syach Assegaf adalah tidak jauh beda seperti apa yang pernah dilakukan oleh pemerintahan di era orde baru; untuk menata masyarakat agar pemerintah terlihat superior. Sehingga perlu adanya evaluasi kembali terhadap kurikulum yang nantinya adalah bentuk interpretasi atas RUU tersebut.
Di samping itu, Atho’ Lukman juga menambahkan bahwa sebenarnya HIP juga perlu, karena jika klaim anti Pancasila di orde baru menjadi kata kunci ampuh untuk membungkam kritisisme. Tetapi di era yang terbuka saat ini akan sangat berbeda. Menurutnya, di samping kepentingan untuk memayungi lembaga baru, tampaknya Pemerintah dan DPR sedang gragap-gragap atau meraba-raba agar Pancasila menjadi implementatif. Salah satu upayanya adalah BPIP. “Ini adalah salah satu trobosan yang juga bisa menjadi trail eror atau boomerang ketika pancasila dibreakdown sehingga masyarakat betul-betul menjiwai di setiap sektor kehidupan,” ungkapnya.
Namun ada beberapa pertanyaan yang dikemukakan oleh Atho’ Lukman terkait HIP. Jika memang ada ketidaksesuaian dalam undang-undang Negara baik sektor pendidikan, ekonomi dan sosial, maka harus ditaubati dulu. Dalam artian harus diikrar, diakui, mana yang salah kemudian ditaubati secara nasional, lantas mana yang menunjukkan ketidaksesuaian atau yang salah itu? Mengapa lahirnya RUU HIP ini berbarengan dengan UU Minerba, Omnibuslaw, UU air? Bisa jadi nanti akan ada split, sejalan atau berbeda. “Di satu sisi muluk-muluk membahas ideologi, dan di wilayah substansi, aspek yang detail, malah pragmatis. Bisa jadi malah menjadi munafiq politik, bisa jadi lho ya, saya tidak menuduh munafik,” ungkapnya.
Dari situ bisa dilihat bahwa; Pancasila itu selayaknya perlu dihidupkan kembali setelah mati suri, tapi apakah dengan RUU? Dalam naskah akademiknya tidak dijelaskan ideologi-ideologi yang sudah mempengaruhi itu apa saja dan kebijakan-kebijakan yang terdahulu itu apakah masih baik-baik saja atau tidak? Kalau tidak, yang mana? Karena adanya RUU kok berbarengan dengan Omnibuslaw, kok berbarengan dengan UU Minerba. Sehingga muncul kecurigaan bahwa secara semangat, tidak sejalan dengan apa yang digadang-gadang oleh Sukarno. Banyak masalah pertanahan yang belum selesai, ekonomi pun begitu. Sehingga RUU ini kurang pijakan materialisasinya, dan apa sebenarnya yang perlu direspons?
Dalam hal ini Atho’ Lukman memberi gambaran bahwa, “Sebenarnya yang perlu dibangun saat ini, di era ini adalah Ideologi Pancasila yang seharusnya menjadi grand theory kemudian diturunkan menjadi midlle theory sehingga menjadi ilmu pengetahuan yang lebih operasional. Harusnya yang menjadi dominan dalam ruang-ruang pengambil kebijakan, baik pendidikan, ekonomi dan sosial seharusnya adalah pembahasan Ideologi Pancasila menjadi grand theory atau ilmu pengetahuan yang lebih operasional. Karena hal ini tidak disinggung, kecurigaan saya adalah agaknya ini hanya romantisme historis atau romantisme ideologis saja, bukan karena dari semangat yang kuat untuk menerjemahkan Pancasila kepada ruang-ruang yang lebih praksis.”
Sedang Nyantri di Bayt Al-Karim Gondanglegi dan Bayt Al-Hikmah Kepanjen Malang
Menyukai ini:
Suka Memuat...