SETIDAKNYA dua tahun sudah usia kepemimpinan Joko Widodo-Ma’ruf Amin. Banyak pengamat yang mengatakan tidak mudah bagi sosok Jokowi menjalani hari-hari dalam menahkodai bangsa Indonesia. Terlebih ia bukanlah seorang yang berasal dari kalangan elite partai politik. Fenomena keterpilihan Jokowi adalah hasil dari akumulasi ketidakpercayaan publik terhadap partai politik sehingga publik memilih untuk memunculkan calon alternatif yang bukan berasal dari kalangan elite partai politik. Melihat fenomena tersebut, pertanyaan yang muncul adalah apakah Jokowi mampu menjaga stabilitas politik pemerintahannya?
Jokowi Tersandera Partai Politik
Awal kemunculan sosok Jokowi di gelanggang politik nasional seakan menjadi angin segar bagi kelompok sipil dan aktivis. Mereka beranggapan bahwa Jokowi dapat menjadi sosok yang mengakomodir kepentingan yang mereka miliki. Jokowi dinilai sebagai perwakilan dari masyarakat sipil yang berhasil menjadi pemimpin di Indonesia.
Pada periode pertama kepemimpinan Jokowi, terlihat setidaknya terdapat enam Jenderal TNI. Di antaranya Moeldoko, Agum Gumelar, Luhut Binsar Panjaitan, Wiranto, Ryamizard Ryacudu, hingga Subagyo Hadi Siswoyo. Secara politis, hal ini dilakukan oleh Jokowi untuk mengamankan posisinya sebagai Presiden guna mendapatkan dukungan dari kalangan nasionalis yang memiliki latar belakang militer.
Sebagaimana Leonard C. Sebastian dalam Civil-Military Relations in Indonesia after the Reform Period (2018) menyebutkan bahwa, “Selain memperkuat konsolidasi kekuasaan, aliansi dengan militer mempermudah Jokowi mencapai ambisinya. Jokowi memastikan mendapat dukungan nasional dari seluruh daerah militer Indonesia yang bisa dijadikan perpanjangan tangan pemerintah memastikan jalannya kebijakan pusat di daerah-daerah terpencil”.
Tidak hanya pada periode pertama, periode kedua juga masih terlihat bahwa Jokowi memiliki ikatan kuat dengan para serdadu. Setidaknya terdapat beberapa pos strategis yang dipercayakan oleh Jokowi kepada para mantan Jenderal TNI tersebut. Seperti Moeldoko yang memimpin Kantor Staf Presiden, Luhut Binsar Panjaitan sebagai Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Investasi (Menko Marvest), Terawan Agus Putranto sebagai Menteri Kesehatan.
Setelah Jokowi-Ma’ruf menjabat dua tahun, banyak pihak yang mengatakan terjadi dekadensi demokrasi. Hasil survei yang dilakukan oleh Indikator Politik Indonesia menunjukkan 36 persen responden menganggap Indonesia kurang demokratis. Sedangkan mereka yang menganggap Indonesia lebih demokratis hanyalah 17,7 persen dari 5.614 responden. Meminjam kalimat Ben Bland, sejak periode pertama, kepemimpinan Jokowi seakan menjelma sebagai “langkah mundur pada tahun kepemimpinan Soeharto.”
Pada akhir kepemimpinan Jokowi periode pertama, ia tidak segan-segan menunjukkan kedekatannya dengan partai politik. Kedekatan ini semakin terlihat pada periode kedua dengan terbentuknya koalisi gemuk. Sebenarnya tidak menjadi persoalan bagaimana dan seberapa besar koalisi terbentuk, dengan catatan bahwa koalisi tersebut dapat terkendali dengan baik serta dengan asas kepentingan rakyat. Namun yang terjadi sebaliknya, tidak sedikit masalah muncul disebabkan pembagian kursi jabatan yang dinilai oleh Parpol tidak proporsional. Terlihat tidak sedikit manuver yang dilakukan oleh koalisi terhadap Jokowi.
Seperti manuver yang dilakukan oleh Nasdem pada beberapa waktu yang lalu. Surya Paloh terlihat menjalin kedekatan dengan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) lantaran ketidakpuasannya dengan susunan kabinet yang akan dipimpin oleh Jokowi. Kedua, peringatan Megawati selaku Ketua Umum di Kongres PDIP terkait jatah kursi Menteri. Meski saat ini seakan terlihat situasi politik tidak sehangat sebelumnya, namun kerapuhan koalisi sejak awal menjadi penanda bahwa sosok Jokowi memiliki catatan kelemahan sebagai seorang pemimpin yang tidak memiliki latar belakang kuat.
Kerapuhan kepemimpinan Presiden Jokowi semakin terlihat saat manuver tidak hanya datang dari koalisi partai. Beberapa waktu lalu, Jokowi memberlakukan pelarangan ekspor batu bara. Namun tidak berselang lama, secara terbuka Menko Marvest, Luhut Binsar Panjaitan mengatakan bahwa akan ada ekspor batu bara yang diangkut setidaknya 37 kapal (Kontan, 2022). Hal ini seakan menunjukkan bahwa kebijakan yang dibuat oleh presiden dapat dianulir oleh Menteri yang notabene adalah bawahan.
Presiden untuk Indonesia Harus Kuat
Beberapa hal yang menunjukkan bahwa Jokowi memiliki kelemahan fatal dalam menahkodai koalisi Partai Politik. Hal tersebut disebabkan oleh beberapa hal; Pertama, Jokowi bukan berasal dari kalangan elite partai politik sehingga ia tidak memiliki power yang cukup untuk mengintervensi kebijakan Partai Politik. Dukungan Partai Politik ia perlukan untuk melancarkan agenda-agenda yang bersinggungan dengan parlemen. Namun konsekuensinya adalah Jokowi cenderung tak dapat mengendalikan manuver-manuver yang terjadi dalam internal koalisi Partai Politik yang justru menyandera pemerintahannya. Kedua, dukungan sipil yang tidak cukup signifikan dalam memperkuat pemerintahan Jokowi baik di periode pertama maupun periode kedua kepemimpinan Jokowi. Pada akhirnya Jokowi harus banyak berkompromi dengan elite-elite Parpol dan kelompok pebisnis untuk menjaga stabilitas pemerintahannya. Hal ini adalah dampak dari strategi ‘kefiguran’ yang tidak memperhitungkan aspek sustainability pemerintahan pasca pemilu.
Pemimpin Indonesia di masa depan harus memiliki latar belakang yang kuat dan memiliki wibawa di hadapan Partai Politik. Paling tidak, ia memiliki posisi strategis di Partai Politik sehingga ia punya pengaruh yang kuat untuk mengendalikan Partai Politik. Modalitas ini menjadi penting untuk dimiliki oleh sosok pemimpin bukan hanya berkaitan dengan kefiguran maupun gagasannya.
Latar belakang pemimpin yang kuat secara politis menjadi penting untuk diperhatikan dengan tujuan agar seorang pemimpin negara tidak mudah diombang-ambingkan oleh kelompok kepentingan. Dengan memiliki back up yang kuat tentu kelompok kepentingan akan berpikir berulang kali apabila ingin melakukan manuver politik. Sehingga seorang pemimpin akan memiliki kepercayaan diri dan tidak memiliki keraguan dalam membuat kebijakan.
Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Indonesia
Menyukai ini:
Suka Memuat...