Di Nusa Tenggara Timur, minoritas Muslim sebenarnya adalah kelompok yang sangat beruntung. Dimana semuanya hidup harmonis, Muslim dengan Protestan dan Katolik. Tidak ada ruang untuk prasangka atau intoleransi.
Tidak ada yang diuntungkan saat pecahnya konflik antar kelompok agama pada bulan November 1998. Menang menjadi Arang, dan kalah menjadi abu, dalam pribahasa Indonesia.
Semangat keharmonisan di negara kita sangat kuat, dan ini tidak berarti bahwa badan yang kuat tidak akan mengalami pukulan yang menyakitkan dan terkadang berdarah, namun baru-baru ini di Indonesia terjadi penyebaran kebencian dan kekerasan yang sesungguhnya bukanlah budaya kita, budaya kita adalah budaya cinta damai. Banyak yang tidak mengetahui di saat kelompok radikal sibuk memerangi politik dalam pemilihan Gubernur DKI Jakarta kemarin, bahwa masyarakat adat Nataya dan umat Katolik di desa Aeramo di kabupaten Nagekeo, Nusa Tenggara Timur juga sibuk membantu komunitas Muslim setempat membangun sebuah masjid.
Ini bukan disparitas budaya di Indonesia, tapi keretakan konstruksi pada tubuh Indonesia serta budaya Melayu yang terkenal damai.
Bagi minoritas Muslim di Nusa Tenggara Timur, apa yang terjadi di desa Aeramo tidaklah kebetulan. Itu adalah bagian dari proses umat melayu bersejarah, lebih dari 200 tahun yang lalu, ketika masjid tua di desa Aeramo menjadi tempat ibadah orang Islam pertama di Kupang. Dimana dibangun oleh pelaut Muslim dari Flores Timur dan komunitas Kristen di desa tersebut.
Tidak mengherankan bila ketika terjadi konflik agama di Kupang pada bulan November 1998 bahwa ada puluhan masjid dibakar, tapi masjid tua itu hanya satu dari tiga masjid yang tidak tersentuh. Penduduk Aeramo tahu bahwa masjid itu dibangun dengan keringat dan air mata dari umat Islam dan non-Muslim. Tapi tidak hanya umat Islam yang mendapat manfaat dari toleransi di Nusa Tenggara Timur. Tapi juga non-Muslim juga. Izinkan saya membawa Anda ke Ilawe, sebuah sudut kecil wilayah Alor, di mana Anda akan menemukan sebuah gereja bernama GKPB Mata Jemaat Ismail, yang dikenal sebagai Gereja Ismail, yang dibangun pada tahun 1949.
Sebetulnya tidak biasa bagi gereja untuk menggunakan nama Ismael.
Namun menurut ketua desa Ahmad Karim Alen dan pastor gereja Mesak Lobanbil, dia diberi nama seorang pria Muslim yang membantu untuk mendirikan sebuah rumah ibadah Kristen itu.
Baca Juga: Mengapa kita Menolak Teori Konspirasi?
Pihak berwenang setempat pada awalnya menolak untuk mengeluarkan izin untuk membangun gereja tersebut, karena hanya ada empat keluarga Kristen di desa tersebut. Tapi kemudian banyak umat Islam mengajukan diri dan daftar dalam surat permohonan itu untuk menambahkan nama, sehingga semua persyaratan dapat dipenuhi.
Tidak cukup bagi saya untuk menyebutkan jutaan contoh toleransi di tanah air kita yang luas.
Budaya toleransi akan tetap menjadi tubuh Indonesia yang kuat, dan insiden rasisme dan kebencian religius yang kecil akan kami musnahkan.
Menyukai ini:
Suka Memuat...