“Masih ada alternatif lain dalam memberangus paham dan aksi terorisme.”
Masih segar ingatan kita, atas kejadian menara kembar World Trade Center di New York hancur lantaran ditabrak pesawat terbang pada tahun 1 September 2001. Selain itu kapal yang lain ditabrakkan di Pentagon dan Markas Besar Tentara AS, di Washington pada tahun yang sama. Betapa kekalutan tersebut menjadi momok menakutkan. Terlepas penggiringan opini menyangkut-pautkan atas tragedi tersebut dengan konspirasi politik internal, kini, seluruh warga Amerika Serikat dapat menghirup udara segar, sejak dikabarkan oleh Presiden Obama atas tewasnya Osama Bin Laden yang digempur oleh sekumpulan Militan AS, di salah satu kediamannya di Kampung Pakistan.
Sejak beredarnya kabar tersebut, kegembiraan tercipta dan terbalaskan, karena 10 tahun lamanya Osama menjadi incaran pihak keamanan AS lantaran sulit terdeteksi lewat teknologi satelit. Akan tetapi, semua suka-cita tidak selalu menjadi ending terakhir atas terbunuhnya pimpinan Al-Qaedah beserta anaknya tersebut. Hal ini sesuai ungkapan Obama yang mengatakan “Kematian Bin Laden menandai pencapaian yang sangat signifikan pada saat ini dalam upaya bangsa kita untuk mengalahkan Al-Qaeda. Kematiannya tidak akan menandai akhir dari upaya kita” (Kompas, 02/05/2011).
Pemerintah di pelbagai negara seharusnya memberikan tindakan preventif agar reaksi pembalasan jaringan teroris Al-Qaedah tidak terjadi. Kalau tidak, tunggulah aksinya.
Konteks Indonesia
Pasca terbunuhnya gembong teroris Nor Din dan DR. Azhari di Malang, Ibrohim di Temanggung dan Dulmatin di Pamulang, demikian pula terpidana Mati Mukhlas, Amrozi Cs dan Imam Samudra, tentunya tak membuat oknum teroris ciut dalam menggencarkan aksinya pada momen-momen penting. Kendatipun aksi teror akan berkelanjutan.
Setelah kejadian penyerangan di Banten, kekerasan atas golongan minoritas (Ahmadiyah), hingga sebuah paket bom buku yang meledak di KBR dan kantor Sekretaris Utan Kayu, ditujukan kepada Ulil Abshar, hingga menyebabkan tiga orang polisi terluka parah, salah satunya yang menimpa Kompol Dody Rachmawan selaku Kasat Reskrim Polres Jakarta Timur. Teror itu pun menjadi hantu di pelbagai tempat, membuat persoalan tak usai disimak. Tak berhenti di situ, teror bom bunuh diri pun meledak di Masjid yang berdekatan dengan Mapolresta Ciberon, Jawa Barat (15/04/2011). Hal tersebut akibat ulah M. Sarif yang diduga melakukan aksi bunuh diri, hingga mengakibatkan jatuhnya korban yang mengalami luka ringan dan berat.
Namun demikian, pertanyaannya kemudian, apakah isu kasus hukum yang membelit negeri ini sengaja dikaburkan oleh oknum-oknum tertentu, agar kasus teroris, menjadi fokus media hingga sekarang atau teroris memang menjadi ancaman serius terhadap keamanan Negara Republik Indonesia?
Jihad Tak Harus Jadi Teroris
Berkenaan dengan adanya serangkaian teror di penjuru negeri, khususnya di Indonesia, kita patut bertanya, apa yang mendasari mereka (pelaku teror) menebar rasa takut kepada publik? Saya pribadi justru tidak pernah bersepakat dengan mazhab pelaku teroris. Nyata-nyatanya pendoktrinan ala teroris yang mengatasnamakan mujahid di Jalan Allah, sebagai puncak dalam meraih rida dan pahala disisi-Nya, sangatlah absurd; it is impossible. Bahkan, sangat gampang menginterpretasikan amal yang dilakukannya sebagai jalan kebenaran.
Pelaku teroris tidak hanya membuat keonaran yang berupa hantaman fisik (physical blow), kegalauan, ketakutan. Pengrekrutan anggota teroris bukan tidak mungkin berlanjut hingga saat ini. Sebab iming-iming jihad fi sabillah menjadi jalan kebenaran sebagai senjata pamungkas untuk mengikutsertakan dalam memberlakukan aksi sabotase (anarkis) dengan mengatasnamakan Islam. Haruskah demikian?
