BEBERAPA waktu lalu, saya menonton ulang film Wall Street (1987) karya Oliver Stone. Film ini memperkenalkan tokoh ikonik Gordon Gekko, sang investor dingin dan manipulatif yang terkenal dengan kalimat legendaris: “Greed, for lack of a better word, is good” (Keserakahan, karena tidak ada kata yang lebih tepat, adalah hal yang baik).
Kalimat itu bukan sekadar kutipan film. Ia berubah menjadi semacam ideologi, membenarkan keserakahan sebagai kekuatan pendorong kemajuan. Dan yang menakutkan: ia masih relevan hari ini, termasuk di Indonesia.
Pertumbuhan dan Ketimpangan
Kita hidup di zaman ketika ekonomi dianggap berhasil jika tumbuh. Angka pertumbuhan menjadi mantra, investasi asing menjadi tujuan utama, dan pembangunan fisik jadi ukuran keberhasilan. Tapi di balik semua itu, kita jarang bertanya: pertumbuhan untuk siapa?
Seperti Gekko yang memutar nilai-nilai menjadi alat untuk mencari untung, kita pun menyaksikan bagaimana ekonomi hari ini sering melupakan keadilan. Ketimpangan kekayaan terus melebar. Skandal proyek bermunculan. Korupsi masih akrab, bahkan dalam proyek yang katanya untuk rakyat.
Data Badan Pusat Statistik (2023) mencatat koefisien Gini Indonesia stagnan di angka 0,388, tanda bahwa ketimpangan pengeluaran masih signifikan. Sementara Oxfam menyebut, 4 orang terkaya di Indonesia memiliki kekayaan setara dengan 100 juta penduduk termiskin. Ini bukan angka, ini alarm etika.
Generasi Bud Fox dan Bayang-bayang Sistem
Film Wall Street juga menampilkan tokoh Bud Fox, anak muda idealis yang tergoda untuk naik kelas sosial lewat jalan pintas. Ia adalah simbol banyak orang yang ingin “berhasil”, tapi akhirnya ikut dalam sistem yang korup. Realitas di Indonesia pun tidak jauh berbeda: banyak anak muda cerdas dan jujur, tetapi terseret ke dalam sistem yang menghargai koneksi di atas kompetensi, loyalitas di atas integritas.
Di era bonus demografi seperti sekarang, anak muda mestinya menjadi motor perubahan. Tapi sistem yang korup dan oportunistik justru membuat banyak dari mereka kehilangan arah atau tergoda ikut bermain dalam aturan yang mereka tahu tak adil. Ini kerugian besar bagi masa depan bangsa.
Kita tidak kekurangan orang pintar. Kita kekurangan sistem yang menghargai kejujuran.
Kapitalisme yang Memanusiakan
Indonesia sering bangga dengan pertumbuhan ekonomi di atas 5%. Tapi kita tahu, angka tidak bicara tentang air mata atau kesenjangan. Pembangunan tanpa pemerataan hanya akan membesarkan kota, tapi meninggalkan desa. Menyejahterakan elite, tapi mempersempit ruang hidup rakyat.
Kita tak sedang menyerukan anti-kapitalisme. Tapi kita sedang memanggil akal sehat. Seperti kata tokoh Jean Valjean dalam Les Misérables, “It is nothing to die; it is frightful not to live” (Mati itu tidak apa-apa; yang mengerikan adalah jika hidup tak sungguh-sungguh dijalani). Dalam sistem yang terlalu menekan, orang hidup seperti berjalan tanpa jiwa. Dan ekonomi bukan untuk itu.
Kapitalisme dewasa ini kelewat batas, terlampau serakah. Kita butuh kapitalisme yang punya wajah: wajah yang tahu batas, wajah yang tahu malu, wajah yang tahu berbagi. Kita masih bertanya apa itu mungkin? Tapi yang pasti, ekonomi harus dikembalikan sebagai ruang penghidupan bersama, bukan ladang perburuan.
Gekko memang tokoh fiksi. Tapi nilai-nilai yang ia wakili hidup dalam dunia nyata: dalam kebijakan, dalam cara kita berbisnis, bahkan dalam gaya hidup sehari-hari. Jika kita membiarkannya terus mendominasi, kita akan menjadi penonton dari kerusakan yang kita biarkan tumbuh.
Wall Street memberi ruang untuk refleksi, bahwa kita bisa memilih. Kita bisa melawan keserakahan bukan dengan amarah, tapi dengan keberanian berpikir ulang; tentang bagaimana kita ingin hidup, dan negeri seperti apa yang ingin kita wariskan.
Greed bukan takdir. Ia bisa dikendalikan. Dan dari kesadaran itu, ekonomi yang adil dan beradab bisa dimulai.
Wakil Ketua Komisi XI DPR RI; Menteri Ketenagakerjaan RI 2014-2019; Wakil Ketua Umum DPP PKB.
Menyukai ini:
Suka Memuat...