Fenomena mbalelo atau gerakan subordinasi dari parpol pendukung pasangan Capres-Cawapres menjadi penentang itu memang kenyataannya menjadi hal yang lumrah dalam praktik demokrasi kita, meski jika ini terjadi di negara Jerman misalnya, akan dianggap sangat tabu dan para pelakunya bisa langsung diberi sanksi pemecatan dari pimpinan parpolnya. Dalam memasuki masa Pilpres 2019 ini misalnya, Partai Golkar dibawah kepemimpinan Airlangga Hartarto memberikan dukungan pada Capres Jokowi-Ma’ruf Amin, namun kader-kader Golkar di bawahnya justru mulai ada yang menyebrang dukung Capres Prabowo-Sandiaga Uno. Begitu pula sebaliknya, Partai Demokrat mendukung Prabowo tapi kader-kader Partai Demokrat seperti Gubernur Papua malah mendukung Capres Jokowi dan bertekad menjokowikan Papua.
Secara politis, Golkar memang sepertinya tidak diuntungkan dengan mendukung Jokowi, karena dengan mendukung Jokowi berarti membesarkan kader PDIP dan menenggelamkan popularitas dan elektabilitas Golkar sendiri. Dalam berbagai survei partai-partai yang akan diuntungkan dalam Pilpres 2019 ini hanyalah PDIP dan Gerindra, serta partai-partai politik baru yang didalamnya masih kosong figur politisi populernya namun parpol mereka bisa cepat melesat terkenal berkat dukungannya pada sosok Capres yang populer dan mempunyai banyak pendukung. Dari sinilah nama parpol baru mereka turut terdongkrak.
PDIP dan Gerindra sangat diuntungkan oleh adanya pertarungan dua figur Capres yang muncul dari kedua parpol tersebut., karena hanya dua partai ini yang mengusung kadernya sebagai Capres. PDIP kemudian berhasil mengidentikkan dirinya sebagai partai Pemerintah sedangkan Gerindra berhasil mengidentikkan dirinya sebagai partai oposisi. Masyarakat calon pemilih seolah tanpa sadar digiring hanya memperhatikan eksistensi kedua parpol tersebut. Disinilah mengapa pada akhirnya telah muncul fenomena baru gerakan subordinasi parpol pendukung menjadi parpol penentang yang terjadi pada dua kubu pasangan Capres-Cawapres.
Fenomena terbaru gerakan subordinasi yang dilakukan oleh segelintir politisi Golkar yang menyebrang ke pihak sebrang (Pasangan Capres Prabowo-Sandi), bagi saya tak terlepas dari masalah pragmatisme politik. Kita ketahui meski dalam laporan di KPU sumbangan untuk kampanye pasangan Capres Jokowi lebih besar daripada pasangan Capres Prabowo, tetapi defakto dana sumbangan kampanye untuk Prabowo akan jauh lebih besar dari Jokowi. Hal ini bisa terjadi karena banyak politisi korup dan pengusaha hitam yang selama ini tidak bisa bernafas di era kepemimpinan Jokowi akan menyalurkan dendam kesumatnya ke pihak lawan politik Jokowi, dengan banyak memberikan bantuan dananya untuk diberikan pada pasangan Capres-Cawapres Prabowo-Sandi. Tak terkecuali negara-negara barat (Amerika dan Eropa) yang selama ini kalah bersaing dengan raksasa ekonomi dunia baru, yakni Cina dalam perebutan tender-tender proyek infrastruktur dan lain-lainnya di Indonesia.
Dari berbagai alasan yang penulis sebutkan di atas maka akan banyak sekali politisi oportunis yang akan bergabung dengan Capres-Cawapres Prabowo-Sandiaga Uno. Mereka akan mati-matian berusaha memenangkan Capres yang didukungnya agar dapat kembali bernafas lega dan bisa melanjutkan aksi-aksi korupnya. Mereka akan tanpa tedeng aling-aling lagi untuk menunjukkan dukungannya, karena bagi mereka menjarah uang negara adalah tujuan utamanya. Tengoklah misalnya, orang yang sudah jelas-jelas menjadi mantan narapidana korupsi tidak malu-malunya tetap berambisi untuk menjadi Wakil Gubenur DKI Jakarta. Anak Bangsa macam apakah kita, jika kita tidak berani secara militan “menginterupsi” brutalitas aksi politik mereka dengan jalan tidak memilih pasangan Capres-Cawapres yang diusungnya? Inilah dadaku, mana dadamu?!.
Profesi: Advokat KAI (Kongres Advokat Indonesia). dan Penulis, Serta Pemerhati Politik