Hingga hari ini kemiskinan dimana-mana masih berwajah perempuan. Potret buram kehidupan perempuan, baik yang diperkotaan hingga pedesaan, masih belum sepenuhnya bebas mengakses kesempatan bekerja, memiliki karier yang cemerlang dan mendapatkan penghargaan atas upaya itu. Adanya diskriminasi pemberian upah antara pekerja laki-laki dan perempuan, meski dengan beban kerja yang sama juga masih kerap terjadi. Padahal pemerintah sendiri sudah memberlakukan “equal pay for equal work”, upah yang sama untuk kerja yang sama. Selisih upah perempuan berkisar antara 15 persen sampai 33 persen lebih rendah daripada laki-laki.
Selain itu kesempatan meningkatkan jenjang karier bagi perempuan pekerja lebih kecil dibandingkan laki-laki, meskipun keduanya mempunyai tingkat pendidikan yang sama. Hampir disemua lapangan pekerjaan menunjukkan bahwa semakin tinggi posisi atau jabatan dalan jenjang karier, semakin sedikit jumlah perempuan yang ada di posisi atau jabatan tersebut, sehingga kompetisi terbuka yang kerap didengungkan hanya sekedar teori saja, karena dalam prakteknya perempuan belum diberi peluang dan akses yang lebih luas untuk bisa bersinergi dengan laki-laki.
Sementara bagi perempuan di pedesaan, dengan peluang kerja yang terbatas dan rendahnya pendidikan sehingga tak punya banyak pilihan yang bisa diambil. Menjadi buruh di daerah-daerah industri penyangga Ibu Kota, atau menjadi buruh migran di dalam maupun luar negeri adalah alternatif terakhir yang bisa diambil. Sedangkan perlindungan terhadap para tenaga kerja di sektor informal masih rendah, dan jam kerja yang kerap melebihi dari batas normal ketentuan masa efektif bekerja. Belum ditambah dengan tantangan lain yang harus dihadapi perempuan, seperti resistensi menerima pelecehan dan kekerasan seksual di tempat-tempat kerja, yang kadang menyudutkan perempuan sebagai sebab, meski dalam kenyataannya perempuan adalah korban.
Kisah Marsinah, yang didaulat menjadi Pahlawan Buruh Indonesia, cukup menjadi pelajaran penting agar peristiwa serupa tak terulang kembali, menjadi sejarah kelam perjalanan bangsa. Buruh perempuan ini dibunuh pada tahun 1993, dengan tubuh yang koyak dan hancur. Pada saat itu sebelum pembunuhan terjadi, Marsinah memimpin aksi untuk mendapatkan kenaikan gaji dari Rp. 1.700 menjadiRp. 2.250 per hari. Namun aksi protesnya terhadap perusahaan berbuntut panjang hingga berakhir tragis dengan kematian. Tentu kita semua berharap agar tidak akan ada lagi Marsinah-marsinah lain di negeri yang kita cintai ini.
Maka dalam kesempatan momentum Mayday (Hari Buruh Internasional) yang diperingati setiap tahun pada 1 Mei. Dalam semarak perayaan dan aksi jalanan yang diselenggarakan hampir diseluruh dunia itu, harus ada kesadaran jika perempuan punya posisi dan peran yang sama, meski hak-haknya sebagai pekerja kerap diabaikan atau dianggap lebih rendah daripada laki-laki. Untuk itu membangun kesadaran tentang kesetaraan gender, relasi yang adil antara laki-laki dan perempuan harus pula diupayakan di semua sektor kerja, baik formal, non formal, maupun informal. Karena sejatinya laki-laki dan perempuan mempunyai misi yang sama, untuk bekerja dan membangun bangsa ini menjadi lebih maju dalam segala hal.
Harapannya agar perempuan punya kesempatan terlibat dalam organisasi pekerja atau buruh, karena selama ini posisi kepemimpinan di organisasi tersebut masih didominasi oleh laki-laki. Bahkan dalam lapangan kerja yang mayoritas perempuan, seperti industri garmen, tekstil, makanan dan minuman instan, serta ruang pekerjaan sandang dan pangan lainnya, posisi penentu kebijakan di oganisasi pekerja tetap dikuasai laki-laki. Oleh karena itu, hampir disetiap perjuangan kaum buruh, persoalan-persoalan buruh perempuan, hampir tidak pernah menjadi agenda penting perjuangan organisasi buruh.
Menyikapi hal tersebut Koalisi Perempuan Indonesia melalui Sekretaris Jenderal Dian Kartika Sari mengeluarkan pernyataan bahwa, bertepatan dengan Hari Buruh Internasional 2018, menyerukan kepada Pemerintah, DPR dan pemberi kerja agar pertama, menghentikan praktek diskriminasi pengupahan terhadap perempuan. Kedua, membahas dan mengesahkan peraturan perundangan untuk melindungi pekerj rumah tangga dan pekerja rumahan, atau pekerja putting of system. Ketiga, reformasi perpajakan yang berkeadilan gender, termasuk menghapus diskriminasi dalam penentuan pendapatan tidak kena pajak (PTKP). Keempat, mendorong pelaku usaha (bisnis) untuk membuat peraturan di tingkat perusahaan untuk menghormati Hak Asasi Manusia dan mewujudkan kesetaraan serta keadilan gender. Kelima, mendorong pelaku usaha untuk menciptakan kondisi yang kondusif bagi perempuan untuk bekerja, termasuk menyediakan fasilitas bagi pekerja perempuan untuk menjalankan peran reproduksinya. Keenam, membahas dan menerbitkan peraturan perundangan yang mencegah dan menghapuskan perkawinan anak. Ketujuh, memastikan dana kompensasi penggunaan tenaga kerja asing hanya digunakan untuk peningkatan kapastas sumber daya manusia pekerja Indonesia agar dapat bersaing di dalam maupun luar negeri.
Dengan langkah-langkah konkret diatas, Koalisi Perempuan Indonesia optimis kemiskinan yang berwajah perempuan bisa diakhiri dan segera menghilang, berganti dengan wajah perempuan yang penuh harapan untuk menatap masa depan, merubah potret Indonesia menjadi negara yang disegani segala bangsa di dunia.
Penulis Adalah Aktivis Perempuan, Penggila Baca, Penyuka Sastra dan Hobi Menulis. Tinggal di Indramayu
Menyukai ini:
Suka Memuat...