Gaung pesta politik 2019 sudah terdengar bahkan sejak awal periode pemerintahan 2014-2019. Hal ini terjadi karena beberapa penyebab; mulai dari peredaran tabloid hoax “Obor Rakyat” sampai penyebaran fitnah yang masif dan terstruktur sepanjang empat tahun belakangan. Masyarakat Indonesia terpolarisasi menjadi dua kubu yang masing-masing saling berusaha memenangkan kandidat mereka untuk Pemilihan Presiden tahun 2019.
Sayangnya dari perspektif analisis akademis, saya melihat suatu pola berulang yang mirip dengan propaganda, yang sekarang lebih dikenal sebagai Firehose of Falsehood. Firehose of Falsehood (FoF) adalah suatu strategi kampanye yang mungkin merupakan pengembangan dari strategi propaganda Goebbels: “If you repeat a lie often enough, people will believe it, and you will even come to believe it yourself” (Jika anda mengulang kebohongan terus menerus, orang-orang akan percaya, dan bahkan anda juga akan mempercayainya).
FoF sendiri juga memiliki pola pengulangan kebohongan yang terus menerus tanpa tanggung jawab moral kepada masyarakat. Kebohongan tersebut bisa digabungkan dengan kebohongan lain, sampai kemudian salah satunya, atau keseluruhannya terlekat di dalam pikiran masyarakat sebagai suatu kebenaran. Di Indonesia, pola perilaku seperti ini seringkali disertai dengan “peran menjadi korban” (playing victim), baik untuk mengelabui masyarakat maupun untuk menutupi kebohongan dengan kebohongan yang lain.
Meskipun kelompok kubu oposisi pemerintah menampik bahwa mereka tidak menggunakan penasihat politik Trump maupun strategi FoF-nya, tindak tanduk kelompok ini menunjukkan yang sebaliknya. Sejak sebelum kekalahan oposisi pada 2014, fitnah demi fitnah dan kebohongan demi kebohongan dilancarkan untuk memprovokasi masyarakat melakukan tindakan anarki terhadap pemerintah. Contohnya saja tentang isu PKI dan pelbagai isu “kegagalan pemerintah” yang disebarkan terus menerus melalui jaringan media sosial.
Untuk memperjelas bahayanya, kita tentunya harus mengetahui bagaimana cara kerja FoF dalam otak manusia. FoF bisa masuk ke dalam otak manusia karena kita membiarkan ketakutan dan emosi menguasai diri sehingga mematikan kerja akal rasional yang berguna untuk menangkal kebohongan. Walaupun demikian, kita tidak membiarkan keberadaan ketakutan dan emosi yang berlebihan ini secara sadar, karena saat terprovokasi memang ada bagian otak yang terpicu secara tidak sadar.
Bagian otak ini mudah terprovokasi dengan kata-kata kunci yang membuat alam bawah sadar kita mengirimkan tanda bahaya sehingga kita harus segera menyelamatkan diri. Contoh kata “PKI/Komunisme Bangkit” akan membuat setiap orang Indonesia berusaha untuk tidak berpikir apa-apa lagi, termasuk berpikir kritis tentang kemajuan bangsa. Mengapa demikian? Terima kasih terhadap Orde Baru yang sudah menyimpangkan sejarah dan menjadikan genosida, yang memakan korban tiga juta jiwa rakyat Indonesia, sebagai peringatan tentang kepahlawanan Soeharto.
Komunisme adalah “momok” dalam pikiran manusia Indonesia; idealisme tentang kesetaraan yang timbul karena kesenjangan antara tuan tanah dengan petani, atau pemilik modal dan buruh, disalahartikan sedemikian rupa oleh masyarakat hanya karena stigma “pembunuh/ateis” ataupun prosesi pembinasaan masyarakat yang dituduh terkait dengan partai tersebut.
Sejak saat pembantaian yang terjadi di kurun waktu 1966-1967 tersebut, masyarakat bahkan takut berujar tentang PKI, membicarakan idealisme kesetaraan, atau bahkan mempertanyakan kebijakan Orde Baru. Pada saat pemerintahan Soeharto, mempertanyakan tentang apapun berarti “PKI“, atau bila masih membangkang maka akan hilang, baik hilang nyawa ataupun hilang entah kemana.
Di era digitalisasi sekarang, 50 tahun setelah peristiwa nahas tersebut, alangkah anehnya bila ada orang-orang yang masih mudah diperdaya oleh isu PKI. Aneh, tapi cukup masuk akal, mengingat kata kunci “PKI” telah mengaktifkan “moda pertahanan” masyarakat agar tidak tertimpa bencana nahas seperti 1965 tersebut. Tetapi, mau sampai kapan pola pembodohan dan kebohongan seperti ini terus dilakukan? Itu baru satu isu “PKI”; belum lagi berentet isu kegagalan pemerintah yang digembar-gemborkan seolah-olah bila kemudian bila pemerintah diganti maka semua masalah selesai.
Apa memang iya seluruh permasalahan bisa selesai seperti yang dijanjikan, meski belum pernah ada bukti nyata?
Oleh karenanya, sebagai masyarakat yang cerdas kita harus mampu menangkal isu-isu hoax yang menjadi senjata FoF, propaganda dan stigma negatif dengan cara menekan ketakutan dan emosi kita lalu mengedepankan akal sehat. Selalu skeptis terhadap setiap isu-isu dan pertanyakan secara kritis, “apa benar demikian?”. Bertanya pada masa sekarang merupakan kebebasan yang sangat hakiki; tidak ada ancaman kematian dan pengasingan bila kita hendak memperjuangkan keberadaan informasi yang benar dan valid.
Jangan sampai kita memilih tunduk pada isu-isu yang ketakutan, lalu hidup dalam kenyamanan semu seperti ketika zaman Orde Baru. Ketika sekelompok orang berteriak nyaring berusaha meyakinkan bahwa mereka bisa menjadi pahlawan, tolong lihat bagaimana latar belakangnya secara komprehensif. Kita tidak mau dikelabui oleh janji-janji surgawi lalu ternyata malah neraka yang didapat; seperti yang terjadi pada Irak dan Suriah ketika dijajah ISIS, atau yang sejenis itu.