“Menurut quick count, PSI mendapat 2 persen (sekitar 3 juta suara). Dengan perolehan itu, PSI tidak akan berada di Senayan lima tahun ke depan,” kata Grace. Dia mengaku PSI telah berjuang dan untuk itu dan Grace mengucapkan terima kasih.
Grace Natalie telah menunjukkan kelasnya sebagai seorang tokoh muda yang sportif dan legawa. Ini yang tidak dimiliki oleh sebagian besar pemimpin partai yang keok berdasarkan hitung cepat Pemilu 2019. Grace Natalie menyadari bahwa sistem perhitungan dengan basis random sampling merupakan perkembangan statistika modern yang merupakan keniscayaan dalam era teknologi informasi saat ini.
Kesadaran yang tinggi akan perkembangan teknologi dari seorang Ketua Umum Partai seperti yang dilakukan Grace Natalie merupakan panutan dan pembelajaran yang sangat baik untuk para pendukung dan anggota partai politik. Dan kesadaran yang luar biasa indah ini rupanya sama sekali tidak dimiliki oleh seorang Prabowo Subianto. Dan apa yang dilakukan oleh Prabowo adalah contoh buruk bagi pengikutnya dan masyarakat Indonesia.
Mengapa PSI bisa terpuruk?
Pada saat kemunculannya pada tahun 2015-2016, sebenarnya PSI sudah mencuri perhatian publik Indonesia termasuk saya. Sebuah partai baru yang mengangkat platform solidaritas, pluralisme beragama, suku dan budaya adalah pilihan yang sangat sexy pada saat kondisi keberagaman nasional yang sedang terancam oleh gerakan ideologi pro khilafah.
Dengan partai yang digawangi oleh para generasi muda yang begitu fresh dan semangat tinggi, PSI benar-benar merupakan alternatif pilihan yang sangat diperhitungkan. Apalagi dengan ikon partai seorang Grace Natalie, mantan presenter TV yang cantik jelita, PSI benar-benar telah menjadi magnet perhatian publik.
Namun dalam perjalanannya, saya melihat pimpinan PSI khususnya Grace Natalie kurang menampilkan sosok pemimpin partai yang rendah hati dan santun dalam beretika politik. PSI melalui Ketua Umumnya mulai gegabah nyelonong ke dalam ranah masalah yang sangat sensitif seperti isu Perda syariah dan poligami.
Secara materi saya pribadi “setuju” dengan sikap politik Grace Natalie dan kawan-kawan. Namun menurut saya gaya narasi yang disampaikan oleh Grace Natalie terlalu vulgar, konfrontatif dan “over confident“. Sehingga akhirnya menimbulkan resistensi yang cukup kuat di masyarakat. Grace dianggap masuk pada wilayah akidah keagamaan yang tidak diimaninya dengan cara yang kurang elok.
Puncaknya adalah pada 11 Maret 2019 di Medan. Dalam pidato politiknya Grace Natalie bagai dewi mabuk yang menyerang kesana kemari, bahkan secara frontal dia menusuk dan mempermalukan kawan seiring dalam partai koalisi pendukung Jokowi-MA. Akibatnya para elite politik yang diserang bereaksi keras dan juga muncul beberapa narasi viral yang memojokkan PSI. Maka hukum tabur tuai terjadilah.
Di kalangan masyarakat kelas generasi senior, gaya narasi Grace Natalie juga dianggap kurang beretika. Sehingga melahirkan tolakan dan resistensi yang cukup masif. Secara umum anggapan yang muncul terhadap PSI dan Grace Natalie adalah dianggap telah menampilkan gaya berpolitik yang terlalu kasar, kurang beretika dan “selfish“. Saya pun setuju dengan anggapan tersebut. Dan lucunya beberapa generasi milineal yang saya temui juga punya persepsi yang sama.
Menurut saya, di samping tidak menampilkan gaya berpolitik yang kurang santun, isu yang diangkat PSI juga kurang ‘touching‘ dengan passion generasi milenial Indonesia saat ini. Generasi muda saat ini meskipun juga tidak mendukung perda-perda yang berbau syariah dan poligami namun hal itu tidak menjadi prioritas pemikiran mereka saat ini.
Menurut saya, seharusnya PSI total menunggangi gaya dan isu kampanye yang disuarakan oleh Jokowi. Di mana Jokowi dalam setiap kampanyenya selalu mengangkat isu yang menjadi passion generasi muda saat ini seperti digitalisasi sistem informasi bisnis dan lain-lain yang membuat Jokowi sangat tampak kekinian dan menampilkan optimisme masa depan Indonesia.
Tapi sudahlah, nasi sudah jadi bubur. Saya berharap Grace Natalie dan kawan-kawan bisa meramu bubur itu menjadi bubur ayam yang lezat dan bermanfaat. Mudah-mudahan ke depan PSI lebih fokus mengaktualisasikan diri dengan isu-isu strategis yang menjadi passion “captive market-nya” yaitu generasi muda Indonesia.
Saran saya untuk pimpinan PSI. Tampillah dengan penuh semangat dan optimisme tapi tetaplah rendah hati. Perbaiki gaya narasi yang terlalu “merasa paling hebat” menjadi narasi yang sejuk dan santun.
PSI telah kehilangan momentum emas bersama Jokowi, namun semoga hal ini menjadi pembelajaran yang baik untuk seluruh pimpinan dan anggota PSI.
Sampai berjumpa lagi di Pemilu 2024 ya nak!!!
Menyukai ini:
Suka Memuat...