Kini 20 tahun reformasi, kita menyaksikan eskalasi konflik antar kelompok masyarakat, antar agama yang terekam jelas dari tindakan yang dilakukan, simbol-simbol dan slogan-slogan yang digunakan termasuk merebaknya ujaran kebencian untuk dan atas nama agama, adat dan kesukuan baik di ruang publik terbuka atau media sosial.
Bibit berpikir liberal mulai ditanamkan bagi kepentingan sebagian kecil anak bangsa. Seolah-olah liberalisasi menjadi tuntutan sejarah reformasi sebelum persatuan dan kesatuan merasuk. Inilah salah satu catatan hitam 20 tahun reformasi Indonesia.
Jika kondisi diatas tidak diantisipasi lebih dini akan kian melebarkan pembelahan masyarakat di tingkatan nasional, dan bahkan merembes jauh pada masyarakat di pemukiman padat di perkotaan.
Lalu, apakah reformasi yang sejatinya tertuju pada pembongkaran tatanan dan sistem yang korup dan represif akan bergulir liar dan bahkan memakan anak bangsanya sendiri?
Dalam kaitan narasi diatas, menarik mengutip pernyataan Ari Nurcahyo, Direktur Eksekutif Para Syndicate dalam buku Mengawal Demokrasi: Menolak Politik SARA, Merawat Kebhinnekaan (NCBI, 2018, Hal 63). Dikatakannya, partai politik telah gagal menjadi tulang punggung proses demokratisasi yang maju dan beradab. Jika tidak ditangani, akan menjadi ancaman serius bagi demokrasi dan keberlangsungan NKRI.
Dalam perspektif ekstrem lainnya, nasionalisme dan keteladanan pemimpin nasional menjadi satu dan melekat dengan Janji Kebangsaan, meneguhkan semangat cinta tanah air dan budaya bangsa menuju Negara dan Bangsa Indonesia berjiwa Tri Sakti. Tentunya, pemahaman dan kesadaran akan realitas ideologis diatas membutuhkan pemimpin nasional yang memiliki Jiwa Bhinneka Tunggal Ika. Berbeda Tetap Satu Juga.
Pengamat Politik/Ketua Pendiri Nation and Character Building Institute (NCBI).