Sebagaimana kodratinya hubungan antara lelaki dan perempuan adalah mitra yang sejajar. Dalam keluarga sebagai suami istri ada kemitraan. Ada pula kemitraan sebagai rekan di kantor, sekolah, pabrik, organisasi kemasyarakatan, parpol, parlamen, kementrian dan lainnya. Apa pun konteks kemitraannya, lelaki dan perempuan biasanya untuk saling melengkapi. Namanya hubungan kemitraan tentu tidak gampang. Apalagi dalam hal bekerja sama. Menjadi lebih rumit lagi apabila kebijakan, peraturan, atau perundang-undangan juga belum mencerminkan pola kemitraan yang sejajar antara lelaki dan perempuan.
Salah satu contoh di bidang politik dan kebijakan. Untuk kondisi saat ini di Indonesia, apalagi menjelang tahun 2018, yang merupakan agenda tahun politik, banyak kalangan mengkhawatirkan tentang UU pemilu yang mengurangi jumlah keterwakilan perempuan. Sebab bagaimana mungkin suara dan hak perempuan bisa didengar jika tidak ada keterwakilan memadai ???
Keterwakilan perempuan dalam pemilu 2009 dan 2014, jumlahnya masih stagnan sebesar 18 persen saja. Apakah persentasi keterwakilan perempuan di DPR dan DPRD akan dapat meningkat pada tahun 2019 nanti ? sangat perlu dipertanyakan adanya.
Sebab perubahan dalam UU pemilu yang baru, sudah jelas dapat mempengaruhi naik turunnya persentase keterwakilan perempuan. Ditambah lagi dengan peforma, citra serta kepercayaan masyarakat kepada politisi saat ini berada pada titik nadir terendah. Sehingga persaingan pun menjadi semakin sulit dan berat bagi perempuan ditengah gempuran suara terbanyak, belum lagi menyentuh kepada biaya kampanye yang mahal.
Angka 18 persen terbilang masih jauh untuk mencapai target 30 persen keterwakilan perempuan di parlemen yang sudah merupakan komitmen parpol – parpol dalam perebutan kursi 2019 mendatang.
Dengan demikian dari contoh tersebut , kita semakin memahami bahwa banyak produk UU harus dirubah dan direvisi karena belum memperlihatkan aspek keadilan gender.
Contohnya saja pada UU perkawinan. Batas usia anak perempuan di perbolehkan menikah adalah 16 tahun. Tentu akibatnya berdampak pada masalah pendidikan perempuan. Perempuan menempuh pendidikan hingga tingkat SLTA dikarenakan batas umur pernikahan tersebut. Lebih jauh lagi pada pasal 7 ayat (2) tentang dimungkinkan adanya dispensasi umur. Terkadang disalah gunakan mengakali UU ini, oleh orang tua yang akan menikahkan anaknya pada usia 13 atau 14 tahun dibawah umur.
Kenyataan keseharian juga memperlihatkan terjadinya banyak kekerasan struktural terhadap perempuan yang lamban laun dianggap sebagai hal yang biasa dan lumrah. Perempuan yang bekerja sebagai pemulung dan sebagainya yang mengalami kesulitan dalam bertahan hidup karena tuntutan ekonomi. Banyak terjadi di perkotaan baik itu untuk penduduk tetap maupun buruh musiman semestinya ada kebijakan, peraturan, Undang- undang yang berpihak terhadap mereka dengan mencanangkan program kesejahteraan warga kota.
Dengan keterbatasan suara perempuan di parlemen pasti berdampak terhadap hasil putusan kebijakan seperti pada ketenaga kerjaan antara hubungannya dengan hak-hak kelayakan hidup buruh perempuan.
Perbaikan pada kebijakan sangat perlu ditindaklanjuti pada akar persoalan dan penyelesaian dari minimnya keterlibatan perempuan dalam organisasi dan pembangunan. Walaupun kenyataan membuktikan bahwa kebijakan pemerintah sekarang dengan adanya banyak menteri perempuan sudah cukup baik, namun ini saja masih terkendala oleh berbagai kekurangan.
Demikian juga dari budaya yang hidup dalam masyarakat belum sepenuhnya berpihak kepada perempuan, sehubungan dengan pemikiran yang berkembang bahwa untuk apa perempuan sekolah tinggi kalau akhirnya hanya kembali ke dapur. Budaya masyarakat adalah dasar dari kehidupan bermasyarakat. Bagaimana bentuk sistem bermasyarakat, maupun sistem pemerintahan merupakan cerminan pada budaya yang berlaku. Kebudayaan dalam masyarakat dan Sistem Pemerintahan ibarat dua sisi dari satu mata uang yang tidak dapat dipisahkan. Semakin berbudaya sebuah bangsa, semakin bagus juga sistem pemerintahan yang berjalan.
Demikian juga dalam aturan agama pun terdapat pemelintiran sehingga terjadi pengurangan hak terhadap peran perempuan. Sebagai contohnya ada sementara kelompok dalam politik praktis menggunakan seakan ajaran agama tegas melarang perempuan tidak boleh menjadi seorang pemimpin, contoh naifnya saat terjadi pro-kontra ketika ibu Megawati akan menjadi presiden dalam perolehan suara. Terdapat ketidakadilan dalam pemahaman, dengan membawa unsur agama.
Akar masalah yaitu budaya yang hidup dalam masyarakat harus terus menerus diperbaiki karena dapat menjadi hambatan dalam aktualisasi peran serta perempuan dalam organisasi, pembangunan, maupun pengambil kebijakan.
Aturan-aturan yang mengharamkan kesertaan peran perempuan lebih jauh dalam organisasi, pembangunan maupun kebijakan, harus mengalami perubahan sehingga peran perempuan akan berangsur menjadi lebih baik dikemudian hari.
Saat ini UU di Indonesia sebenarnya sudah banyak mengalami perbaikan. Contohnya peran perempuan 30 persen dalam legislatif. Walaupun pada kenyataannya memang perlu perjuangan sangat keras akibat dari minimnya sumber daya perempuan untuk memenuhi keterwakilan jumlah 30 persen tersebut.
Diperlukan perjuangan pada sisi budaya atau sikap hidup dalam masyarakat untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas peran serta perempuan Indonesia di dalam organisasi maupun pembangunan. Sehingga tersedia banyak perempuan-perempuan hebat seperti yang dicontohkan oleh ibu Megawati, ibu Sukmawati, ibu Susi dan perempuan pejuang lainnya. Mereka inilah adalah pejuang perempuan dan ibu dalam bernegara dan berbangsa.
Disisi yang lain perjuangan untuk perempuan semakin menjadi tidak mudah, karena pada satu sisi malah ada pergerakan, yaitu gerakan radikal yang sangat menekan peran serta perempuan dengan berlindung pada kedok agama yang sebenarnya untuk meraih kekuasaan semata.
Maka perjuangan untuk meningkatkan budaya sikap hidup masyarakat harus terus menerus semakin hari diperkuat, dipertajam, untuk selalu berpihak terhadap peran perempuan dalam organisasi dan pembangunan.
Tentu saja harus bermula dari sektor pendidikan, perjuangan budaya tersebut dilakukan. Mulai dari lingkungan yang terkecil, keluarga hingga dunia pendidikan. Sebab adanya kungkungan budaya yang membuat minimnya peran perempuan di segala lini kehidupan berbangsa dan bernegara.
Perlu keberpihakan sebagai salah satu contoh menopang serta menerapkan secara konsekwen menerapkan UU 30 persen mengenai kehadiran perempuan di parlamen.
Demikian juga mencermati masih lemahnya perlindungan terhadap tenaga kerja perempuan baik di dalam maupun diluar negeri. Dinegara-negara maju, saat istri melahirkan, suami juga mendapatkan cuti. Sehingga dengan demikian, ada peran suami diharapkan turut serta dalam proses kelahiran hingga kehidupan anak nantinya tidak melulu harus perempuan sendiri.
Sejalan dengan asas demokrasi. (demos: warga, rakyat; kratos: wewenang, kekuasaan). Asas demokrasi sebenarnya sederhana sekali. Yaitu keputusan dibuat bukan hanya oleh sepihak saja, melainkan juga secara bersama dalam kesetaraan baik laki-laki maupun perempuan.
Tetapi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, begitu banyak kericuhan terjadi di sekitar asas yang sederhana ini. Kericuhan terjadi karena keputusan dibuat sepihak sehingga tidak diterima oleh pihak yang lain. Keterlibatan yang seimbang antara perempuan dan laki- laki akan mengakomodir asas demokrasi. Baik laki- laki maupun perempuan, harus mau dan rela menjadi pemimpin yang berbagi, menghargai demi kepentingan bersama. Dalam komunitas demokratis, baik laki maupun perempuan dimampukan untuk berpartisipasi dan berkontribusi.
Hidup dalam negara akan menjadi bermutu dan bermakna kalau baik lelaki maupun perempuan saling menghargai, dan saling mengikutsertakan. Yang memimpin mau memahami aspirasi yang dipimpin. Yang dipimpin mau turut berperan serta.
Pro terhadap perempuan Indonesia berarti turut membuat keputusan, UU, kebijakan, dan menentukan arah kebijakan aspek-aspek terhadap perempuan Indonesia, turut menentukan arah kebijakan aspek- aspek hidup perempuan Indonesia dan turut serta bertanggung jawab dalam pelaksanaannya.
Untuk itu diperlukan sikap budaya yang berpihak, UU yang berpihak, pendidikan yang mendukung, sikap semua laki- laki yang berjiwa besar menuju persamaan gender, yang tidak takut untuk berbagi kekuasaan. Demokrasi bukan hanya asas, melainkan sikap hidup yang menghargai dan memberi tempat bagi perempuan- perempuan Indonesia baik di dalam organisasi maupun pembangunan.
Menyukai ini:
Suka Memuat...