Karena bagaimana pun, jika teroris dikaitkan dengan Islam, sangatlah bertolak belakang dengan jargon kedamaian maupun rahmat bagi semesta alam dan umat manusia. Islam bukanlah agama teror yang selaras dengan al-Quran dan al-Hadits Rasul.
Apalagi berbicara konteks Jihad. Jihad tidak selalu diidentik dengan perang fisik, melainkan Jihad bisa ditempuh dengan jalan benar; menuntut ilmu di jalan Allah, melawan orang kafir (yang sengaja mengacaukan, dan memerangi umat Islam), melakukan pekerjaan (usaha dan etos kerja yang baik), adalah bentuk jihad dalam mengarungi lika-liku kehidupan. Selain itu paham Jihad ala terorisme sangat bertentangan dengan Al-Qur’an, sesuai firman Allah: Ajaklah manusia kepada jalan Tuhanmu dengan bijak dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk (QS, An-Nahl: 125).
Disadari atau tidak, genderang teroris bertalu-talu berdengung di telinga kita. Terus membuka mata dan jalan pikiran kita. Mereka masih berkeliaran dan berkamuflase di tengah-tengah kita. Bermukim di berbagai daerah, untuk melanjutkan visi dan misi dalam memperjuangkan ideologinya yang eksklusif (sarat paham radikalisme) dan menunggu momen-momen terbaik dalam menggencarkan aksi anarkis sesuai pedomannya.
Maka tak bisa terelakkan, mati syahid menjadi prioritas masuk surga. Setelah calon pengantin mempunyai tekad untuk mati syahid, dengan berlatih bela diri (ala militer), selain itu diajarkan bagaimana merakit bom, dengan alasan memerangi orang kafir (berlainan agama).
Berbicara konteks masalah keagamaan, khususnya di negara Indonesia, bukan keseluruhan penganut agama Islam melainkan di situ pula ada agama Kristen, Protestan, Budha, Hindu dan lain sebagainya, melainkan negara Indonesia, adalah negara hukum, bukan negara kekuasaan; tidak harus menghakimi sendiri, dan tidak harus membuat kerusakan, keonaran (anarkis).
Permasalahannya salah satunya adalah tidak ada toleransi antar sesama manusia, antar agama, dan lebih mementingkan diri sendiri dengan anggapannya benar, dan yang lain salah. Sikap antipati sesama manusia, dan lain kesepahaman dengan penganut umat Islam kebanyakan inilah patut menjadi cerminan, di dalam Al-Qur’an Allah berfirman; Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. Dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik. Dan janganlah suka mencela dirimu (QS, Al-Hujarat: 11).
Tak pelak, paham eksklusifisme kelompok teroris dengan paham serampangan akan memudarkan Islam yang sebenarnya. Maka tak bisa dipungkiri lagi, aksi terorisme hanya membuat suasa makin tak menentu. Jelaslah jika sesama manusia menjalin kebersamaan untuk lebih progresif dalam mencerna segala problem-problem yang ada, agar senantiasa tidak terjadi lagi persinggungan “pendapat” dan “pemikiran” antar individu satu dengan lainnya.
Oleh Sebab itu, masih ada alternatif lain dalam memberangus paham dan aksi terorisme; Pertama; tidak mengedepankan pemahaman sendiri, ketika melihat ketidaksesuaian dengan pemahaman orang lain. Karena masih ada penyelesaian dengan mendiskusikan, berdebat dan lebih bersifat dingin, Kedua; menjunjung nilai-nilai yang terkandung dalam ajaran agama masing-masing pemeluk, kemanusiaan, dan nasionalisme. Hal itu sudah terbungkus dalam semboyan Bhennika Tuggal Ika. Ketiga; pemerintah beserta jajaran penegak hukum; Kaporli serta Densus 88 yang dibentuk melalui Surat Keputusan Kaporli No. 30/VI/2003, dan BNPT bahu membahu memprioritaskan keamanan, kedamaian, ketenteraman dan kemakmuran Indonesia dari cengkeraman terorisme di negeri tercinta ini.
Tulisan sederhana ini sebagai miniatur gagasan mengenai terorisme yang belum usai!
Alumni Magister Studi Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta